Berbincang dengan Kakak
Berbincang dengan Kakak
Suasana malam yang sangat sepi, hanya suara angin yang menyapa dedaunan yang menjadi hiburan tersendiri.
Tidak ada seorangpun selain para prajurit yang ada di luar, Egara memilih untuk berdiri di dekat kebun bunga.
Pandangan Egara kemudian tertuju pada sesuatu yang bergerak di bawah semak. Segera saja dia siaga dan mulai melangkah mendekat. Namun kemudian dia dikejutkan dengan munculnya sosok Corea yang terjengkang karena baru saja menarik kuat akar tanaman obat.
"Argh!" teriak Corea nyaring. Tangannya erat mencengkeram tanaman obat berdaun bulat dengan duti kecil. Wanita itu menggerutu samar, lalu kemudian tertawa dengan suara seseorang dari arah yang berlawanan dari tempat Egara berdiri.
"Dimana kekuatanmu? Ha ha ha" suara tawa seorang pria yang juga nyaring.
"Ah aku sudah mengantuk, kurasa.," sahut Corea yang bergegas berdiri.
Sementara Egara masih diam dan semakin mendekat seraya mengenali suara pria yang bersama dengan wanita itu.
"Ehh?" Egara telah berada di belakang Corea, dia bertatapan dengan Hatt yang sedang berdiri berbincang dengan adik perempuannya sambil masih memegangi lengannya yang sakit.
Kedua pria itu saling bertatapan untuk beberapa saat.
"Apa yang kalian lakukan disini?" ujar Egara tanpa basa basi dan berhasil megejutkan Corea.
"Sial!" umpat lirh Corea yang jantungnya berdebar kencang itu. Segera saja dia mendekat pada Hatt untuk memastikan tidak akan ada hal tidak menyenangkan yang terjadi padanya.
"Kau tidak melihatnya?" sahut Hatt ketus. "Corea sedang mencarikan obat untukku," imbuhnya.
"Sudah tengah malam. Kurasa besok pagi tidak akan masalah untuk mengganti ramuannya," ujar Egara. Dia menatap Corea yang sibuk memisahkan antara dau dan batang juga akar dari tanaman obatnya.
"Dia adik yang baik. Dia ingin aku segera membaik, sehingga harus memberikan obatnya sekarang juga." Hatt masih saja ketus. Dia mulai kesal karena sering sekali bertemu dengan Egara.
Corea tidak merespon Egara. Dia hanya fokus dengan dedaunan dan menumbuknya dengan batu taman.
Suasana menjadi canggung dengan adanya Egara. Hatt dan Corea yang semula berbincang menjad lebih diam, hanya sesekali membahas tentang ramuan yang membutuhkan campuran lain.
"Aku akan mencarikannya besok untukmu," ujar Corea pada Hatt ketika mereka membahas tentang akar tanaman yang tumbuh di sekitaran bukit.
"Ah bukankah ramuan ini sudah cukup?"
"Jika dicampur maka lenganmu ini akan segera pulih."
"Begitukah? Ah aku beruntung sekali memiliki adik perempuan sepertimu, Corea." Hatt duduk di sebuah batu besar di dekat sang adik sedang mempersiapkan ramuan untuknya.
Egara bergeming. Namun dia melihat Corea mulai mengantuk karena beberapa kali megerutkan dahi dan memijat keningnya. Egara lalu pergi tanpa adanya basa basi, tetapi tidak lama kemudian dia kembali dengan membawakan cawan berisi air juga potongan kecil akar tanaman obat yang sebelumnya dibahas oleh peri lembah bersaudara itu.
"Kemarikan itu. Biarkan aku yang menumbuknya," ujar Egara yang segera duduk di dekat Corea.
Sempat menolak, namun Corea segera menyetujui karena dia sudah lelah hingga kekurangan tenaga untuk menumbuk.
Hattpun tidak berkomentar, justru membiarkan sang adik untuk istirahat dengan membiarkan Egara menyiapkan obat untuknya.
Egara juga membantu untukmengoles ramuan itu. Semakin canggung, namun Hatt tidak berkomentar apapun karena dia beruntung mendapat perlakuan baik dari Egara yang tidak biasa.
"Hey kalian sedang apa? Aku mencari kalian hingga seluruh ruangan." Raseel menyusul. Dia kesal dan mengomel pada kedua adiknya, namun seketika terdiam ketika melihat Egara yang sedang membalur dan memijat kecil lengan Hatt.
