Last Boss

Chapter 47 - Kembali ke benteng Drachen



Chapter 47 - Kembali ke benteng Drachen

2Demi terus menopang kekuatan Kekaisaran, perekrutan prajurit baru dilakukan di seluruh kota besar Kekaisaran. Pelatihan yang berat mereka lakukan demi mencapai kriteria kemampuan prajurit Kekaisaran yang ditetapkan.     

Salah satunya pelatihan dilaksanakan di Benteng besar bagian utara Ibukota Kekaisaran, Benteng Drachen. Prajurit muda berbaris menghadap salah satu Jenderal Iblis yang melatih mereka, serentak mengayunkan pedang kayu secara berulang ke depan dengan teriakan sebagai hitungan mereka.     

"Ha! Ha! Ha!"     

Sejak pagi sampai matahari mecapai titik tertinggi, mereka terus melakukan latihan mengayunkan pedang tanpa istirahat sama sekali. Semakin lama semakin berat, mengayunkan pedang kayu yang beratnya tidak seberapa menjadi terasa sangat sulit seakan mengayunkan pedang sesungguhnya yang terbuat dari baja.     

"Berhenti!"     

Secara serentak mereka berhenti mengayun, kemudian menaruh pedang mereka pada sarung kulit yang menggantung di pinggang mereka. Mereka terus berdiri dan terus menatap ke depan sambil menunggu perintah selanjutnya, meski sekarang seharusnya sudah melewati 10 menit jam istirahat tetapi mereka tidak langsung membubarkan diri selama tidak ada perintah dari Belial.     

"Kerja bagus semuanya! Aku kagum karena tidak ada yang tumbang sampai sekarang. Kalian diizinkan untuk istirahat, manfaatkan sebaik-baiknya waktu istirahat kalian yang singkat ini karena istirahat yang baik pun salah satu latihan kalian disini, selesai!" ucap Belial, kemudian ia berbalik dan berjalan menuju bangunan utama benteng.     

Lutut mereka tidak dapat menopang tubuh mereka lagi, selesai mendengar ucapan Belial sebagian dari mereka jatuh terduduk ada pula yang terbaring meski tidak kuat pula dengan sinar matahari yang sengit menyinari mereka.     

"Walau hanya mengayunkan pedang, tapi rasanya latihan ini berat sekali. Aku hampir tidak kuat," keluh Ivaldi seraya menyeka keringat yang bercucuran.     

"Ya," jawab singkat sahabatnya, Retto. Meski keringat bercucuran dari keningnya tetapi raut wajah Retto sama sekali tampak tidak kelelahan. Raut wajah datar masih terpasang, nafasnya juga tidak memburu seperti sahabatnya yang sudah berbaring di lapangan "Ivaldi, aku lapar."     

Ucapan singkat itu mungkin terdengar seperti sebuah permintaan, tetapi Ivaldi yang sudah lama bersamanya mengerti jika ucapan itu adalah ajakan "Begitu? Kalau begitu sebaiknya kita ke kafetaria … Selagi semuanya masih ada disini, kafetaria pasti sepi sekarang," Ivaldi mengulurkan tangannya, Retto pun meraihnya dan menariknya, membantunya berdiri.     

Berjalan ke dalam bangunan utama, menuju ruang bawah tanah yang ada di sana. Berjalan melalui lorong panjang yang kanan dan kiri hanya ada ruangan, semuanya terlihat seperti penjara namun untuk bulan khusus kali ini Kekaisaran mengubahnya menjadi tempat untuk para prajurit baru tinggal sementara selama pelatihan. Lalu di ujung lorong itu terdapat sebuah ruangan yang sangat luas. Tempat itu adalah kafetaria, tempat itu tidak berubah fungsinya bahkan sebelum pelatihan dimulai, tempat itu tetap digunakan untuk tempat makan para tahanan.     

