Yang Terakhir X
Yang Terakhir X
Tanpa prajurit tambahan, hanya Raja Wedden, Pangeran Soutra, Arkenstone bersaudara, juga peri lembah bersaudara. Benar-benar seperti saat perjalanan awal mereka menjadi pengelana dari Utara.
Persenjataan lengkap, mereka tidak membawa bekal makanan karena akan perjalanan itu tidak akan lama.
Sebelum berangkat, Raja kembali menyempatkan diri untuk mengunjungi ruang perawatan, namun Egara masih terlelap diatas tempat tidurnya dengan dijaga oleh seorang pelayan. Raja mengerutkan dahinya, merasa aneh karena dia memperkirakan kalau pria itu akan segera sembuh karena Raja bahkan telah membantu menyembuhkan dengan mantra sihir.
Para prajurit wanita juga telah bangun dan membantu persiapan perjalanan para pria. Cane membantu persiapan sang Raja, lalu Diya mengurus Pangeran Ren, lalu Corea yang mengurus kedua kakaknya. Ley dan Tao diurus oleh seorang pelayan yang juga dibantu oleh Corea yang telah cukup lama saling mengenal.
Rasanya aneh ketika membiarkan para pria untuk kembali melakukan perjalanan jauh. Ini adalah kedua kalinya Corea melepas kedua kakaknya pergi. Walau saat perjalanan pencarian Buku Sihir pada akhirnya ia ikut bergabung, namun membiarkan Raseel dan Hatt berkelana itu membuatnya sedikit sedih.
Corea masih berdiri termenung di halaman kerajaan setelah para pria itu telah jauh. Pikirannya kesana kemari, jantungnya berdebar tidak keruan.
"Hey, ada apa?" Cane menghampiri saudarinya itu.
"Aku merindukan ayah," ujar Corea. "Ah tiba-tiba saja bayangan wajahnya melintas di kepalaku saat memeluk Raseel dan Hatt. Ayah sendirian, ketiga anaknya malah berada di Kerajaan lain," imbuhnya.
Cane terdiam, ia lalu mengusap pelan bahu Corea.
"Ayahmu pasti baik-baik saja. Lagipula kau bisa berkunjung jika kau mau. Raja pasti memberikan ijin," kata Cane masih sambil menepuk bahu Corea.
Corea mengangguk. "Nanti saat aku pulang. Kau mau ikut bersamaku, 'kan?" tanyanya.
Cane berhenti mengusap, dia lalu mengedarkan pandangan ke halaman Kerajaan dengan pandangan kosong.
"Cane … ayah pasti juga sangat merindukanmu."
Cane masih diam.
"Ayah mungkin jahat untukmu, tapi percayalah dia sangat menyayangimu bahkan aku sempat iri padamu. Tapi aku sadar karena kau memang anak baik dan sangat wajar jika mendapatkan kasih saying yang lebih. Jangan memikirkan Hatt, anggap saja dia tdak ada. Dengan begitu kau akan baik-baik saja."
Cane menatap Corea. "Aku sudah tidak masalah dengan Hatt. Dia tidak lagi menggangguku, justru dia sangat baik dan memperlakukanku seperti bagaimana dia memperlakukanmu," ujarnya.
"Kau adalah kakak perempuanku, Cane. Aku sangat beruntung ketika kembali bertemu denganmu karena selama kau pergi aku hanya seorang diri tak berteman," ujar Corea lagi.
Cane tersenyum samar. "Mungkin jika jadwal kepulanganmu tepat, aku akan ikut."
"Ah aku akan pulang ketika kau yang senggang." Corea menatap Cane girang.
Cane segera berdecak. Kali ini dia tidak bisa menolak. Sama persis dengan sikap Hatt, Corea senang sekali memberikan tawaran namun tidak bisa dipilih ataupun ditolak oleh Cane.
"Hey, teman-teman. Apakah kita akan pergi berpatroli hari ini?" Diya menghampiri Corea dan Cane.
"Emm kurasa kelompok lain yang akan melakukannya," jawab Corea.
"Ah begitukah. Apakah aku boleh ikut dengan mereka?" Tanya Diya lagi.
"Tidak." Cane membuat Diya terdiam. Corea menyenggol lengan saudarinya.
"Maksudku kau tidak boleh ikut dengan mereka, namun boleh dengan kami. Kita harus makan pagi terlebihdulu sebelum berangkat patrol," ujar Cane merevisi kalimatnya.
