BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Putri Leidy Kembali



Putri Leidy Kembali

0"Kau ingin melatih pasukan wanita Kerajaan? Kau bercanda, Raja? Aku mana mungkin bisa, aku bahkan tidak pernah bertarung sebelumnya. Ah jangankan bertarung, bersapa dengan pedang saja aku tidak pernah," ujar Putri Leidy ketika Raja Wedden menyarankan dirinya untuk menjadi pelatih pasukan wanita Kerajaan Barat, seperti yang diminta oleh Raja Raddone, kakak putri Leidy.     

Putri Leidy terkikik dengan kalimat Raja yang dia anggap tidak masuk akal itu.     

"Kau pernah melawan pasukan gagak di Timur. Apa kau melupakannya?" ujar Raja.     

"Ah itu bukan aku. Kau lupa aku pernah memiliki kekuatan namun sangat membahayakan seluruh Negeri?" Putri Leidy berbalik bertanya.     

Raja Wedden menarik napas panjang.     

"Aku tahu kau tidak akan membiarkan Corea ataupun Cane pergi ke Barat. Tapi bagaimana jika pasukan wanita kami yang berlatih di Selatan? Atau mungkin dapat dengan bertukar prajurit untuk beberapa waktu? Kurasa prajurit kalian yang lain sudah mampu untuk melatih walau bukan sebagai Ketua Pasukan." Putri leidy memberikan saran.     

"Aku juga sempat memikirkan hal itu. Tapi …."     

"Ada apa, Raja?"     

"Ah itu akan ku bicarakan pada kakakmu," ujar Raja Wedden.     

Putri Leidy mengangguk samar.     

Raja Wedden menatap Putri Leidy yang sedang mengunyah gigitan buah tomat terakhirnya.     

"Kau baik-baik saja? kurasa kita sejak tadi hanya membahas mengenai Kerajaan. Kali ini aku akan membahas tentang dirimu."     

Putri Leidy mengangguk dengan senyumnya. "Seperti yang kau lihat, Raja. Aku sehat dan baik-baik saja," jawabnya ceria.     

"Ada hal buruk terjadi denganmu setelah ritual itu?" Tanya Raja Wedden lagi.     

"Tidak. Semuanya sungguh baik-baik saja. Hanya sedikit lelah karena energiku banyak terkuras," jawab Putri Leidy.     

Raja tertawa samar. "Jika begitu, kurasa sudah saatnya kau kembali," ujarnya.     

"Kembali?" Putri Leidy sedikit memiringkan kepalanya, dia menatap Raja penuh Tanya.     

"Kerajaan ini membutuhkanmu," ujar Raja.     

"Ah …." Spontan Putri Leidy tertawa. "Aduh bisa-bisanya aku tidak terpikirkan hal ini," ucapnya. "Apakah Raja Egara akan membutuhkanku? Kurasa dia sudah hebat, terlebih Corea dan Cane adalah dua wanita yang juga ahli di banyak bidang."     

"Aku tidak mengatakan Egara. Tapi aku," ujar Raja. Hal itu membuat Putri Leidy terdiam sejenak.     

"Aku menyebutnya 'Kerajaan ini' karena untuk sementara waktu aku masih disini. Tapi setelah Kerajaan baru selesai dibangun, kau akan ke Kerajaan itu."     

"Kau tidak sedang memintaku untuk menjadi pendampingmu kan, Raja?"     

"Aku memintamu untuk menjadi pendamping," sahut Raja segera.     

"Maksudku … permaisuri?"     

Hening sejenak.     

"Haha maafkan aku, aku hanya bercanda." Putri Leidy menundukkan kepalanya. "Aku masih perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan seperti terlahir kembali setelah ritual itu, Raja. Jadi … kurasa aku belum bisa memberikan jawaban untuk tawaranmu tadi sekarang. Maafkan aku. Tapi sungguh aku tidak akan keberatan jika kau atau anggota Kerajaan lain meminta bantuan dariku, karena selama aku mampu maka aku akan membantu." Sikap Putri Leidy santun sekali.     

Raja Wedden mehela napas panjang. Dia merespon baik kalimat Putri Leidy yang sudah diduga olehnya. Hanya saja, dia masih membutuhkan jawaban atas pertanyaannya itu.     

*     

*     

Di ruang senjata. Egara sedang memilih senjata terbaik yang akan dia berikan pada Raja Gael juga baju perang yang sesuai. Dia tidak mengatakan apapun pada prajuritnya, hanya memilih sendiri dan mencobanya pada angina.     

"Kau akan bertarung lagi?" Tanya COrea yang tiba-tiba ada di dekat Egara.     

"Hanya berlatih," jawabnya singkat.     