Melangkah masuk kedalam kafetaria, langkah Ivaldi terhenti hingga Retto mendahuluinya. Matanya tertuju kepada seorang lelaki yang tengah berada di sudut ruangan itu, duduk sambil membaca buku tentang teknik dasar berpedang. Seharusnya tidak ada seseorang di kafetaria, bisa dibilang mereka berdua adalah yang pertama di kafetaria saat jam istirahat dimulai, namun kapan pria itu datang?     

"Ivaldi, ada apa?"     

Ivaldi menjawab dengan jarinya yang menunjuk kearah lelaki yang tengah duduk di sudut ruangan itu, lelaki berambut perak dengan sorot mata yang kendur menatap buku yang seharusnya tidak prajurit pelatihan baca lagi–semua prajurit pelatihan di tempat ini seharusnya tidak membaca buku teknik dasar berpedang lagi karena saat seleksi dimulai mereka sudah harus bisa melakukan apa yang ada di buku itu.     

"Tunggu … Bukannya dia anak bermasalah itu kan? Aku tidak melihatnya saat latihan, tapi bagaimana …"     

"Dia memang tidak ada saat latihan …"     

"Membolos?"     

Ivaldi mengangkat kedua pundaknya sebagai jawaban.     

---     

"A--apa!? Nona Scintia, anda bilang paduka sudah ada disini!?"     

Belial seketika mematung setelah mendengar ucapan sang kepala pelayan Kekaisaran yang memberitahu jika sang Kaisar sudah menyamar dan berbaur dengan para kadet.     

"Ya, setelah pertemuan dengan Ratu Elf dan Ketua Dwarf selesai, paduka Void tidak kembali dengan kereta kuda. Beliau menyuruh pengawalnya kembali ke istana sedangkan saya dan paduka langsung bertelportasi kemari. Ia menyamar dengan sihir, lalu meminta saya untuk memberitahu anda."     

Belial menghela nafas berat, ia tahu jika waktu hukuman Edward berakhir hari ini. Tapi setelah Belial mengetahui jika Void memiliki urusan pertemuan penting, ia berpikir jika sang Kaisar tidak akan kembali ke tempat ini.     

"Astaga … aku harap paduka memberitahuku lebih dulu. Tapi jika paduka sampai memakai teleportasi hanya untuk kemari, sepertinya menjadi Edward juga penting untuknya."     

Sihir ruang dan waktu bukanlah sihir yang mudah untuk digunakan, salah satu sihir jenis itu adalah teleportasi. Sihir perpindahan pada satu tempat ke tempat lainnya yang terhitung jaraknya selama sang pengguna dapat mengingat tempat tujuannya berpindah. Tidak semua orang bisa melakukan sihir seperti itu, terdapat resiko yang tinggi untuk penggunanya misal sang pengguna bisa berteleportasi ke suatu tempat yang tidak ia ketahui. Saking sulitnya, bahkan hanya beberapa Jenderal Iblis saja yang dapat menggunakan sihir seperti itu.     

"Saya sudah menyampaikan pesan paduka, tolong lindungi paduka Tuan Belial."     

"Baiklah, serahkan pada saya."     

"Jika begitu saya permisi, saya akan kembali ke Istana."     

Selepas itu Scintia berteleportasi kembali ke Istana diikuti tatapan sinis Belial. Tatapan itu bukan untuk Scintia secara langsung, namun kemampuan yang dimiliki oleh Scintia. Belial adalah salah satu Jenderal yang tidak dapat melakukan sihir itu. Meski ia adalah Jenderal Iblis yang berasal dari garis keturunan Iblis unggulan dan menjadi pemimpin dari seluruh pasukan Kekaisaran Iblis, tetapi ia tidak bisa melakukan sihir seperti yang kepala pelayan Kekaisaran lakukan. Sebagai seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, ia merasa sedikit iri karena kalah dengan seorang pelayan istana.     

