Percakapan Malam
Percakapan Malam
"Aduh!" Corea nyaris mengumpat.
Egara menatap lekat Corea, tajam dan seperti hendak menyerang. Namun tiba-tiba saja pria itu memeluk erat Corea hingga membuat wanita itu kehilangan kendali untuk napasnya.
Deg deg deg.
Corea tidak dapat melepaskan diri dari dekapan tubuh besar Egara.
"Aku membencimu, sialan!" gumam Egara. "Bisakah kau berhenti menggangguku!"
Corea spontan menendang Egara dengan kuat hingga membuatnya mengaduh dan melepaskan erat pelukannya.
Sekali lagi, wanita itu memukul keras wajah Egara tepat pada bagian pipi.
"Sialan! Kaulah yang menggangguku! Kau membuatku selalu marah dan kesal! Tapi tiba-tiba kau berbuat baik padaku, memelukku seolah aku adalah adik perempuanmu. Tapi kau menyebutku 'sialan'? apa kau masih waras?!" Corea tidak terkendali. Dia bahkan tidak lagi peduli dengan status 'Raja' yang sebelumnya ia bahas dengan pria itu.
Egara masih menahan nyeri. "Kau !"
"Apa? Kenapa? Kau membenciku? Sangat membenciku? Kenapa kau tidak mengajakku berduel dan mengalahkanku dengan semua kekuatan yang kau punya? Hah?! Kenapa kau berubah-ubah dan selalu menatapku sebagai seorang musuh? Asal kau tahu, Egara. Aku juga membencimu! Tapi setelah aku mendengar semua kalimat Raja Wedden, aku mulai mengubah pola pikirku dan menganggapmu sebagai orang baik. Aku juga sudah bersiap jika harus menyebutmu 'Raja' yang sesungguhnya."
Tatapan mata keduanya saling bertemu. Sangat jelas Corea terbakar emosi.
"Ayo kita bertarung dan kalahkan aku. Dengan begitu kau akan puas karena telah melenyapkan orang yang kau benci. Akupun akan puas karena tidak kalah dengan hanya diam."
Deg.
Egara merasakan sesautu menuuk di jantungnya. Kaliamt Corea yang terakhir membuatnya merasa marah namun juga tidak enak.
Corea lalu meninggalkan Egara seorang diri, di dekat balkon halaman belakang yang sudah mulai diangatkan matahari.
Hanya mampu mehala napas panjang. Disaat yang bersamaan, Egara merasa malu dan juga bodoh. Dia tidak dapat mengatakan apapun ketika wanita itu mengoceh panjang dan lebar. Dipijatnya pelan kepalanya yang mendadak pening. Dia menyesali banyaknya umlah Bruen yang telah ia habiskan selama menemani Raja di ruang perawatan.
"Sial!" umpatnya nyaris frustasi dengan dirinya sendiri.
Sementara itu, di ruang perawatan. Diya baru saja selesai membalut kaki Pangeran Soutra yang ternyata juga terluka saat bertarung dengan ular raksasa. Tidak jelas penyebabnya, Pangeran Ren bahkan baru mengetahinya ketika dia hendak tidur namun kakinya terasa keram.
Diya masih tidak mengucapkan apapun pada Pangeran Ren. Hanya melakukan pekerjaannya dengan tenang, sesekali mengangguk ketika Pangeran Ren mengatakan sesautu.
Ren memperhatikan Diya yang selalu menghindari untuk kontak mata dengannya. Pangeran Ren terus berusaha menatap wanita itu.
"Kenapa kau mengabaikanku?" tanyanya.
"Maaf, Tuan." Suara pertama Diya sejak awal kedatangannya ke ruang perawatan.
"Kau kesal padaku?" tanya Pangeran Ren. Diya menggeleng.
"Hey aku marah!" Ren sedikit meninggikan suaranya. "Kau seharusnya merawatku dengan baik, tapi kenapa kau hanya diam dan membuatku seperti orang bodoh yang bicara sendiri?"
Diya masih diam.
"Tatap aku, Diya." Pangeran Ren meraih wajah wanita itu dan membuatnya untuk menatap kedua matanya.
Ren menatap kedua manik Diya seksama. Namun Diya kembali menundukkan kepalanya. "Maafkan aku," ujar wanita itu.
"Ah kenapa kau selalu meminta maaf saat kau sama sekali tidak melakukan kesalahan?"
