BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Gerakan Baru X



Gerakan Baru X

3Tanpa bersuara, Raja Wedden kembali berkomat kamit melafalkan mantra yang sedang ia hadapi.     

Semua orang saling pandang, namun menjadi semakin bertanya-tanya.     

"Apa yang dia lakukan?" gumam Tao.     

"Kurasa dia membaca mantra," sahut Corea yang mendengar suara bocah itu.     

"Begitukah? Mantra apa?" Tao sambil memakan kue kering.     

Semua orang masih diam, namun tidak dengan Egara yang mulai merasakan panas di kedua telapak tangannya. Rasanya sama persis ketika ia meremas jantung makhluk api di ruang bawah tanah dahulu.     

Egara kembali mengambil minumnya, namun tangannya gemetar membuatnya mengurungkan niat dan hanya mengambil sebutir anggur untuk dimakan.     

Tidak hanya kedua telapak tangan yang panas, dia juga mulai merasakan jantungnya sangat nyeri seperti tertusuk oleh sesuatu yang tak terlihat.     

Egara mencoba untuk mengatur napasnya. Namun ketidaknyamanannya itu tidak dapat disembunyikan karena peluhnya mulai membasahi seluruh tubuh, juga tubuhnya yang semakin terasa sakit membuatnya tidak tenang.     

Egara mengepalkan kedua telapak tangannya, ia memejamkan mata dan terus mencoba untuk mengumpulkan energinya.     

"Kau baik-baik saja, Ketua?" ujar seorang prajurit yang rupanya mengamati sikap ketuanya.     

Egara menggeleng, namun dari raut wajahnya masih sangat jelas dia menahan sakit yang luar biasa.     

Prajurit itu enggan menjauh, dia sangat mengkhawatirkan keadaan Ketua pasukan itu.     

"Hentikan, Raja!" teriak Egara yang segera bangkit dari tempat duduknya.     

Semua mata segera tertuju padanya, begitu uga degan Raja yang segera berhenti membaca mantra.     

"Ada apa, Egara?" ucap Corea namun lirih.     

Semua orang mengamati perubahan sikap dan keadaan Egara yang jelas tidak baik-baik saja.     

"Kau hanya perlu mengatakan pada kami apakah kau bisa membacanya, tanpa harus membacanya di hadapan kami," ujar Egara.     

Segera saja semua orang saling pandang dan merasa aneh dengan kalimat Egara.     

"Kau kesakitan?" ujar Raja. Raseel dan Ley terkejut dengan pertanyaan Raja, padahal mereka berdualah yang sebelumnya hendak menanyakan mengenai hal ini.     

Egara diam, hanya menatap sang Raja dengan tatapan yang tajam.     

"Aku tidak akan menyakitimu, Egara. Aku hanya ingin menghilangkan sisa kegelapan dalam dirimu. Maka bertahanlah," uajr Raja Wedden lagi.     

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja dengan keadaan diriku," sahut Egara.     

Sempat hening beberapa saat.     

"Aku juga bisa membaca isi buku itu." Kalimat Egara itu berhasil membuat orang lagi-lagi tercengang.     

Raja Wedden sedikit memiringkan kepalanya.     

"Aku bahkan telah menguasai setengah dari isinya," imbuh Egara lagi.     

"Hey, kau! Lancing sekali!" geram Ley yang seketika berdiri, namun ditahan oleh Raseel dan Hatt.     

Egara hanya melirik para tamu itu.     

"Apa menurutmu aku adalah kegelapan?" tanya Egara pada Raja Wedden.     

Raja Wedden emnatap lekat Egara, lalu dia menjentikkan jemari dan berhasil membuat Ketua Pasukan itu mematung akrena sihirnya.     

Raja Wedden kemudian berdiri dan mendekatinya. "Jadi, kau yang menukar buku yang ada di rumahku?" tanyanya.     

"Kau sengaja melakukannya agar aku tidak bisa mempelajari buku sihir ini?"     

"Aku tidak mengetahui apapun mengenai Buku di rumahmu. Kurasa itu palsu. Aku menemukan Buku itu jauh sebelum aku mengenalmu, dan kurasa usia kita tidak begitu jauh berbeda jadi aku tidak mungkin menukarnya," ujar Egara.     

"Sejak kapan kau mengetahui tentang Buku ini?" Raja masih menatap lekat Egara.     

"Saat awal aku menjadi prajurit kegelapan," jawab Egara. Semua orang saling bergumam tidak menyangka kalau selama ini Ketua pasukan Northan itu menyimpan rahasia besar.     

"Apa yang kau lakukan setelah itu?" tanya Raja Wedden lagi.     

"Mempelajarinya."     

"Lalu?"     

