Siapkah Egara
Siapkah Egara
"Tentu," sahut Egara tanpa ragu. "Prajurit kami akan tetap menjadi yang terbaik walaupun semuanya adalah prajurit baru. kami juga akan menambah prajurit wanita. Kurasa, bukan hanya Raja yang membutuhkan kekuatan sihir, tapi semuanya. Sehingga nanti aku akan melakukan itu agar system pertahanan kami semakin kuat. Jika Raja Wedden mengijinkan, maka aku juga akan membantu untuk mengajarkan kekuatan sihir untuk seluruh Kerajaan."
Raddone berdecak. Dia mengerutkan dahi setelah mendengar kalimat panjang yang berisi kesombongan itu.
"Kerajaan bekas Raja Elf. Bukankah itu sudah jelas akan menjadi yang terbaik? Kurasa kau harus membangun kerajaan dengan kekuatanmu sendiri, Bung. " Raja Gael ikut bersuara. Masih dengan gelas Bruennya yang terisi penuh, Raja TImur itu mulai mabuk namun masih mampu menyimak dengan baik.
Egara menarik napas panjang. "Akan tetap menjadi yang terbaik," ujarnya dengan yakin.
Raja Wedden tersenyum samar, dia mengangguk mantap dengan jawaban dari Egara.
"Raja Wedden bahkan belum mengenai Kerajaan sepenuhnya, aku yakin aku bisa menjadi Raja yang lebih baik," ujar Egara lagi.
"Aku mendengar banyak tentangmu dari putraku," ujar Raja Soutra yang mengamati sikap Egara. "Aku yakin pilihan Raja Wedden tidak salah," imbuhnya.
"Aku juga yakin Raja Wedden tidak akan salah memilih pengganti. Lagipula … kita tidak akan tahu jika belum mencobanya. Apakah kau sudah siap untuk tanggungjawabmu selanjutnya?" Raja Raddone menatap lekat Egara.
"Ah tentu. Aku akan belajar banyak dengan kalian yang lebih senior." Egara membalas tatapan tajam Raja Raddone dengan sedikit menyunggingkan senyumnya.
Corea keluar dari ruang pertemuan itu bersama dengan Cane. Mereka menuju dapur untuk mengecek para pelayan yang baru saja menyajikan makanan penutup. Mereka berdua bertemu dengan Ley yang sedang berdiri di dekat pilat di halaman belakang.
Terlihat mematung, namun pandangannya sangat fokus nyaris tidak berkedip.
"Hey, ada apa?" sapa Corea yang mengikuti arah pandang Ley.
"Kau menyukainya?" sambung Cane yang mengetahui kalau pria rambut marun itu sedang memandangi Aira.
"Dia menarik," ujar Ley belum menyelesaikan kalimatnya. Corea dan Cane hampir menggodanya karena menyukai pelayan baru itu. Namun Ley memperjelas kalimatnya sehingga membuat kedua prajurit wanita itu terdiam.
"Sikapnya sangat mencuri perhatian. Selalu mengintip para tamu, selalu ingin lebih dekat dan selalu ingin mengetahui semuanya. Menarik sekali," sambung Ley.
"Ah aku sudah menduganya," ujar Cane dengan helaan napas panjang.
Corea hanya diam, dia memandangi dari belakang Aira yang sedang menemani putri Leidy berjalan di sekitar perkebunan.
"Kalian dimana menemukan wanita itu?" Tanya Ley.
"Pasar," sahut Cane segera.
"Ah sudah kubilang dia adalah wanita yang tersesat dan membutuhkan bantuan," sela Corea.
"Kau yakin dia orang baik?" Ley sedikit memiringkan kepalanya.
Corea menatap rekannya itu. Dia lalu sedikit mendekatkan wajahnya dan berbisik padaLey mengenai apa yang ia pikirkan.
"Akan lebih mudah menangkapnya ketika dia berada di Kerajaan, bukan?" ujar Corea lagi.
"Benar. Aku hanya khawatir dia membahayakan Raja ataupun Kerajaan secara umum," kata Ley.
Corea tersenyum samar, saat ia hendak melanjutkan kalimatnya, Raja Wedden bersama dengan tamu lain keluar dari ruang pertemuan dan segera menyebar di halaman belakang. Corea hanya sedikit melirik Ley dan mengangkt kedua alisnya, mereka akan menyambung percakapan di waktu lain.
