BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Egara Tidak Bercanda



Egara Tidak Bercanda

3"Terimakasih, Tuan. Kau membantu kakakku kali ini," ucap Corea canggung. Dia yang masih belum berbaikan sepeuhnya dengan pria yang berdiri di hadapannya, merasa tidak enak dan bingung.     

"Aku tidak membantunya, tapi aku membantumu."     

Corea menatap Egara, lalu kembali mengangguk dan mengulangi ucapan terimakasihnya.     

"Emm bisakah kau hanya memanggilku dengan nama? Aku merasa canggung dengan panggilan 'Tuan' darimu," ujar Egara.     

"Walau bagaimanapun kau adalah Raja baru Northan, akan sangat tidak sopan jika memanggilmu dengan nama," jawab Corea.     

"Lalu apakah aku harus memanggilmu 'Nona'?" tanya Egara.     

Corea menarik napas panjang, "Terdengar aneh. Tapi jika itu maumu, aku tidak apa," jawabnya.     

"Emm baiklah Nona Corea. Aku ingin mengatakan sesautu padamu." Egara melangkah lebih dekat pada Corea. Hanya berjarak satu meter, keduanya saling menatap.     

"Terimakasih telah berbaik hati padaku. Walaupun aku selalu kasar, tapi kau tetap berbuat baik padaku. Apapun alasanmu, aku tetap berterimakasih."     

Canggung. Corea menjawabnya dengan anggukan.     

"Hanya anggukan? Kau tidak ada suatu hal apapun untuk diucapkan?"     

"Haruskah? Ah aku tidak ada yang perlu dikatakan padamu."     

"Baiklah." Egara kembali melangkah mendekat, keduanya kini hanya berjarak satu langkah.     

"Kau bisa membantuku lagi?" tanya Egara.     

"Bisa, Tuan."     

Terdiam beberapa saat hingga membuat Corea sedikit memiringkan kepalanya untuk memastikan Egara tidak melamun.     

Tetapi tiba-tiba saja pria itu mendekat dan memeluknya erat tanpa berbasa basi. "Tolong tetaplah menjadi pendamping Raja hingga nanti," ucapnya lirih dengan suara rendahnya yang terdengar jelas oleh Corea. "Bantu aku menjadi Raja yang baik. Bisa kah?"     

Corea diam. "Ah bisakah kau lepaskan aku terlebihdulu? Aku kesulitan untuk bernapas," ujarnya yang kesulitan melepaskan diri dari tubuh besar pria itu.     

"Jawab terlebihdulu," ujar Egara.     

"Bukankah aku sudha menjawabnya?" ujar Corea. "Aku akan tetap menjadi pendamping Raja Northan, karena itu adalah sumpahku."     

"Jadilah pendampingku, Corea."     

"Argh!" Corea mulai memberontak. "Berhentilah bersikap seperti melamarku," gerutunya. Dia masih berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Egara.     

Egara lalu melepas tubuh wanita itu, namun masih menatapnya lekat. "Apa kau bodoh?" ucapnya kasar, membuat Corea memicingkan kedua matanya karena terkejut dengan pertanyaan itu.     

"Tidakkah kau merasa kalau aku sedang melamarmu, sungguhan."     

Corea diam, dia merinding dengan pertanyaan dari pria di hadapannya itu. "Tolong berhentilah main-main, Tuan. Aku sedang tidak memiliki banyak energy sehingga tidak dapat merespon dengan baik. Dengarlah, aku akan tetap menjadi pendamping Raja. Itu jawabanku."     

Corea hendak berbalik, namun lengannya ditahan oleh Egara.     

"Aku bercanda jika mengatakannya di hadapan banyak orang, tapi jika hanya kita berdua, inilah perasaan yang sebenarnya."     

Hening. Corea dapat merasakan seluruh tubuhnya merinding, udara dingin ditambah kalimat dari Egara membuatnya merasa tidak enak badan seketika.     

Masih saling bertatapan, tanpa basa basi lagi Egara segera menarik tubuh Corea dan mendekatkan wajahnya hingga hidung keduanya saling bersentuhan. Corea terkesiap karena hal itu, bahkan ketika dia belum sempat berkedip, pria itu telah mengecup lembut bibirnya.     

Cukup lama. Keduanya seperti berpindah alam yang tidak lagi terganggu dengan suasana malam.     

Corea melangkah mundur, dia merasa seluruh tubuhnya panas dan sangat tidak sehat. Segera saja dia pergi meninggalkan Egara tanpa mengucapkan sepatah kata apapun kembali menuju kamarnya. Pikirannya kacau, kantuknya hilang. Corea mengutuki dirinya sendiri yang terbius oleh tatapan mata Egara.     