---     

Merasakan tatapan penuh kebingungan dari dua pemuda yang tak jauh di sampingnya, Edward menoleh kearah mereka. Mata mereka bertemu, suasana terasa sangat canggung hingga mereka kesulitan untuk saling sapa bahkan untuk saling memalingkan wajah pun sulit mereka lakukan.     

"Y--yo. Kau Edward kan?" Retto memaksakan diri untuk membuka pembicaraan yang ramah dengan Edward.     

"Eh? Ah … ya, aku Edward. Ada apa?" jawab Edward sedikit canggung.     

"Kau … tidak ikut pelatihan pagi?"     

"Ah itu, ya aku tidak ikut. Sejak pagi aku diminta untuk membersihkan ruangan Tuan Belial. Tapi aku diizinkan untuk latihan selanjutnya."     

Tentu saja itu bohong, Edward sama sekali tidak membersihkan ruangan Belial dan semua itu hanya alasan saja. Ia tahu jika akan ditanya seperti itu oleh seseorang, agar terlihat benar-benar ia sedang dihukum ia pun memilih jawaban seperti itu.     

"Ah begitu ya, kupikir kau mencari masalah lagi dengan membolos," balas Retto sambil tersenyum jahil kepadanya "Ah boleh aku duduk."     

"Oh silahkan."     

Ketika ingin duduk, seragam Retto ditarik Ivaldi yang seakan melarangnya untuk duduk "Makanan," ucapan si singkat Ivaldi itu menyadarkan Retto yang lupa akan tujuan mereka datang ke kafetaria.     

"Ah benar! Kita belum mengambil makanannya. Kalau begitu kami akan kembali lagi, sampai nanti."     

Mengatakan itu sambil melambaikan tangannya dengan singkat, Retto dan Ivaldi pergi dari meja Edward. Langkah mereka menjauh, Edward melepaskan nafas lega dari mulutnya. Ia meninggalkan kesan buruk untuk prajurit pelatihan di tempat ini, berpikir jika dirinya akan dibenci namun nampaknya itu salah. Kedua orang yang ia temui tampaknya tidak memiliki pandangan buruk tentangnya.     

Tak lama mereka kembali dengan nampan yang terdapat makanan diatasnya. Pasta dengan bola daging dan sedikit sayuran dengan segelas air putih yang mereka bawa di atas nampan dengan tempat yang disesuaikan, Retto duduk berhadapan dengan Edward seraya mengeluh.     

"Haaah … sudah kuduga aku tidak suka menu hari ini, aku tidak begitu suka dengan pasta."     

"Jangan mengeluh," tukas Ivaldi kemudian duduk di samping Retto. Ia tanpa memperdulikan tatapan tidak senang Retto yang tidak senang dengan ucapannya, meski begitu ia tidak bisa marah kepadanya.     

"Kalau begitu–."     

"Aku tidak akan memberikan semua bola daging ku hanya demi pasta mu, Retto."     

Ivaldi memotong ucapannya seakan sudah tahu apa yang akan dilakukan sahabatnya. Begitu dekat, Void mengerutkan alisnya seraya mengeluarkan pertanyaan     

"Kalian berdua sudah berteman lama ya?"     

Retto menjawab tanpa sungkan "Ah benar, kami berasal dari desa yang sama. Jadi bisa dibilang kami teman masa kecil, walau Aku menganggap Ivaldi sebagai adikku sih," Ivaldi tidak menanggapi pernyataan Retto, ia fokus memakan makanannya dengan lahap seakan benar-benar mengabaikan sekitarnya "Ah aku belum memperkenalkan diri, nama ku Retto dan dia …"     

Meski Retto menatap Ivaldi sebagai isyarat untuk dirinya bicara, namun Ivaldi benar-benar tampak tidak peduli sampai Retto menabrakkan sikunya pada perut.     

