Di Kebun Tomat
Di Kebun Tomat
"Mengenai apa? Pertarungan kami yang kedua, atau pengangkatannya menjadi Raja?" sahut Raja Wedden dengan santai.
"Keduanya. Kau bisa menjelaskan padaku satu per satu," ujar Corea yang masih mengekor pada sang Raja.
Raja Wedden lalu berhenti. Dia sedang menghadap ke arah matahari, di dekat kebun tomat yang buahnya mulai merah.
"Aku ingin mengetahui kekuatan maksimal pria itu. Karena aku berkeinginan untuk mengangkatnya sebagai raja, maka aku harus memastikan kalau dia sanggup untuk segala sesuatunya. Dia sosok yang terbaik, bahkan lebih baik dariku, kurasa. Banyak kekuatan yang ia miliki, namun semuanya sangat seimbang di dalam dirinya." Raja Wedden menjeda dengan tarikan napas panang, membiarkan udara segar merasuki kerongkongannya.
"Dia layak untuk memimpin suatu wilayah. Benar, 'kan? Dengan begitu maka tidak akan ada ketidak seimbangan wilayah dengan kepemimpinan salah satu Raja yang merupakan keturunan langsung Raja Elf. Semuanya sama rata, manusia hebat." Tutup kalimat Raja Wedden.
"Tapi dia penyihir, 'kan? Wilayah manapun tidak memiliki pemimpin yang penyihir," ujar Corea.
"Kau lupa? Orangtua Raja Barwest adalah penyihir, Raja gael juga berdampingan dengan ilmu sihir sejak kecil maka tidak akan sulit baginya jika dia ingin belajar sihir. Lalu Ren. Maksudku, Pangeran Ren, dia sedang proses belaar sihir denganku. Semuanya akan belajar ilmu sihir selain jago bertarung dengan pedang. Maka tidak ada ketidakseimbangan, 'kan?" Raja Wedden manatap Corea.
"Begitukah?" gumam Corea.
"Emm. Setiap kerajaan aka nada penambahan jumlah prajurit baik yang di kerajaan maupun perbatasan. Itulah tujuan kita semua, wilayah Persei aman."
Corea mengangguk samar. "Kau sudah memberitahu Egara mengenai ini?"
"Belum," sahut Raja segera. "Kurasa dia sudah mengetahuinya."
"Lalu bagaimana jika dia menolak?"
"Dia pasti akan menerimanya."
"Kenapa kau sangat optimis?" Corea mengerutkan dahinya.
"Dia mencintai kerajaan ini. Maka dia akan tetap menjaga dan tinggal di tempat ini."
"Begitukah?"
"Emm. Kembalilah ke ruang perawatan untuk Cane. Aku sudah terlalu banyak bercerita padamu," ujar Raja Wedden.
"Kau tidak akan menghilangkan cahaya lagi, 'kan?" Tanya Corea sebelum dia pergi meninggalkan sang raja sendirian.
Wedden menggeleng. Dia tidak menyangka akan menceritakan semuanya pada Corea. Padahal dia hanya ingin rencananya itu hanya dirinya sendiri yang mengetahuinya. Namun ternyata dia tidak mampu berdiam diri lebih lama lagi.
*
*
Corea tiba di ruang perawatan. Ia dikejutkan dengan Egara yang telah sadar dan terduduk di tempat tidurnya. Pria itu sedang merapikan seragam prajuritnya, juga sedang membersihkan sarung belati kecil miliknya.
Jeo membantunya untuk mempersiapkan diri. Jeo sudah baik-baik saja, hanya bagian wajahnya masih terdapat lebam akbat serangan dari Egara.
"Hey, apa yang kau lakukan?" sapa Corea yang terheran dengan Egara. Terlihat siap bertarung namun keadaan tubuhnya belum maksimal.
"Aku akan mengalahkan Raja," ucap Egara tanpa pikir panjang.
"Apa kau sudah sungguh-sungguh pulih?" Corea merasa nyeri ketika melihat Egara memegangi pergelangan tangan Egara yang menjadi penopang tubuh saat terjatuh melawan Jeo.
"Pulih atau tidak, aku akan tetap kalah saat tidak siap. Namun sekarang aku siap, maka tidak perlu pulih untuk melawannya." Kalimat Egara terdenagr sombong.
