Tantangan Raja
Tantangan Raja
"Hey, kau masih akan hidup, 'kan?" celetuknya.
Egara seketika memejamkan matanya, malas untuk merespon siapapun lagi. Hanya berbincang dengan Raja namun dia telah merasakan nyeri di seluruh tubuhnya.
"Ah entah kenapa aku merasa kasihan padamu. Pria terkuat yang kini hanya bisa berbaring tak berdaya. Tapi aku juga merasa kasihan," oceh Hatt.
"Apa kau dendam dengan Raja? Kau berencana untuk membalas dendam? Kusarankan untuk melupakan pikiran seperti, Bung. Karena kau akan mengorbankan diri sendiri ….."
Egara bangun secara tiba-tiba mengejutkan Hatt yang segera melangkah mundur.
"Aku masih sanggup bertarung," ucap Egara yang menatap tajam Hatt. "Mau mencoba kemampuan sihirku?" Egara turun dari tempat tidurnya, dia mendekat pada Hatt hingga tubuh keduanya hanya berjarak sejengkal.
"Tidak. Aku hanya memperingatkanmu."
"Terimakasih. Tapi aku tidak takut pada apapun. Kau tahu itu, 'kan?" ujar Egara lagi.
Hatt mengangguk pelan. Lalu dia terus melangkah mundur. "Aku memiliki kesibukan sekarang. Raja membutuhkanku. Kau kembalilah istirahat." Hatt menepuk pelan bahu Egara lalu segera pergi meninggalkan Ketua Pasukan Northan itu sendirian di ruang perawatan.
Egara mendengkus kasar. Ingin sekali dia memukul wajah peri lembah itu, namun dia tidak ingin ada masalah baru yang terjadi padanya.
Kembali ia merebahkan tubuh pada tempat tidurnya. Dia masih sangat marah, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melakukan suatu perlawanan.
Di kepalanya, dia masih memikirkan mengenai perkataan Raja Wedden.
*
*
"Kau tidak seharusnya meminta maaf," ujar Raja yang membuat Egara kembali mengangkat wajahnya. "Bertarunglah denganku sekali lagi untuk penentuan akhir,' imbuhnya.
Egara mendengkus. Dia mulai merasakan lututnya gemetar karena cukup lama ia berdiri menahan tubuh yang masih sangat lemah.
"Kau bersedia?" Tanya Raja Wedden lagi.
Dengaan helaan napas panjang, Egara mengangguk menyetujui permintaan sang Raja untuk mengadakan pertarungan ulang.
*
*
"Jadi, apakah dia akan menghabisiku?" gumam Egara. "Manfaat dari aku memiliki kekuatan adalah untuk mati?"
Dia memilih untuk kembali memejamkan mata. Namun kalimat ajakan Raja Wedden terus menggema di kepalanya.
Berpindah posisi, miring ke kanan dan kiri. Egara hingga kesal dan memutuskan untuk bangun dan berdiri.
Digerakkannya perlahan seluruh tubuhnya, mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Semuanya sudah normal, tidak begitu nyeri. Hanya saja, pada bagian dadanya dia masih merasakan pedih, seperti luka dalam yang belum kering padahal sama sekali tidak terapat luka disana. Tetapi ketika Egara menyentuh dadanya, terasa sekali nyeri berdenyut.
Egara mencoba untuk mengumpulkan energy. Hanya mencoba keperuntungan karena dia yakin kalau di dalam tubuhnya sudah tidak ada lagi energy yang tersisa karena serangan pamungkas dari Raja Wedden.
Egara mulai berjalan-jalan dengan menggerakkan kedua tangannya. Lalu istirahat sejenak dan minum. Kemudian dia kembali berdiri dan berjalan-alan di dalam ruang perawatan. Pandangannya tertuju pada belati Raja Wedden yang ternyata tertinggal lengkap dengan secarik kertas juga pena.
Egara menoleh kanan dan kiri untuk memastikan kalau ruangan perawatan sdang kosong. Dia lalu mendekati barang-barang Raja. Coretan pada kertas adalah yang paing menarik perhatiannya.
Egara mencermati coretan demi coretan cukup lama, hingga akhirnya dia tersadar kalau itu adalah denah negeri persei. Egara mengenali empat bangunan kerajaan yang mewakili kekuatan masing-masing bagian negeri.