Raja Wedden menghampiri Cane, terlihat berbincang tentang sesuatu yang penting. Corea undur diri, dia memilih untuk menemui prajurit lain yang sedang membersihkan gudang senjata dan memilah senjata yang masih layak pakai untuk digunakan kembali.
Egara yang melihat arah yang dituju Corea, bergegas mengejarnya. Namun Raja Gael menarik lengannya kuat dan menahan langkahnya.
"Kau mau kemana? Kenapa sangat terburu-buru?" ujar Raja Timur itu.
"Mengecek baju perang dan senjata," jawab Egara jujur.
"Bisakah aku ikut? Ah aku juga hendak memperkenalkan banyak hal pada dia." Raja Gael menunjuk Haira yang sedang berbincang dengan Vido tidak jauh dari Raja Gael berdiri.
"Apakah dia prajurit wanita? Kukira dia adalah pendampingmu?" Egara mengamati wanita muda nan cantik itu. Sama sekali tidak terlihat sebagai seseorang yang pandai bertarung.
Raja Gael mengangguk, wajah mabuknya jelas terlihat dengan perilaku yang seperti sedang tidak berpijak pada tanah.
"Hey, kau! Kemarilah!"
Haira segera menghampiri Raja Gael, begitu juga dengan Vido yang selalu mendampingi wanita itu.
"Kau harus belajar banyak dari dia. Mengerti?" ujar Raja Gael.
Haira bingung, namun dia hanya mengangguk karena Raja akan sangat marah jika dia menolaknya.
Vido masih tetap mendampingi. Dia sebagai Ketua Pasukan TImur merasa bertanggung jawab dengan segala sesuatu yang berkaitan dnegan peperangan ataupun persenjataan.
Egara hanya mehela napas panjang. Dia tidak akan menolak permintaan Raja Timur itu walau dia cukup kurang nyaman dengan ikut sertanya mereka ketika ia hendak menemui Corea.
Raja Gael masih mempertanyakan kesiapan Egara selama perjalanan menuju ruang senjata. Ia menyebutkan kalau Egara memang layak, namun dia merasa ada yang aneh dalam diri Egara karena dia bukanlah manusia biasa yang mampu menguasai banyak ilmu dan kekuatan.
Egara hanya menyimak, sesekali dia memberikan respon berupa anggukan atau gelengan kepala. Dia sudah paham dengan sikap Raja Timur yang selalu ingin tahu, hanya saja pikirannya yang sedang tidak fokus itu membuat Egara terlalu malas untuk merespon.
Egara juga tidak habis pikir dengan keputusan Raja Gael yang akan membiarkan nona Haira mengenal peperangan dengan penampilan yang sangat anggun, bahkan mengenakan gaun indah.
Benar-benar Raja yang membutuhkan pencerahan untuk isi kepalanya, begitulah pikiran Egara mengenai Raja Gael.
Mereka tiba di gudang senjata, Egara meminta pada Corea untuk mengajak Haira masuk dan melihat-lihat dengan ditemani oleh Vido. Sementara dia akan bersama dengan Raja Gael menikmati udara sejuk di luar dengan sedikit berbincang.
"Kau harus melatih dirimu, Raja. Jika boleh jujur, aku sangat ingin mengajakmu berduel suatu saat nanti," ujar Egara.
Gael menatap Egara. "Kau ingin mengajakku bertarung? Kau bercanda? Aku seorang Raja dnegan keturunan langsung dari pendiri Kerajaan Timest. Apa kau sedang meremehkanku?"
"Tidak. Aku justru mengagumimu. Aku kagum karena seorang pecandu Bruen sepertimu dapat menjadi seorang Raja."
Raja Gael geram dengan kaliamt Egara itu. "Kau lancang, Bung. Jangan karena kau kini adalah seorang Raja maka kau bisa meremehkanku seperti ini. Ika kau ingin bertarung, ayo! Aku sama sekali tidak takut padamu."
"Begitukah? Aku menginginkan imbalan jika aku menang," ujar Egara.
Raja Gael mengerutkan dahi. "Apa itu?"
"Haira. Aku ingin wanita itu menjadi pendampingku."
Raja Gael terdiam. Dia sangat marah namun tidak dapat mengekspresikannya dengan baik.
***