Namun inilah sosok Egara yang asli, kasar dan sombong. Corea sudah tidak heran lagi, hanya saja dia khawatir karena keduanya sedang tidak dalam keadaa baik-baik saja.
Raja Wedden pikirannya sedang tidak tenang, sementara Egara tubuhnya yang belum pulih. Sangat ingin menahan agar tidak lagi bertarung, namun larangan adalah perintah untuk Egara yang sangat berambisi.
Egara memerintah Jeo untuk memberitahu Raja sebelumnya jika ia telah siap untuk melakukan pertarungan kedua. Dia juga meminta pedang yang sebelumnya ia pakai untuk berlatih, setelahnya dia kembali menyiapkan diri dengan macam kekuatan pada tubuhnya.
Masih di kebun tomat. Raja Wedden disibukkan dengan seekor kelinci hitam yang merusak. Ia sedang berusaha untuk menangkap kelinci itu, namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sekilas sesuatu yang melata, lewat tdak jauh dari hadapannya.
Jelas itu adalah ekor ular, Raja Wedden terdiam sejenak karena ini adalah pertama kalinya melihat ular hitam nan berukuran besar. Namun belum sempat ia mendekati, dia telah dikejutkan oleh Jeo yang menyampaikan pesan dari Ketuanya.
"Katakan padanya, aku bahkan siap kapanpun yang ia mau," ujar Raja sebagai jawabannya.
Raja lalu menyiapkan pedang panjangnya, lalu menyiapkan diri.
Namun perhatiannya masih teralihkan pada kebun tomat. Ia masih penasaran dengan ular hitam dan kelinci yang merusak kebun.
Satu hal yang pasti dalam pikiran Raja Wedden adalah, ular hitam itu tidak makan daging, sehingga dia hanya membiarkan kelinci hitam nan gendut itu berkeliaran dan mencari makan dengan nyaman.
Seorang pelayan membawa kabar mengenai pertarungan kedua antara Raja Wedden dan Egara kepada seluruh tamu Kerajaan. Tanpa basa basi lagi, mereka segera menuju halaman belakang untuk menyaksikan.
Egara berjalan pelan, kali ini keadaan dirinya sudah lebih baik dsri sebelumnya. Dia benar-benar merasa kalau istirahatnya maksimal karena tubuhnya yang terlalu lelah setelah berlatih dengan Jeo.
Egara masih belum mengetahui motif dari sang Raja yang mengajaknya bertarung bahkan hingga habis-habisan. Dia menurutinya hanya karena dia tidak ingin dianggap mengabaikan perintah Raja, lagipula ia bahkan telah mempelajari ilmu dari Buku Sihir yang sama dengan Raja Wedden.
Egara selalu mencoba untuk membaca isi kepala Raja Wedden, namun dia gagal. Diapun tidak tahu apa penyebabnya, dia maksimal hanya dapat menebak isi kepala sang Raja yang belum tentu kebenarannya.
"Egara!" teriak Corea. Ia segera menghampiri Ketua pasukan Northan itu dan menyerahkan satu piring yang terisi penuh potongan apel.
"Makanlah dulu sedikit. Perutmu kosong sejak kemarin," pintanya.
Egara menatap Corea sejenak, lalu dia mengambil sepotong dan melahapnya. "Terimakasih."
"Ah apa kau sungguh telah siap?" ujar Corea.
"Emm, tentu." Angguk Egara tanpa ragu.
Samar Corea tersenyum. Hal itu membuat Egara mengerutkan dahi, "Ada apa?"
"Tidak. Hanya mengakui kalau kau memang berani."
"Kau meremehkanku?" Egara sedikit memiringkan kepalanya.
"Bukan. Aku hanya bangga."
Egara tidak berekspresi, dia hanya diam dan kembali mengambil potongan apel untuk melahapnya.
"Kau tidak perlu melihat pertarungan kami jika kau takut darah," ujar Egara sebelum pergi.
"Hey! Aku prajurit wanita! Argh sial! Dia meremehkanku."
Lagi-lagi Raseel dan Hatt memperhatikan sang adik dari jarak agak jauh. Keduanya hanya berdeham ketika sang adik berbalik dan menatap mereka yang bersandar di dinding.
***