"Ivaldi," hanya mengatakan itu setelahnya Ivaldi lanjut kembali fokus menyantap makanannya. Sedangkan Retto meminta maaf seolah benar-benar menjadi Kakak yang menanggung kesalahan adiknya. Void hanya tersenyum kaku melihat hubungan mereka yang begitu dekat, untuk sesaat ia merasa iri kepada mereka.     

"Oh ya, nama mu Edward kan?"     

"Ah benar, nama ku Edward. Maaf karena masalah yang ku perbuat sebelumnya."     

Kejadian dimana Edward menerbangkan orang-orang yang ada di belakangnya, meski bisa dibilang itu adalah kejadian yang tidak disengaja tetapi Edward merasa bersalah. Ia bahkan tidak menyangka jika gerakan Belial yang ia tiru bisa menerbangkan orang-orang dibelakangnya.     

"Ah Aku tidak begitu masalah, sebaliknya aku cukup terkejut jika ada orang yang bisa meniru gerakan Tuan Belial. Walau terlihat sederhana tapi itu cukup sulit kan?"     

"Eh? Be-begitukah?"     

"Begitukah ..."     

Retto mengulangi ucapannya dengan sedikit sinis, ia tidak percaya Edward melakukan itu hanya dengan sekali lihat dan meniru teknik dari Jenderal Iblis.     

"Sepertinya kau bukan Iblis biasa ya, apa mungkin keturunan Iblis unggulan?" tanya Retto mencurigai kemampuan Edward.     

Iblis unggulan dan Iblis biasa tidak memiliki perbedaan, mereka sama-sama Iblis yang memiliki tanduk yang sama. Ukuran tanduk pun tidak bisa menjadi patokan apakah Iblis dengan tanduk besar itu berasal dari ras unggulan atau bukan. Namun satu-satunya yang membedakan mereka adalah kemampuan, kecerdasan dan energi sihir yang lebih banyak daripada Iblis biasa. Karena itu hampir semua Iblis unggulan biasanya akan diangkat dan bekerja untuk Kekaisaran juga menjadi bagian penting dari Kekaisaran. Karena itu Iblis yang memiliki darah unggulan akan lebih mudah mendapat pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan Iblis biasa, perbedaan ini pula terkadang menjadi perselisihan diantara ras Iblis.     

"Ti--tidak kok. Kan Tuan Belial berkata jika teknik itu bergantung pada kekuatan kaki, sejujurnya aku percaya dengan kekuatan kaki ku jadi kulakukan teknik itu."     

Retto menghela nafas berat, alasannya terdengar sangat bodoh tapi entah kenapa ia menerimanya "Kaki mu bisa saja hancur jika tidak berhati-hati memakai teknik itu," ucap Retto menasihatinya.     

"Ah maaf."     

Ivaldi menaruh gelasnya yang terbuat dari alumunium diatas nampan, menimbulkan suara yang cukup menarik perhatian mereka. Ia sudah selesai, selama mereka berdua berbicara dia benar-benar menghabiskan makanannya sendirian.     

"Retto, sebaiknya kau habiskan makanan mu."     

"Ah! Kau mendahului ku."     

Setelah itu dengan cepat Retto memakan makanannya. Tatapan datar nan dingin diarahkan kepada Edward, untuk beberapa saat Ivaldi tidak berbicara dan terus menatapnya dengan ekspresi yang datar. Tatapan dingin, Edward merasakan sesuatu yang sangat tidak enak saat itu juga.     

"Kau ... Para kadet disini seharusnya sudah menghafal isi buku itu, karena itu adalah kunci untuk lulus seleksi. Lalu teknik berpedang mu juga sangat kaku, seakan baru pertama kali memegang pedang. Bagaimana cara mu lulus seleksi? Siapa dirimu sebenarnya?"     

Pertanyaan itu sama seperti apa yang ditanyakan Retto, namun ketika Ivaldi yang bertanya kepadanya seakan semua rahasia penyamarannya sudah terbongkar.     

To be continue     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.