BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Kekacauan X



Kekacauan X

1"Istiharat sebentar, oke? Ah aku lelah."     

"Nanggung Vido. Sebentar lagi, ayo dilanjut aja."     

"Ah baiklah ...."     

"Perlahan, hey! Sakit!"     

"Kamu kurang ke kanan."     

"Sudah mentok. Kamu harusnya lebih hati-hati."     

"Kamu jangan terlalu bersemangat!"     

"Ah sudahlah! Kamu rapikan saja sendiri! Aku lelah, aku mau makan!" Sharena melepas pegangannya pada lemari yang sedang ia dan suaminya pindahkan.     

Ukurannya yang sangat besar, membuat pasangan suami istri itu kesulitan untuk mengangkat dan memposisikan pada tempat yang nyaman.     

Vido berdecak kesal, napasnya tersengal karena dia tidak pernah sebelumnya mengangkat benda besar semacam itu terlebih dia pernah mengalami cidera bahu akibat dari kecelakaan yang ia alami tahun lalu.     

Seharusnya ia yang marah karena Sharena memaksanya untuk terus melanjutkan proses pemindahan lemari itu, tetapi justru Sharena yang merajuk karena ia merasa kalau suaminya tidak bertenaga dan hanya dia yang terbebani.     

Sharena pergi ke dapur untuk mengambil air minum di kulkas juga memakan beberapa kue kering untuk memulihkan tenaganya.     

Sementara Vido memilih untuk duduk di lantai dengan bersandar pada lemari yang baru ia dan Sharena pindahkan seraya memijat pelan bahu kirinya yang mulai terasa nyeri.     

"Hey, kemarilah! Minumlah dulu ini." Sharena mengambilkan minuman kaleng dan meletakkannya di meja.     

Vido hanya menoleh tanpa memberi respon. Lalu dia kembali berdiri dan menggeser lemari seorang diri.     

Dreg!     

Lemari kayu menabrak sudut dinding cukup nyaring. Bersamaan dengan itu Vido mendengkus dan segera menuju lemari P3K.     

Kring Kring Kring.     

"Iya? Ah benar, maaf aku sedang sibuk dengan urusanku sendiri. Beritahu mereka kalau aku lima belas menit lagi akan sampai."     

Sharena mendapat telepon dari kantor, tanpa mempedulikan keadaan Vido ia pergi untuk menemui perusahaan rekanan di sebuah kafe.     

Hanya sempat menengok Vido yang rupanya sedang memijat pelan bagian bahunya, Sharena pergi dengan membawa perlengkapan kantornya dan merias diri seadanya.     

Kehidupan keduanya yang masih sangat canggung membuat suasana di rumah sederhana itu terasa dingin. Walau mereka memiliki latar belakang sebagai "teman", tapi rupanya itu sama sekali tidak membawa pengaruh untuk kehidupan keduanya.     

Sharena terlalu cuek pada Vido yang kini berstatus sebagai suami untuknya. Dia bahkan masih menjalin hubungan dengan seorang lelaki di kantornya, bukan sebagai pacar namun sebagai rekan kerja yang sangat baik.     

Berbeda dengan Vido yang justru kebalikan dari sikap Sharena. Dia jauh lebih perhatian dan selalu bersikap baik, walau jika ditengok kebelakang dialah yang semula mengajukan berkas tanda tangan kontrak sebelum mereka melakukan ijab kabul.     

Tring!     

Sebuah pengingat di ponsel Vido berbunyi nyaring. Bukan hal yang mengejutkan, hanya saja kali ini Vido sedikit mengeluh karena bahunya sedang tidak nyaman untuk menyetir jarak jauh.     

'Terapi Bunda'     

Begitu pengingat yang dibacanya.     

Tidak lama berselang, ponselnya berdering sebuah panggilan dari kontak yang bernama Davin.     

"Halo, Vin."     

"Kak, Bunda mau terapinya ditemenin kak Sharena." Samar terdengar suara di seberang telepon.     

"Dia lembur hari ini, baru saja berangkat karena ada pekerjaan penting," sahut Vido.     

"Kalau besok? Bunda bilang mau ngobrol banyak karena lama nggak ketemu," kata sang adik lagi masih di telepon.     

Vido diam sejenak, dia tidak memiliki jawaban karena tidak tahu jadwal kerja istrinya itu. "Emm nanti kutanyakan."     

"Bunda bilang, kalau kak Sharena bisa besok, terapinya besok saja."     