"Dengan siapa?"     

"Kenapa kau ingin tahu?"     

"Ck!" Corea berdecak kesal. Dia merasa saah bertanya pada pria yang telah mengatakan kalau membencinya itu. Segera saja Corea pergi dengan membawa sebuah pedang yang sudah berkarat.     

"Hey," Egara menahan lengannya. Corea berhenti dan segera menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat.     

Sikap Corea membuat Egara tidak nyaman. Dia yang biasa bicara tidak formal itu mendapat 'hormat' dari rekannya yang seringkali berseteru dengannya.     

"Aku akan meralat kalimatku. Aku tidak membencimu. Aku merasa beruntung karena kenal dan belajar banyak darimu." Kalimat Egara panjang dan terucap sangat cepat.     

"Hah?" Corea gagal paham. Dia sama sekali tidak melihat ekspresi meminta maaf dari Egara, justru sedang marah namun dengan nada datar.     

"Maafkan aku," ujar Egara lebih jelas.     

Corea terdiam. Dia merasa sangat asing dengan ucapan dari pria yang selama ini bersikap kasar itu. "Gimana?" Corea memiringkan sedikit kepalanya.     

Egara mendengkus. Namun dia tahu dia harus menjaga sikapnya kali ini. "Maafkan aku. Aku akan menarik kalimatku sebelumnya. Aku tidak membencimu. Aku merasa beruntung karena kenal dan belajar banyak darimu."     

Kali ini Corea mendengarnya dengan jelas. Namun itu membuatnya mengerutkan dahi. "Sial, aku merinding," umpatnya.     

"Bisakah kita menjadi rekan yang baik? Kita akan saling membantu untuk kedepannya," ujar Egara lagi.     

"Aku akan bersikap padamu sebagaimana kau bersikap padaku, Tuan."     

Egara terdiam.     

"Tapi terimakasih atas kejujuranmu. Aku juga meminta maaf karena telah lancang padamu sebelumnya." Corea kembali menundukkan kepalanya. Lalu dia meninggalkan Egara dan menuju prajurit lain yang sedang mengurus senjata.     

Egara mehela napas panjang. Dia juga merinding dengan sikapnya sendiri. Meminta maaf memang bukan hal yang biasa dia lakukan, namun kali ini dia mengucapkannya pada seorang wanita.     

Huhh. Egara mengusap kasar wajahnya sendiri.     

"Hey, Bung. Kemarilah!" Egara memanggil Vido yang tidak jauh darinya. "Apakah Raja Gael akan menyukai pedang jenis ini?" dia menunjukkan pedang pilihannya itu pada Vido, Ketua Pasukan Kerajaan TImest.     

Pedang yang panjang dan lebar, terlihat gahar dan cocok untuk kepribadian Raja Gael yang kasar dan penuh amarah.     

Vido masih mengamati pedang itu dengan diam.     

"Jangan bilang dia tidak pernah bertarung sebelumnya," celetuk Egara kemudian.     

"Dia pernah," sahut Vido seketika. "Tapi kurasa Raja menyukai pedang yang biasa. Seperti yang sedang dibawa oleh Haira itu," imbuhnya seraya menunjuk pedang yang berbentuk meruncing.     

Egara mengangguk samar. "Kalau begitu kau pilihkan senjata terbaik untuk Raja Gael, juga baju perangnya."     

"Apakah Raja akan bertarung?" Vido kebingungan.     

Egara mengangguk. "Melawanku. Ah maksudku, kami akan berlatih bersama dengan menggunakan baju perang dan senjata terbaik."     

"Kau? Apa yang sedang kau rencanakan?" Vido mengerutkan dahinya.     

"Sudah kukatakan kami hanya akan berlatih bersama. Tidak ada rencana atau apapun di baliknya. Kurasa, ini adalah hal yang biasa dilakukan oleh dua Raja, 'kan?" ujar Egara. Dengan sombongnya dia lalu mengangkat kedua alisnya dan berhasil membuat Vido kesal namun hanya menahan marahnya.     

"Kami akan berlatih sebelum matahari terbenam, jadi … siapkan dengan segera." Egara sedikit menepuk bahu Vido, kemudian dia pergi dan sempat menoleh pada Haira. Wanita itu hanya berkedip beberapa kali, dia tidak berani merespon apapun.     

"Sialan! Dia bahkan belum dilantik sebagai Raja tapi sudah sangat sombong!" geram Vido yang terdengar jelas oleh Haira.     

"Ada apa? Apakah dia mengatakan sesuatu yang buruk?" ujar Haira.     

Vido menggeleng. "Kau temui saja Raja Gael. Mintalah dia untuk berhenti minum dan fokus untuk latihan bertarung. Skearang!"     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.