Sangat Kacau X
Sangat Kacau X
Sharena dan Dane mengantar tiga orang berpakaian rapi itu hingga ujung jalan, lebih tepatnya hingga pilar mall yang menuju parkiran.
Seorang tamu wanita memeluk Sharena sebagai salam perpisahannya, lalu dua pria yang lain hanya saling berjabat tangan dengan tawa yang ramah.
Sharena mehela napas panjang, tidak terasa percakapan yang sangat panjang dan melelahkan akhirnya selesai.
Ketiga tamu itu berasal dari ibu kota, mereka sedang menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempat Sharena bekerja. Pertemuan yang sempat tertunda beberapa bulan karena kesibukan dari masing-masing perwakilan perusahaan.
"Ah tugas kita bertambah deh. Realisasi dari kerjasama kali ini kayaknya lebih rumit dari sebelumnya," gumam Dane seraya mehelakan napas panjang.
Pria bergaya rambut mullet itu melepas kancing pada lengan kemeja panjangnya, melonggarkan pergelangan yang sejak beberapa jam lalu merasa sesak.
"Ah benar. Semoga nanti pak Direktur tidak berubah pikiran," ucap Sharena yang segera mengikat tinggi rambutnya yang tidak terlalu panjang.
"Eh bukannya beliau yang menyarankan pertemuan ini? Kukira beliau sudah memahami tentang semuanya sebelum ini."
Sharena mengedikkan bahu. "Berharap yang terbaik, itulah yang bisa kita lakukan sekarang ...," Sharena berbalik segera hendak melanjutkan langkahnya. Namun gerakannya terhenti saat ia melihat sosok pria berkaos abu sedang berdiri di hadapannya. Vido.
"Ah sudahlah istirahat dulu ... kemana kita setelah ini?" Dane berbalik dan segera merangkul bahu Sharena. Mematung sejenak, dia segera menurunkan tangannya dan merapikan pakaian yang sama sekali tidak berantakan.
"Kamu kenapa disini?" tanya Sharena pada Vido.
"Nganter mereka," sahut Vido sambil menoleh kearah toko raket yang tidak jauh.
Sharena segera mehela napas panjang. Wajah lelahnya semakin terlihat tidak senang.
Dane sangat canggung, dia hanya sedikit menganggukkan kepala pada Vido dan berpamitan pada Sharena untuk pulang duluan.
"Sampai ketemu besok di kantor," ujar Dane.
"Emm hati-hati." Sharena tersenyum dan sedikit melambaikan tangan.
Suasana semakin tidak nyaman bagi Sharena, namun kali ini dia harus kembali memerankan peran seorang istri. Sharena membutuhkan beberapa detik untuk dapat melukiskan senyum.
"Bundaaa ...." Sharena menghampiri Bunda yang baru saja keluar dari toko bersama dengan Gavin. "Bagaimana keadaan bunda? Apa kata dokter?" ucapnya lagi seraya memeluk Bunda.
"Sangat baik, Sayang. Kamu baru selesai pertemuan? Ah ya ampun lembur terus ya anak bunda." Usapan lembut mendarat di kepala Sharena.
Sharena tersenyum lebar.
Bunda mengajak makan malam, sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh Sharena walaupun dia masih sangat kenyang dan hanya ingin segera pulang untuk istirahat.
"Korean food boleh sih, Bunda." Sebuah usul dari Sharena saat ibu mertua dan adik iparnya sedang berdebat tentang restoran yang hendak dituju.
Bunda tersenyum lebar karena usulan Sharena sangat cocok dengan selera beliau.
Vido tersenyum samar. Tidak dapat dibohongi kalau dirinya merasa senang karena istrinya dapat membuat ibunya tersenyum.
Bunda masih dengan pertanyaan yang sama pada Sharena hingga membuatnya terdiam dan hanya saling pandang dengan Vido untuk beberapa saat.
"Program hamil ... ya?" gumam Sharena. "Kami akan melakukannya jika itu menjamin kebersamaan kami di masa depan."
"Gimana?" Bunda memekakan pendengarannya.
Vido menatap Sharena. "Dia memiliki trauma tentang hubungan kandas, bunda. Jadi kami perlu mempertimbangkan banyak hal," sahut Vido.
Sharena mendengkus kesal, namun dia mencoba untuk tersenyum dan mengangguk pelan.