"Enggak! Terapinya tetap harus sekarang! Ini kakak siap-siap."     

"Eh jangan, Kak. Bunda bilang ...."     

"Vin, bilang ke Bunda kalau aku siap-siap mau jemput jadi Bunda juga harus siap-siap sekarang. Oke?"     

Vido segera mematikan panggilan teleponnya. Dia selalu seperti ini, kesal dengan alasan Bundanya yang selalu menolak untuk terapi. Padahal, ini adalah salah satu cara agar beliau tetap dapat menikmati hari-harinya.     

Setiap kali membahas tentang terapi, Vido kembali teringat dengan kalimat Ayahnya yang sampai sekarang masih menohok.     

"Jangan menentang ayah jika kamu benar-benar mencintai bunda!"     

Vido kembali mehela napas panjang, seolah dia dapat mendengar kembali bentakkan dari pria tua pensiunan pasukan berseragam coklat yang selama ini dia panggil Ayah itu.     

Pergi menjemput, mengantar sekaligus menemani bunda walau dia sedang tidak baik-baik saja, dia tidak ingin hal buruk terjadi jika bunda tidak melakukannya.     

"Kak, pilihkan yang terbaik ya? Kakak tahu kan tentang raket?" celetuk Gavin yang sedari tadi berceloteh mengenai olahraga yang sedang ia gemari bersama teman-teman asramanya.     

"Cari di gugel deh apa susahnya. Kamu mau beli raket beneran? Perasaan belum sebulan lalu kamu minta belikan sepatu bola?"     

"Bola itu hobi, kalau bulu tangkis ini yang akan kujadikan profesi. Jadi, kakak nanti akan bangga setelah punya adik seorang atlet."     

Vido hanya berdecak dan menggeleng. Adiknya yang masih berusia enam belas itu memang memiliki banyak kegemaran juga rasa ingin tahunya tinggi, juga sikapnya yang masih sangat manja itu membuatnya disayang oleh bunda juga sang kakak.     

Bunda banyak diam dan tertawa samar melihat tingkah kedua putranya itu. Sesekali beliau masih menanyakan tentang Sharena juga pekerjaan Vido akhir-akhir ini.     

"Kalian sudah program hamil, belum?" tanya bunda tiba-tiba membuat Vido cukup terkejut.     

"Sekarang sudah bulan kedua kalian menikah, seharusnya sudah ada tanda-tanda pada Sharena kan? Ah bunda tidak sabar menunggu sembilan bulan kedepan," imbuh wanita berambut pendek ihitam nan ikal itu lagi.     

"Ah kami masih ingin fokus dengan pekerjaan dulu, bunda. Lagipula kan aku baru pindah penempatan kerja, aku masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru dan harus memahami pekerjaanku," jawab Vido asal.     

"Yang hamil Sharena, kenapa kamu yang mau fokus pekerjaan?"     

"Sharena juga lagi banyak projek pekerjaan, bunda. Masih sering lembur dan capek, jadi kurasa juga belum siap."     

"Em kalian nggak ada rencana menunda, 'kan? Awas saja ya kalau kalian tunda! Bunda mau nimang bayi sebelum pergi."     

"Bunda ...." Gavin segera menatap bunda dan mengerutkan dahi.     

"Bunda nggak akan kemana-mana. Tenang saja, cucu imut dariku akan segera hadir," sahut Vido tersenyum.     

"Hey! Bukankah bunda juga harus menunggu cucu imut dariku?" rengek Gavin.     

"Kamu masih bocah, nggak usah mikirin cucu!" sela Vido.     

"Kalau begitu aku menikah saja!".     

"Jangan sembarangan!" bunda memukul pelan kepala si bungsu. "Kamu harus fokus sekolah apapun yang terjadi! Bunda ingin kamu segera menjadi orang hebat!"     

Gavin mengangguk pelan, sangat manja.     

Vido tersenyum, namun di dalam hatinya dia sedang bingung. Bagaimana mungkin ia akan memberi cucu pada bunda jika ia dan sang istri bahkan tidak tidur di kamar yang sama.     

Huhh.     

Sharena keras kepala sekali. Surat kontrak yang bertanda tangan seolah tidak berguna karena keegoisannya.     

"Aku sudah bilang, jika menikah hanya untuk berpisah, lebih baik tidak sama sekali. Kamu pikir aku sebuah mesin atau apa? Menikah, hamil, lalu bercerai. Hah konyol!"     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.