Diya tersenyum, jelas sekali dia sangat senang karena ini.
Di halaman belakang Kerajaan Northan, lebih tepatnya di sekitar area perkebunan tomat, banyak prajurit dan pelayan kerajaan yang berkumpul. Mereka hendak menonton pertarungan kedua antara Raja Wedden dengan Ketua pasukan Northan, Egara.
Bukan hanya menonton, mereka juga telah siap dengan berbagai alat bantu untuk kesehatan jika saja ada yang terluka.
Corea bersama dengan Cane yang baru sadarkan diri menonton dari jarak yang agak jauh. Sementara Han dan Jeo mendampingi Ketua mereka yang mungkin akan sewaktu-waktu membutuhkan bantuannya.
Secara tidak langsung, untuk para prajurit dan pelayan, mereka telah terbagi menjadi dua kubu yang berbeda. Sebagian mendukung Raja karena sudah selayaknya Raja menjadi pemenangnya, namun sebagian lagi mendukung Egara yang merasa kalau Ketua mereka itu akan sanggup mengalahkan Raja dan akan mendapatkan promosi jabatan setelahnya.
Egara siap dengan pedangnya, begitu juga dengan Raja Wedden dari arah berlawanan namun dia tidak mengenakan atribut Raja sama sekali. Hanya dengan pakaian perang, keduanya sama sekali tidak terlihat ragu untuk memulainya.
Pangeran Soutra sempat berbisik pada Raja Wedden untuk tetap fokus dan jangan terpengaruh dengan apapun yang ada di kepalanya. Missal, halusinasi.
Ley juga demikian. Dia meminta pada Raja untuk tidak terlalu terbawa emosi karena sang Raja harus tetap menjaga wibawa sebagai seseorang yang dihormati. Tidak boleh terlalu kejam, karena seperti keinginan Raja Wedden, ia tidak ingin ditakuti oleh penduduk, namun disegani karena selalu mengayomi dan menciptakan rasa aman.
Egara menyentuh bagian dadanya, memastikan kalau jantungnya telah berdetak kembali normal. Dia merasa telah pulih sepenuhnya, dia juga tidak akan ragu menggunakan kekuatan sihirnya kepada sang Raja karena kali ini dia akan bertarung lebih serius dari sebelumnya.
Kali ini Ley yang berperan sebagai penengah. Dia meminta kedua pria itu untuk saling bersiap, dan mempersilahkan untuk saling menyerang satu sama lain.
"Serang dan kalahkan aku!" ujar Raja Wedden pada Egara yang telah menarik napas panjang dengan anggukan pelan.
Semula Raja Wedden hendak kembali menghentikan waktu, namun dia mengurungkan niatnya itu karena dia ingin semua orang menjadi saksi atas kekuatannya dan kekuatan Egara.
Dua pria dengan latar keluarga yang berbeda, namun dengan kekuatan yang seimbang. Itu sangat langka, hal itu jugalah yang membuat Raja Wedden tertarik selain memang dia ingin mengetes kemampuan Ketua Pasukannya itu.
Semula, mereka saling menyerang dengan menggunakan pedang. Dentingan nyaringnya terdengar hingga jauh, membuta pekerja yang ada di lingkungan Kerajaan tertarik untuk menyaksikan.
Egara pertama menyerang, tidak ragu-ragu dia bahkan segera menghunuskan beberapa kali kearah Raja Wedden. Pertarungan yang terlihat imbang. Raja Wedden sudah pandai menggunakan pedang, sehingga dia tidak kesulitan sama sekali untuk menangkis dan menyerang balik Egara.
Suasana masih tenang, namun mulai hangat bagi Egara dan Raja Wedden. Hingga akhirnya Raja Wedden memasang pelindung untuk area bertarung ia dan Egara agar tidak ada seorangpun yang dapat memasuki area mereka dan mengganggu.
Egara memandangi sekitar sejenak, dia dapat merasakan adanya pembatas antara dirinya dengan para prajurit yang menonton.
Beberapa orang terlihat cemas karena dengan terpasangnya pelindung sihir itu, maka tidak aka nada orang yang mampu memberikan pertolongan begitu saja ketika mereka terjatuh atau terluka.
"Serang aku! Gunakan semua kekuatanmu!" teriak Raja Wedden yang kembali bersiap dengan pedang panjangnya.