Tamu Kerajaan
Tamu Kerajaan
"Permisi, Tuan. Kemana kau akan duduk?" tanya seorang pelayan yang sedang membawa nampan berisi makanan kering dan sebotol bruen utara.
Egara berbalik dan menatap nampan itu. "Untukku?" tanyanya yang dijawab anggukan pelan oleh pelayan itu. "Aku tidak memintany."
"Nona Corea yang menyuruhku untuk memberikan ini padamu, Tuan. Jadi, dimana anda akan duduk?" pelayan itu mengangguk santun.
"Ah begitu rupanya. Disana saja. Aku ingin sambil mengawasi para pekerja di kebun," jawab Egara seraya menunjuk sebuah meja yang berada di dekat area perkebunan.
Pelayan itu membawakan nampan lalu meletakkannya pada meja yang tadi ditunjuk oleh Egara. Tanpa banyak basa basi lagi, pelayan itu langsung saja kembali untuk mengerjakan tugasnya yang lain.
"Ada apa dengannya?" gumam Egara. Dia hanya merasa tidak biasa dengan sikap Corea. Namun itu tidak buruk, sejak sadar Egara memang belum meminum Bruen. Hanya air dan sup ataupun buah dari pelayan.
Dari kejauhan, dia melihat Diya, pengawal Pangeran Soutra sedang berbincang dengan seorang wanita paruh baya, pengurus kebun tomat. Tidak lama kemudian dia melihat Cane yang sedang membantu membawa hasil panen buah tomat.
Dihelakannya napas panjang. Egara sedang memikirkan hal apa yang mungkin akan dia lakukan setelah dia menjadi Raja nantinya. Dia lalu menengadah, memandangi langit cerah yang tidak panas. Dia tahu ada pelindung sihir yang menutupi seluruh wilayah negeri Persei, namun dia tidak dapat melihatnya.
Egara menuang Bruen pada gelas dan menenggak isinya beberapa kali. Kemudian ia mengetes kekuatannya sendiri.
Pertama hanya mencoba untuk memunculkan api di telapak tangannya, lalu meniupkan angina, hingga menjentikkan jemari untuk menghentikan waktu.
Ctk!
Dijentikannya jemari dengan sangat yakin. Suasana menjadi hening seketika. Egara masih menatap langit, dia menghirup dalam-dalam udara yang melintasi hidungnya.
Namun kemudian telinganya kembali mendengar suara berisik. Segera saja dia sadari kalau dia belum berhasil mengheningkan suasana, belum berhasil menghentikkan waktu yang berputar di sekitarnya.
"Huhh! Ternyata tidak semudah yang kukira," gumamnya.
Ia lalu kembali mencoba mantra yang lain, untuk dapat menggerakkan barang di sekitarnya.
Botol bruennya mulai bergerak naik, namun kembali terjatuh setelah cukup tinggi terangkat.
"Argh sial!" Egara memungut botol yang nyaris menumpahkan seluruh isinya itu. Dia kembali diem. Mencoba untuk mengingat mantra yang ia hapalkan karena salinan yang ia simpan.
"Apakah aku salah?" gumamnya. Sedikit ia miringkan kepalanya dan berpikir keras. Dia harus membaca ulang semua mantra salinan agar kekuatannya maksimal.
"Permisi, Tuan."
Egara dikejutkan oleh pelayan yang menghampirinya saat sedang merenung. Pelayan itu bersama dengan seorang wanita berambut panjang berwarna abu dengan paras cantik dan manik mata yang kehijauan. Seketika Egara mengernyitkan dahinya.
"Ada apa?" tanya Egara pada pelayan itu.
"Maaf mengganggumu, Tuan. Tapi apakah kau melihat Nona Corea? Wanita ini ingin menemuinya." Pelayan itu menunjuk pada wanita berambut abu yang sedari tadi mengangguk seraya tersenyum ramah.
"Untuk keperluan apa?" Egara menatap lekat keduanya. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di kerajaan ini?" ia kembali mengernyitkan dahinya.
"Maaf, Tuan. Apakah kau Raja-nya?" ucap wanita itu sopan. Egara tidak menjawab, hanya membalas tatapan wanita itu lekat.
"Aku hanya ingin berterimakasih padanya karena telah memberiku banyak bantuan. Memberiku pakaian, makanan juga tempat istirahat. Aku benar-benar berterimakasih," ucap wanita itu lagi.