"Tidak apa, Sayang. Tidak perlu terlalu khawatir tentang hal yang seperti itu. Bunda percaya kalian akan bahagia selamanya.," ujar bunda seraya tersenyum.
"Ah Sharena, jika suatu hari Vido menyakitimu bilang pada bunda. Maka bunda akan menghukumnya. Mengerti?" imbuh bunda.
"Hukuman apa yang akan bunda berikan pada Vido?" ucap Sharena antusias.
Hal itu membuat Vido berdecak dan sedikit menggeleng.
"Emm biarkan Bunda berpikir ... mungkin Bunda akan menjewernya lalu berhenti memberinya uang saku."
"Eh uang saku? Kukira dia telah menjadi mandiri karena telah menjadi Pegawai Negeri," celetuk Sharena.
"Dia masih dapat jatah dari Bunda tiap bulan," sahut Gavin seraya sibuk mengunyah.
"Benarkah?" Sharena melirik Vido.
"Aku yang memberi jatah Bunda. Tolong jangan diputar balik faktanya," sahut Vido acuh.
Sharena hanya mengangguk pelan. Jika boleh jujur, dia masih sangat asing dan canggung dengan keluarga barunya. Walai dia dapat mengobrol dan membahas tentang banyak hal, namun dia belum pernah sekalipun menghabiskan waktu bersama ibu mertua juga adik ipar. Terlebih karena adik iparnya itu berada di asrama dalam waktu yang lama dan hanya ada dirumah saat libur.
Vido melihat Sharena yang terlihat enggan menghabiskan makanannya karena kenyang. Dengan inisiatifnya sendiri, ia mengambil piring istrinya itu dan melahap semuanya hingga habis.
Hal yang biasa dia lakukan pada sang bunda selama makanan itu tidak berantakan.
Tetapi hal itu sangat tidak biasa bagi Sharena. Perempuan itu hingga termenung dan hanya berkedip tanpa respon yang jelas.
"Sayang jika dibuang begitu saja," ujar Vido saat ia menyadari tatapan Sharena yang bingung.
Sebuah pertemuan tidak sengaja yang diakhiri dengan jalan-jalan sebentar juga makan malam. Bunda jelas terlihat senang, walau keinginannya mengenai cucu belum akan segera terealisasi dari putranya.
Setibanya di rumah, Sharena bergegas menuju kamarnya di lantai bawah. Tubuhnya sudah sangat lelah, kantuknya sudah tidak dapat ditahan lebih lama lagi. Hanya mandi dan tidurlah yang ia inginkan.
"Minumlah dulu ini untuk memulihkan tenagamu besok." Vido membuatkan segelas susu putih hangat yang diletakkannya diatas meja makan.
"Untukku?"
"Apa kau melihat orang lain lagi disini?" ujar Vido yang juga telah memegang segelas susu.
"Ah baiklah. Terimakasih." Sharena tidak menolak, namun langkahnya ditahan Vido yang justru menggandengnya dan membawanya ke wastafel.
"Cuci tanganmu terlebihdulu. Terlalu banyak bakteri yang terbawa pulang olehmu."
Sharena yang sudah sangat lelah hanya mengangguk dan menuruti semua perkataan suaminya itu.
Vido menuju kamarnya di lantai atas, segera membersihkan diri dan bersiap untuk istirahat. Namun dia kembali merasakan adanya bengkak di bahu kirinya. Sangat mengganggunya, sehingga dia harus kembali turun untuk mengambil kotak kesehatan.
Hanya dengan mengenakan celana pendek dan sebuah kaos yang dia bawa tanpa dikenakan, dia menuju lemari di dapur.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat Sharena tertidur di meja makan, masih dengan gelas susu yang kosong di tangan kanannya juga ponsel yang tergeletak di dekatnya.
Vido mendengkus. Ini bukan pertama kalinya ia mendapati istrinya itu tertidur di sembarang tempat, namun hari ini yang terparah karena Sharena bahkan belum mandi ataupun mengganti baju.
Vido memijat pelan bahunya yang terlalu nyeri jika harus kembali terbebani dengan tubuh Sharena yang tidak kurus.
Hanya mengambil kotak kesehatan Vido memilih duduk di dekat Sharena sembari mengoleskan balsam pada bahunya.
***