"Lenganku nyeri dan terasa berkedut, Corea membuatkan ramuan untukku," ujar Hatt memberikan penjelasan
Raseel mengerutkan dahi, dia membutuhkan ucapan Egara yang mungkin menjelaskan kenapa dia juga ada bersama dengan kedua adiknya.
"Tapi ini sudah sangat larut, kenapa kalian merepotkan diri kalian sendiri. Kurasa pelayan akan membantu jika memang mendesak." Raseel mehela napas panjang.
"Eee …," Corea belum sempat memberikan jawaban.
"Racun dari gigi ular belum sepenuhnya hilang, jika ditunda maka akan berdampak buruk." Egara menyela pembicaraan mereka sekaligus memberikan jawaban menenangkan kekhawatiran Raseel.
"Ah begitu …," gumam Raseel.
"Sekarang kau boleh istirahat, Kak. Sisa ramuan ini, kau bisa menyimpannya untuk dioleskan kembali ketika yang ada di lenganmu telah kering." Egara lalu menyerahkan sisa ramuan dan membungkusnya dengan daun.
Hatt mengangguk, namun detik berikutnya dia tersadarkan akan sesuatu.
"Kak? Kau memanggilku 'Kak'?" ujarnya seraya mengerutkan dahi.
Canggung, Egara menatap Raseel dan Corea bergantian, dia kemudian megangguk sebagai jawabannya.
"Walau bagaimanapun kau lebih tua dariku, jadi aku harus bersikap sopan," ujar Egara lagi.
"Argh sial! Kau membuat leher belakangku tegang setelah mendenagrnya." Hatt kesal, dia benar-benar merasa aneh dengan sikap Egara.
Raseel membawa Hatt ke kamar untuk istirahat, namun dia sengaja meninggalkan Corea untuk berbincang pada Egara. Hatt semula menyuruh Corea untuk juga istirahat, namun Raseel mengalihkan pembicaraan sehingga Hatt diam dan nurut padanya.
Corea mehela napas panjang. Suasana kembali menjadi hening dengan angin malam yang semakin dinging.
"Terimakasih, Tuan. Kau membantu kakakku kali ini," ucap Corea canggung. Dia yang masih belum berbaikan sepeuhnya dengan pria yang berdiri di hadapannya, merasa tidak enak dan bingung.
"Aku tidak membantunya, tapi aku membantumu."
Corea menatap Egara, lalu kembali mengangguk dan mengulangi ucapan terimakasihnya.
"Emm bisakah kau hanya memanggilku dengan nama? Aku merasa canggung dengan panggilan 'Tuan' darimu," ujar Egara.
"Walau bagaimanapun kau adalah Raja baru Northan, akan sangat tidak sopan jika memanggilmu dengan nama," jawab Corea.
"Lalu apakah aku harus memanggilmu 'Nona'?" tanya Egara.
Corea menarik napas panjang, "Terdengar aneh. Tapi jika itu maumu, aku tidak apa," jawabnya.
"Emm baiklah Nona Corea. Aku ingin mengatakan sesautu padamu." Egara melangkah lebih dekat pada Corea. Hanya berjarak satu meter, keduanya saling menatap.
"Terimakasih telah berbaik hati padaku. Walaupun aku selalu kasar, tapi kau tetap berbuat baik padaku. Apapun alasanmu, aku tetap berterimakasih."
Canggung. Corea menjawabnya dengan anggukan.
"Hanya anggukan? Kau tidak ada suatu hal apapun untuk diucapkan?"
"Haruskah? Ah aku tidak ada yang perlu dikatakan padamu."
"Baiklah." Egara kembali melangkah mendekat, keduanya kini hanya berjarak satu langkah.
"Kau bisa membantuku lagi?" tanya Egara.
"Bisa, Tuan."
Terdiam beberapa saat hingga membuat Corea sedikit memiringkan kepalanya untuk memastikan Egara tidak melamun.
Tetapi tiba-tiba saja pria itu mendekat dan memeluknya erat tanpa berbasa basi. "Tolong tetaplah menjadi pendamping Raja hingga nanti," ucapnya lirih dengan suara rendahnya yang terdengar jelas oleh Corea. "Bantu aku menjadi Raja yang baik. Bisa kah?"
***