"Siapa kau?" ulang Egara. Dia hanya membutuhkan wanita itu menyebutkan nama.
"Ah aku … Aira." Wanita itu menundukkan kepalanya.
"Kau panggil prajurit Corea segera di area berlatih. Biarkan dia disini." Egara memerintah pelayan.
Egara mehela napas panjang. Dia kembali duduk dan menuang minumannya, membiarkan Aira tetap berdiri dengan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Corea, Cane dan Diya berjalan bersama menuju tempat Egara duduk. Ketiganya kompak menyunggingkan senyum pada Aira.
"Hey! Kalian!" teriak Egara mengejutkan. "Jelaskan padaku tentang wanita ini!" ujarnya nyaring. Tatapannya tajam pada ketiga prajurit wanita itu.
"Ah maafkan kami. Kami hanya ingin membantunya," ujar Cane tidak nyaman.
"Maaf, Tuan. Salahku. Aku hanya bersikap seperti yang kau ajarkan untuk selalu bersikap baik dan membantu siapapun yang membutuhkan," sahut Corea. "Dia membutuhkan bantuan kita, jadi aku membantunya sebagaimana mestinya," imbuhnya lagi.
Egara menahan diri, dia merasa aneh ketika COrea menyebutnya 'Tuan'. Begitu juga dengan Cane yang segera melirik saudarinya itu.
"Aku ingin membiarkannya tinggal di kerajaan jika kau tidak keberatan," ujar Corea lagi.
Cane mencoba untuk memahami permainan Corea, dia hanya diam dan bersikap mendukung seolah Egara memanglah Tuan mereka.
Egara melirik Aira.
"Tidak perlu, Tuan. Aku tidak akan merepotkan kalian lebih dari ini." Aira merasa tidak nyaman. "Nona, kumohon jangan membuatku merasa semakin tidak enak. Aku sudah sangat berterimakasih atas semua kebaikan kalian. Sekarang saatku untuk pulang," ujarnya lagi.
Corea kembali menatap Egara, dari tatapannya itu dia meminta sebuah persetujuan tersirat atas 'sesuatu' yang sedang ia lakukan.
"Hingga besok. Kurasa itu tidak akan masalah," kata Egara tanpa bereskpresi. Kemudian dia berdiri dengan menggenggam botol Bruennya.
"Ah benarkah, Tuan? Tapi kurasa tidak perlu …," kalimat Aira terputus karena Egara sudah melangkahkan kakinya.
Egara berhenti tepat di samping Corea. "Temui aku di gudang senjata," bisiknya dengan suara penuh penekanan. Corea hanya diam, dia menyetujui hanya saja tidak memberikan respon.
"Nona … biarkan aku pulang." Aira mendekati ketiga prajurit wanita yang masih berdiri di dekatnya.
Corea lalu tersenyum. "Kembalilah istirahat. Kau harus kembali sehat. Keu juga harus menyembuhkan kakimu terlebihdulu."
Cane mengangguk. "Mari kutemani ke ruang perawatan. Pelayan akan memberikan ramuan terbaik untukmu."
Diya ikut bersama dengan Cane, karena dia mendengar sedikit kalimat Egara pada Corea. Hal itu cukup mengeutkan karena jelas terdengar sebagai sebuah amarah.
Aira sedikit cemberut. "Aku berhutang banyak pada kalian," ucapnya lirih.
Cane sempat diam, dia lalu kembali tersenyum menenangkan tamunya itu.
*
*
"Sandiwara apa ini?" Egara geram sekali, dia sudah sangat marah pada Corea karena sikapnya di depan tamu wanita itu.
"Aku hanya bersikap baik. Membantunya. Itu saja," jawab Corea.
"Lalu kau menyebutku 'Tuan'? Kau pikir aku akan memberimu pembelaan di depan Raja mengenai wanita itu jika kau memanggilku 'Tuan'?" kedua manik mata Egara Nampak berkilau karena bias cahaya dari obor.
"Aku tidak membutuhkan pembelaan. Aku hanya ingin dia mengira kau adalah Raja dan aku benar menerimanya dengan baik."
Egara sedikit memiringkan kepalanya.
"Aku mencurigainya sebagai orang yang memiliki niat jahat. Dengan membairkannya tinggal, amaka akn lebih mudah untuk menyelidiki hingga menangkapnya."
***