"Apa yang baru saja kulakukan?" gumam Egara yang bertanya pada dirinya sendiri. "Sial! Aku menjadi bodoh karena wanita itu. Argh!" Ia hanya mampu memukul pelan kepalanya sendiri dan mengutuki sikapnya yang sudah pasti akan membuat suasana tidak nyaman diantara dirinya dan Corea.     

Egara lalu kembali melanjutkan berpatroli. Banyaknya tamu yang ada di kerajaan membuat suasana terasa ramai walau mereka semua sedang terlelap. Dia memutuskan untuk kembali ke bangunan utama dan berkeliling di bagian dalam.     

Beberapa prajurit yang ia temui memberikan hormat, suasana yang tenang membuat Egara juga tenang karena tidak ada hal yang meresahkan sama sekali.     

Dia berhenti di depan pintu kayu besar kamar Raja Wedden. Dia belum ada bertemu sejak Egara selesai bertarung dengan Raja Gael. Dia hanya menduga kalau Raja Wedden mungkin akan membernya sanksi atas kelakuannya, karena mengingat mimic wajah Raja Wedden saat menyudari pertarungannya.     

"Apakah Raja di dalam?" tanyanya pada seorang prajurit yang berjaga.     

"Iya, Tuan. Jika kau ingin berkunjung, kurasa akan lebih baik menunggu besok," ujar prajurit itu yang tahu dengan jam istirahat sang Raja.     

Egara hanya mengangguk. Tidak lama setelahnya ia pergi dan melanjutkan langkahnya, hingga dia terhenti di depan ruangan pembuatan kain sisit kerajaan.     

Samar namun pasti, dia mendengar ada kegiatan di dalam ruangan itu. Egara bertanya-tanya dengan dirinya sendiri, karena ruangan itu sudah sangat lama tidak lagi digunakan. Hanya sesekali ketika pelayan hendak menyiapkan pakaian Raja untuk pertemua atau apapun.     

Egara memberanikan diri untuk mengecek ruangan itu dan betapa terkejutnya dia ketika dia melihat Putri Leidy yang sedang melakukan pewarnaan kain yang telah ia buat dan sisit sendiri.     

Sempa hanya diam, Putri Leidy terkejut setelah menyadari adanya Egara di dekat pintu.     

"Oh hai," sapa Putri Leidy sambil sibuk dengan kegiatannya.     

"Kau … tidak istirahat?" ujar Egara yang mengedarkan pandangan ke sekitar, ada beberapa kain yang terlihat baru masih tergantung dengan rapi.     

"Aku sulit tidur, kurasa itu karena aku minum cukup banyak Bruen sore tadi," jawab Putri Leidy.     

Egara mengangguk samar. Egara sesekali masih mengamati putri Leidy yang kepribadiannya berubah drastic dari yang dahulu.     

"Apa kau akan kembali? Kurasa kau cocok dengan Kerajaan ini," ujar Egara.     

Putri Leidy mehela napas panjang. "Sedang kupertimbangkan," jawabnya dengan senyum. "Tidak semudah itu kembali meningglkan Kerajaan Barat setelah lama kutinggalkan."     

"Tapi … jika kau tinggal, maka kau akan menjadi pendampingku." Egara kembali dengan pembahsan yang sama dengan pembahasan sebelumnya bersama dengan Corea.     

Putri Leidy menatap Egara dengan sinis, namun setelahnya dia tertawa samar.     

"Atau kecuali … kau ingin menjadi pendamping Raja Wedden dan ikut ke Kerajan Baru?" Tanya Egara yang sedang melihat-lihat kain sisit yang digantung.     

"Aku bersedia menjadi pendampingmu, tapi jika kau membiarkan Corea menjadi pendamping Raja Wedden. Bagaimana?" pertanyaan putri Leidy berhasil membuat Egara menggeleng spontan.     

Putri Leidy menyunggingkan senyum, "Seorang Raja memang bagusnya memiliki pendamping, apalagi oendamping dengan status permaisuri," ujarnya lagi.     

Egara menatap putri Barat itu. Dia menduga-duga apakah wanita itu mengetahui tentang oikirannya yang masih tertuju pada Corea.     

"Jadi … apakah ini adalah saat terakhir aku dapa bicara tidak formal denganmu, Raja?" goda Putri Leidy yang melihat mulai adanya perubahan sikap dari Egara.     

"Ah Tentu. Kau harus menyebutku 'Tuan' setelah penobatan," ujar dengan sombngnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.