BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Pengakuan Untuk Raja Baru



Pengakuan Untuk Raja Baru

1"Raja?"     

Semua orang menoleh kearah sumber suara. Ternyata itu adalah Raja Wedden yang telah sadar, dia membuka mata dan menatap Egara yang sedang duduk manikmati Bruen.     

Egara merinding mendengar ucapan Raja Wedden, dia juga nyaris tersedak ketika kedua manik mata merek saling bertemu.     

"Kau yang menyembuhkanku?" ujar Raja Wedden. Dia lalu minta untuk dibantu duduk oleh Cane.     

"Tidak."     

"Iya," sahut Cane menyela jawaban Egara.     

"Aku hanya minum," ucap Egara kemudian. Dia belum siap dengan percakapan yang membuatnya merinding ini.     

"Terimakasih," ujar Raja Wedden. "Ah sebenarnya aku sangat menyayangkan kau tidak ikut dalam perjalanan kami," imbuhnya kemudian.     

Seketika Ley dan Raseel saling pandang, keduanya menggeleng bersamaan.     

"Ada apa? Kenapa aku harus?" Egara semakin tidak paham.     

"Kami mendapatkan sambutan yang menyenangkan dari para penjaga hutan. Bahkan Hatt dan bocah itu," Raja Wedden menunjuk Tao yang sudah terlelap. "Mereka enggan untuk pulang karena terlalu menikmatinya."     

"Sial …," umpat Hatt lirih. Dia merasa malu dan kemudian berpura untuk memejamkan mata.     

Raja Wedden terkikik geli. "Ah tapi kita beruntung dapat kembali dalam keadaan yang baik-baik saja."     

"Tidak denganku," sahut Hatt dengan mata terpejam.     

Egara mulai mengerti arah pembicaraan kali ini. Dia hanya diam dan kembali menenggak isi botol yang ia genggam.     

"Kau pernah bertemu mereka?" tanya Pangeran Ren pada Egara. Pria cantik itu membawa sebuah gelas dan meminta pada Egara untuk menuangkan Bruen ke dalamnya.     

"Tentu. Mereka adalah anggota Kerajaan Kimanh dahulu."     

"Ku pernah mengunjungi tempat mereka?" tanya Ren lagi.     

Egara mengangguk seraya menuangkan Bruen untuk Pangeran Utara itu.     

"Apakah sesuatu terjadi padamu?" sahut Ley yang juga penasaran.     

"Kurasa aku hampir mati karena mereka menyerangku saat baru menginjakkan kaki di wilayah mereka. Itu buka kesengajaan, kami hanya sedang melakukan perjalanan namun tersesat hingga ke wilayah mereka."     

"Kau diserang? Bagaimana?" tanya Pangeran Ren.     

Egara mengerutkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaan yang tidak begitu penting.     

"Diserang dengan kekuatan mereka. Kami juga dicekik dengan kuku tajam mereka. Begitulah cara mereka bertarung," ujar Egara. "Memangnya mereka akan menyerang dengan seperti apa lagi?" tanyanya balik.     

Pangeran Ren segera menenggak minumannya, enggan memberikan jawaban.     

"Kurasa mereka menyukai salah satu dari kita. Manusia dengan penuh pesona dan energy yang sangat kuat," sahut Raja Wedden.     

Seketika Egara melirik Pangeran Ren.     

"Kenapa kau menatapku?" Ren terkejut.     

"Kaulah yang paling menarik disini," ujar Egara.     

"Argh aku tidak minat dengan pria."     

"Sial! Energimu yang ku maksudkan!" Egara meninggikan suaranya.     

Bercengkrama tentang cukup banyak hal, suasana diantara mereka menjadi lebih hangat tanpa adanya canggung.     

Corea juga telah memperkenalkan Aira kepada para pria itu. Sikap santunnya membuat semua orang menyukainya.     

"Tinggallah disini untuk beberapa waktu. Kau akan memiliki banyak saudara dan kegiatan disini. Aku yakin hidupmu akan lebih baik," uajr Raja Wedden yang tidak mengaku sebagai Raja.     

Wedden justru menyebutkan kalau Egara adalah Rajanya, sementara dia adalah prajurit kepercayaan Raja yang selalu melakukan tugas berat untuk melindungi Kerajaan.     

Hal itu dipercayai oleh Aira, namun membuat Egara kesal karena dia dan Raja Wedden bahkan belum membahas mengenai 'Pelantikan Raja' sama sekali.     

"Aku akan sangat berterimakasih, Tuan. Tapi …," Aira menahan kalimatnya.     

"Kau bisa bertarung?" tanya Wedden menyela.     