"Tidak ada. Aku mempraktikannya sesekali ketika kehidupanku sebagai rpajurit kegelapan sedang tidak menyenangkan."     

"Apakah Raja Kimanh mengetahui ini?"     

Wedden dikejutkan dengan pepohonan yang bergerak memberi hormat. Tidak begitu signifikan, namun dahan-dahan itu seolah mempersilahkan sang Raja untuk melewati hutan dengan nyaman.     

Namun sesuatu mengikutinya. Itulah yang Raja Wedden rasakan. Karena dia jelas sekali mendengar suara semak yang tertabrak oleh sesuatu, juga langkah kaki yang samar.     

Wedden memilih untuk menghentikan langkah, ia lalu berpura bersiul, seolah benar-benar menikmati perjalanannya.     

"Ah aku sangat menyukai cuaca hari ini," ujar Raja Wedden cukup nyaring.     

'sesuatu' itu masih diam, sangat anteng bahkan Raja tidak lagi merasakan tanda-tanda kehadirannya.     

"Jika kau hanya ingin bersembunyi, untuk apa mengikutiku? Kau penguntit atau seorang penggemar?" ucap Wedden. Pandangannya tertuju pada sebuah pohon besar yang berjarak cukup jauh darinya.     

Wedden mulai menggunakan kekuatannya. Dia menjentikkan jemarinya beberapa kali untuk meniupkan angina kearah pohon yang sedari tadi menyita perhatiannya.     

Sesuatu terlihat disana, nampak helaian kain putih bergerak terkena angina yang baru saja menyapanya.     

"Keluarlah kau. Aku tidak akan menyerangmu hanya karena kau menguntit," ujar Raja lagi.     

Cukup lama, kemudian muncullah sosok wanita bergauh putih khas penjaga hutan yang merupakan seorang Nimpa. Terdapat tiara kecil di kepalanya. Sosoknya terlihat sangat tipis, dia bahkan tidak meninggalkan jejak kaki namun debu berkelip lah yang tertinggal di rerumputan yang ia lalui.     

Raja Wedden menatap wanita itu lekat, samar ia menyunggingkan senyum.     

"Jika ingatanku benar, kita pernah bertemu dahulu di hutan dekat sungai Sophen. Apa tu benar?" ujar Raja Wedden mulai sok tahu.     

Wanita itu memandangi Wedden lekat, kedua manik matanya yang coklat membuatnya terlihat begitu elegan .     

"Amm, kalian memanahku sebagai sebuah tanda awal pertemuan kita," sahut Nima itu dengan senyum sayunya.     

Raja Wedden tertawa samar. Keduanya lalu saling berbincang dan menceritakan tentang banyak hal.     

"Kau penjaga hutan, 'kan? Apa kau juga membutuhkan manusia untuk kau serap energinya?" pertanyaan Raja sama sekali tidak berumus.     

"Kami memiliki energi dari diri sendiri dan selalu merasa kenyang. Namun kami menyukai untuk selalu dekat dengan seorang bangsawan sepertimu," jawab Nimfa itu lembut.     

"Karena energy kami?" Tanya Wedden.     

Nimfa itu menggeleng pelan. "Karena kami butuh pemimpin yang juga mencintai alam," jawabnya.     

Wedden mengerutkan dahinya. "Manusia selalu menyayangi alam, namun seringkali ada factor lain yang mempengaruhi kebijakan. Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanya Wedden lagi.     

Nimfa itu terlihat mehela napas panjang, lalu dia mendekati Raja Wedden untuk menatapnya semakin dekat.     

"Kalian selalu menginginkan lahan luas. Aku hanya ingin pembangunan berjalan dengan baik. Tanpa merusak alam," ucap wanita itu sangat lirih.     

"Aku akan berjanji atas namaku sendiri. Karena akan ada kemungkinan perubahan pimpinan kelak. Aku tidak akan merusak alam, saling mencinta tanpa harus memiliki."     

Nimfa itu tersenyum samar. "Jadi … kau sungguh seorang Raja sekarang? Kau merupakan energy terkuat di seluruh negeri Persei?"     

Raja Wedden mengangguk. "Setidaknya itulah yang diketahui oleh banyak orang."     

"Kau menemukan Buku Sihir itu?" tanya Nimfa itu lagi.     

"Tidak. Benda itu hancur ketika melawan Putra Kegelapan," jawab Raja Wedden.     

"Ah beanrkah? Bukankah seharusnya benda itu terjaga dengan aman di wilayah Selatan?"     

Kini giliran Raja Wedden yang tersenyum. "Kukira leluhurku sangat sedih karena diriku sangat membutuhkan kekuatan. Dimanapun buku itu, aku tetap menemukan kekuatan dalam diriku sendiri," jawabnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.