Diya kembali diam. Lalu tanpa diduga oleh Pangeran Ren, wanita itu menangis dengan diamnya.
"Hey ada apa? Apakah aku terlalu keras padamu? Kenapa kau menangis?" Pangeran Ren mulai panic.
Diya menggeleng.
"Diya kumohon katakana sesuatu. Tatap aku!" Ren kembali meraih wajah pengawalnya itu. Dia sangat tidak menyukai jika diabaikan.
Dengan kedua matanya yang memerah dan mulai berair, Diya menatap Pangeran Ren. "Maafkan aku. Sungguh maafkan aku. Aku tidak menjagamu dengan baik," ujarnya.
Pangeran Ren seketika mengerutkan dahi. "Aku yang tidak ingin kau jaga. Kenapa kau emrasa bersalah karena keinginanku?"
"Kurasa aku telah bersumpah dnegan jiwaku pada Raja, sehingga jika ada hal yang terjadi pada Pangeran aku selalu merasa bersalah. Terlebih dengan keadaanmu yang seperti ini. Sungguh menyakitkan karena aku telah mengingkari janjiku pada Raja." Diya menahan diri untuk tidak menangsi di hadapan Pangeran Ren.
Ren berdecak. Dia kesal jika melihat sesorang menangis di hadapannya. Tapi dia juga tidak paham dengan jalan pikiran wanita itu.
"Kau tidak mengingkari janji pada siapapun. Mengerti? Akulah yang tidak ingin kau jaga karena memang ini adalah perjalanan para pria sesuai dengan perintah Raja Wedden. Ini benar-benar bukan salahmu."
DIya menggeleng, namun masih dengan wajah yang memerah.
"Ahh berhentilah berwajah sedih seperti itu. Aku tidak menyukainya," geram Pangeran Ren yang semakin kesal.
"Maafkan aku."
"Argh sial!" Pangeran Ren lalu meraih kepala Diya dan mengusapnya beberapa kali.
"Kembalilah ke kamarmu dan istirahat. Aku sudah baik-baik saja karena perawatan darimu. Ini adalah bayaran yang setimpal untuk rasa bersalahmu," ujar Pangeran Ren lirih.
Pangeran Ren juga meraih sebutir anggur yang ada pada piring diatas meja di dekatnya. "Tidak ada berry emas, kurasa ini cukup untuk mengembalikan suasana hatimu." Pria cantik itu menyuapkan butir anggur itu pada Diya.
"Kembalilah!" uajrnya lagi cukup ditekan.
Diya mengangguk dan entah sudah berapa kali dia meminta maaf pada Pangeran Ren atas semua kesalahannya.
Pangeran Ren masih belum merebahkan tubuhnya. Dia tida begitu mengantuk, hanya sedang memandangi semua rekannya yang terlelap termasuk sang Raja yang sama sekali tidak mendapatkan perlakuan istimewa dari pelayan. Tidak terlihat seperti Raja karena tidur di ruangan yang sama dengan para tamunya.
Klek.
Ley kembali dari buang air. Dia juga membawa sebuah belati di tangannya. Pangeran Ren hanya mengernyitkan dahi melihat benda tajam itu.
"Kau tidak tidur?" ujar pria berambut marun itu saat mengetahui Pangeran Ren yang masih dudk di tempat tidurnya.
"Aku tidak lagi mengantuk. Kurasa aku akan tidur saat pertemuan dimulai," sahut Pangeran Ren dengan tawanya.
"Ah kau mungkin akan mendapat sanksi dari dia," ujar Ley sembari menunjuk Raja Wedden yang terlelap.
Keduanya lalu tertawa. "Aku bukan Raja, sehingga tidak akan mendapat sanksi apapun," sahut Pangeran Ren membela diri.
Ley hanya menggeleng.
"Bung, kau telah siap dengan Raja baru di Northan?" tanya Pangeran Ren.
Ley terdiam. "Kurasa kita tidak punya pilihan selain 'iya'. Benar, 'kan?" ujarnya.
Pangeran Ren lalu mengangguk. "Tapi kemampuannya sungguh diluar dugaanku. Dia sangat layak untuk memimpin pasukan besar. Kurasa."
"Emm. Dia juga memiliki hati yang baik walau terkadang kasar dan congkak," imbuh Ley.
"Ah kukira masih belum bisa menyaingi ke-congkak-an Raja Gael," celetuk Ren membuat Ley menahan diri untuk tertawa.
***