"Ehh?" Aira cukup terkejut dengan pertanyaan itu.     

"Atau kau pandai memasak? Berkebun? Berdagang? Kau bisa memperdalam keahlianmu di Kerajaan dengan dibantu oleh para ahli kepercayaan kami," kata Raja Wedden lagi.     

"Aku pernah berdagang, namun itu tidak ahli, Tuan. Tapi aku dapat belajar."     

"Baguslah. Jika begitu kau dapat tinggal di Kerajaan untuk waktu yang lebih lama. Begitu kan Raja?" Wedden menatap Egara yang sedang memainkan api kecil di telapak tangannya.     

Sedikit bingung, namun Egara mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Wedden. "Ada perjanjian yang harus kau tepati sebelumnya, Nona."     

Semua orang kembali menatap Egara.     

"Sebagai anggota Kerajaan, kau diwajibkan untuk berbuat baik pada Kerajaan. Kau juga harus menjaga nama baik Kerajaan jika kau harus berada di luar lingkungan Kerajaan. Ini adalah standar untuk anggota keluarga, kurasa kau sudah memahaminya." Egara menatap lekat Aira.     

Wanita itu mengangguk. Senyum manisnya jelas terlihat dengan kedua manik mata kehijauan yang berbinar.     

Tanpa diketahui oleh siapapun, Raja Wedden sedang memindai sosok wanita berambut abu itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia juga sedang menerawang jauh mengenai asal usul dan sejarah hidup wanita itu.     

Tidak begitu banyak informasi, Raja Wedden hanya melihat perjalanan hidup wanita itu setelah hidup terkatung katung di Selatan.     

Raja Wedden kemudian tersenyum pada Aira, hal itu diketahui oleh Ley yang segera mengikuti arah pandang sang Raja. Belum pernah sebelumnya ia melihat Raja Wedden mengamati wanita hingga menyunggingkan senyum lebar.     

Suara burung malam sudah tidak lagi terdengar dari kejauhan. Langit sudah tidak lagi gelap, karena hari sudah menuju pagi. Mereka jelas ingat jika hari baru adalah saatnya untuk kunjungan dari seluruh Kerajaan yang akan bertemu dengan Raja Wedden.     

"Tidurlah dulu kalian. Kurasa mereka tidak akan datang sepagi ini, jikapun mereka tiba sebelum kalian terbangun, aku bisa mengurusnya sementara waktu." Egara pasang badan untuk urusan kali ini.     

Pasukan pria itu kemudian kembali beristirahat. Egara menutup pintu ruang perawatan dan meninggalkannya bersama dengan tiga prajurit wanita juga Aira.     

"Kau tidak akan istirahat?" tanya Corea pada Egara yang berjalan di dekatnya.     

"Kau?" tanya Egara balik.     

"Eh? Aku baru saja terbangun ketika mereka datang," jawab Corea.     

"Aku akan istirahat ketika benar-benar tidak ada masalah."     

Corea terdiam. Egara lalu menatapnya, "Apa aku terlihat sangat lelah hingga perlu banyak istirahat?" ucapnya.     

Core mengeleng. "Kau sudah banyak istriahat kemarin. Kurasa kau memang tidak perlu algi istirahat."     

Egara mendengkus kasar. Dia kesal sekaligus bingung engan sikap Corea yang berubah-ubah.     

"Hey, kalian telah menyiapkan segala sesuatunya untuk latihan gabungan dengan semua prajurit dari semua kerajaan?" Cane menyela percakapan Egara dan Corea.     

"Aku sudah," sahut Corea segera.     

"Empat Kerajaan utama, 'kan? Apakah kerajaan kalian juga datang?"     

"Ah kukira 'semua' itu mencakup seluruhnya," ujar Cane.     

"Begitukah? Apakah kita kan mengadakan sebuah festival atau semacamnya? Aku yakin halaman Kerajaan tidak akan muat."     

Cane tidak merespon. Begitu juga dengan Corea yang hanya mehela napas panjang tanpa penjelasan.     

Saat Cane dan Aira melanjutkan langkah mereka, Egara menarik lengan Corea dan membuat peri lembah itu sangat terkejut.     

"Aduh!" Corea nyaris mengumpat.     

Egara menatap lekat Corea, tajam dan seperti hendak menyerang. Namun tiba-tiba saja pria itu memeluk erat Corea hingga membuat wanita itu kehilangan kendali untuk napasnya.     

Deg deg deg.     

Corea tidak dapat melepaskan diri dari dekapan tubuh besar Egara.     

"Aku membencimu, sialan!" gumam Egara. "Bisakah kau berhenti menggangguku!"     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.