Namun Egara kemudian mengerutkan dahi. Ada sebuah bangunan besar yang digambar oleh Raja Wedden berada tepat di tengah-tengah negeri Persei. Tidak terdapat tulisan tangan yang menjelaskan nama gambar bangunan itu, namun dari garisnya sama dengan garis dari gabar kerajaan di empat wilayah Persei.
"Apa yang sedang ia lakukan?" gumam Egara masih sambil mencermati. "Apakah dia berpikir dia akan memiliki rumah untuk masa tuanya yang akan dibangun di tengah-tengah seperti ini?"
Egara tidak dapat mengerti akan hal itu.
Perhatiannya teralihkan pada pisau belati yang tergeletak. Tanpa pikir panjang lagi, Egara segera mengambil dan memakainya untuk berlatih bertarung sedikit demi sedikit.
Di ruang perawatan yang sepi, Egara berlatih menyerang dengan keadaan tubuhnya yang belum sepenuhnya baik-baik saja. Telapak tangannya masih sering gemetar, Egara perlahan memijatnya sendiri hingga menghilang keramnya.
Seorang pelayan yang masuk hendak memberikan bantuan kompres, terkejut dengan Egara yang sudah sangat bugar walau sesekali masih merintih kesakitan.
Pelayan itu kemudian hanya meletakkan bawaannya pada meja yang berada di dekat tempat tidur Egara.
Sangat fokus. Egara dapat mengumpulkan energy dan kekuatannya di setiap ruas jemarinya. Namun napasnya sudah sangat tersengal karena lelah. Dia memutuskan untuk stirahat dan mengompres bagian dada yang masih terasa nyeri.
Tuk tuk tuk.
Egara dapat mendengar langkah kaki di luar ruangan. Segera saja dia mengembalikan belati Raja Wedden dan kembali berbaring di tempat tidurnya.
Rupanya itu adalah Diya, prajurit wanita penjaga Pangeran Soutra. Ia yang baru selesai dengan pekerja di kebun kini sedang berkeliling kerajaan seorang diri. Langkahnya sempat terhenti di depan ruang perawatan, namun dia enggan untuk mengecek hingga dia tidak tahu apakah ada seseorang yang dirawat atau tidak.
Diya lebih tertarik dengan pasukan prajurit mud ayang berlatih di halaman belakang. Suara pedang yang saling berdenting, lalu teriakan prajurit seolah memanggil Diya untuk mendekat dan bergabung.
Egara mehela napas panang. Dia masih belum berhasil mengenali suara langkah kaki dari penghuni kerajaan Northan. Padahal dia sempat mengenali langkah kaki putri Leidy beberapa waktu lalu, namun kemampuannya berkurang entah sejak kapan.
Egara mengatakan pada pelayan kalau dia akan pergi ke kamar dan akan kembali setelah pekerjaan. Tidak ada yang berani melarang kehendak Egara tersebut, para pelayan hanya perlu mengawasi dan berjaga kalau saja Ketua Pasukan itu masih terlalu lemah atau semacamnya.
Egara menuju kamar prajurit, suasana sore terasa hangat di Kerajaan. Entah sudah berapa lama dia tidak bersapa dengan cahaya matahari, dia cuku menikmati suasananya.
Dia membongkar beberapa kotak tempat ia menyimpan lembar salinan Buku Sihir. Dia kemudian kembali membaca satu per satu memastikan kalau ingatannya masih bagus mengenai semua mantra itu.
Dia memastikan kalau ruang kamar prajurit sepi, sehingga dia ingin mempraktekkannya tanpa mengganggu siapapun.
Egara mencoba untuk mengumpulkan semua energy, mencoba untuk fokus pada apa yang akan dia hadapai. Bertarung ulang dengan Raja Wedden bukanlah hal yang mudah terlebih dia sebelumnya telah kalah telak dan nyaris mati.
Egara terus berkomat kamit melafalkan mantra. Masih belum ada kekuatan apapun, dia kemudian berganti pada mantra yang lain, dan begitu seterusnya hingga lembar salinan mantra miliknya telah habis.
"Ah sialan! Kenapa tidak ada yang berhasil satupun!" geramnya.
Egara lalu duduk, menyusun dan merapikan lembaran kertas yang semula ia hambur itu.
***