Egara Berlatih
Egara Berlatih
Diya, satu-satunya prsjurit wanita ysng mendampingi Pangeran Soutra akan bergabung dengan Corea dan Cane bersama dengan prajurit wanita kerajaan Northan lainnya.
Walau belum pernah bertemu dan bercakap sebelumnya, tidak sulit untuk mereka saling mengenal terlebih mereka merupakan prajurit minoritas karena jumlah prajurit pria jauh lebih banyak dari para wanita.
Saat makan malam, Raja Wedden dikejutkan sosok Egara yang terlihat baik-baik saja sedang berjalan di koridor kerajaan menuju bangunan belakang, gudang senjata seorang diri.
Pangeran Soutra mengikuti arah pandang Raja Wedden yang tanpa berkedip. Dia lalu mengerutkan dahi, sama terkejutnya karena dia baru saja mendengar kisah mengenai keadaan Ketua Pasukan kerajaan Northan itu yang masih sekarat akibat serangan dari Raja Wedden.
"Pria itu?" Pangeran Soutra menahan diri untuk menenggak minumannya.
"Sudah kuduga dia benar-benar kuat," gumam Raja Wedden.
Ley, Tao, Raseel dan Hatt menarik napas panjang. Mereka terkejut namun mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Kami akan bertarung untuk kedua kalinya besok," ujar Raja Wedden.
Segera saja semua mata tertuju padanya. "Kau bercanda? Dia bahkan baru bangun dari tempat tidurnya," ujar Panheran Ren.
"Jika dia masih baik-baik saja setelah besok, maka dia akan menggantikan posisiku."
Seketika Pangeran Ren tersedak. Begitupun dengan Tao yang batal menyuap makanannya. Sementara Ley dan Raseel menatap Raja Wedden dengan mematung.
"Menggantikan posisi apa?" ucap Ley seraya memiringkan kepalanya.
"Kau tidak sedang memikirkan hal konyol, 'kan? Raja?" Raseel meletakkan sendoknya. Dia ingin memperjelas suasana hingga tidak lagi membuatnya menduga-duga.
Raja Wedden tertawa kemudian. Dia hanya melanjutkan makan dan enggan memberikan tanggapan atau jawaban apapun.
"Mari nikmati makan malam kalian. Setelah ini akan ada kelas khusus untuk Pangeran Ren yang tampan," ujar Raja Wedden dengan wajah ceria.
*
Di gudang senjata, Egara sedang memilih pedang yang akan dia gunakan untul bertarung melawan Raja Wedden. Dia memilih dengan sangat teliti. Berawal dari hanya memandanginya satu per satu, lalu dia mulai menyentuh dan mencobanya untuk menebas angin beberapa kali.
Bukan hanya pedang, Egara juga tertarik dengan tombak dan busur panah. Dia pernah mempelajari panahan sebelumnya, hanya saja dia lebih banyak menggunakan pedang selama ini, sehingga dia lebih mahir menggunakannya.
Sempat diam, Egara kembali mengingat beberapa serangan Raja Wedden padanya. Tendangan, pukulan, serta kekuatan lain yang digunakan secara maksimal.
Egara memejamkan matanya sejenak, lalu dengan helaan napas panjang, dia bersiap untuk berlatih seperti apa yang ia pelajari saat awal menjadi seorang prajurit.
Seorang prajurit yang bertugas berjaga di bangunan luar, menghampiri Egara untuk mengecek keadaan Ketua mereka.
"Kau membutuhkan bantuan, Raja?" tanyanya.
"Kau mau menemaniku berlatih?" tanya Egara. Prajurit itu diam sejenak, detik berikutnya ia mengangguk setuju.
Egara mempersilahkan prajurit itu untuk memilih pedang yang diinginkan. Ia juga memberi pilihan untuk berlatih di dalam ruang sempit atau di halaman luar yang akan membuat mereka lebih leluasa.
"Halaman luar akan lebih baik kurasa, Ketua. Jika terjadi sesuatu padaku, maka prajurit lain akan mudah untuk menemukan mayatku," ujar prajurit itu.
Egara mengernyitkan dahi. "Kau menginginkan hal seperti itu?"
"Kuharap tidak. Aku hanya asal bicara. Maafkan aku." Prajurit itu menundukkan kepalanya sedikit.
Prajurit itu bernama Jeo. Rekannya berjaga bernama Han, sedang berjaga dengan terus memperhatikan Ketua pasukan mereka yang telah bersiap untuk berlatih.
Sesekali egara masih memegangi bagian jantungnya yang berdebar tidak keruan. Namun dia sudah siap untuk kembali bertarung besok hari.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk bersiap, Egara mempersilahkan Jeo untuk menyerangbya lebih dulu.
Han merasa itu latihan yang sangat tidak adil karena kekuatan dan kemampuan keduanya yang sangat jelas tidak imbang.
Untuk babak awal, Egara masih mampu menahan serangan dari Jeo yang masih standar baginya.
Namun di serangan berikutnya, Egara terlambat menghindar hingga menyebabkan wajahnya terkena sabetan pedang dari Jeo hingga terluka.
Jeo terkejut karena itu, namun dia berusaha untuk profesional.
Egara menarik napas panjang. Dia mulai merasakan tubuhnya kembali tidak stabil dan lemah.
"Serang aku dengan kekuatan maksimalmu, Jeo!" teriaknya.
Jeo mengangguk tanpa ragu dia lalu menyerang tanpa ampun. Hal itu membuat Han merasa ngeri namun dia hanya memilih diam dan menonton. Akan menjadi penolong pertama pada siapapun yang membutuhkan.
Napas Egara tersengal, jantungnya terasa nyeri namun dia masih mmampu untuk berdiri dan menyerang balik. Sangat seru, bahkan prajurit lain yang mendengar dentingan pedang keduanya segera menghampiri untuk menonton.
"Ada apa?"
"Jeo menemani Ketia berlatih," jawab Han pada beberapa pertanyaan rekannya yang lain.
Egara mulai melafalkan mantra sihirnya. Namun dia sedang sial, dari semua mantra yang ia hafal, tidak satupun dapat dia gunakan untuk menyerang Jeo. Dia mengumpat beberapa kali, tubuhnya kembali lelah namun dia tidak mampu mengalahkan Jeo. Diapun tidak mungkin akan mengalah begitu saja.
Bruk!
Tubuh Egara terjatuh akibat tendangan kuat dari Jeon.
"Kau baik-baik saja, Ketua?" Jeon segera mengapiri, namun Egara seketika mengarahkan pedang pada prajuritnya itu hingga membuat Jeo kembali menghindar dan melangkah mundur.
"Kau tidak boleh mengasihani musuh! Serang aku!" teriaknya.
Jeo iba. Jelas sekali Ketuanya itu sudah sangat lemah. Dia tidak akan kembali menyerangnya begitu saja.
"Kurasa kita harus menyudahi layihan ini, Ketua."
"Tidak."
"Tapi …."
"Aku harus menang melawan Raja Wedden besok!" gumamnya nyaring.
Jeo menarik napas panjang.
"Mari kita sudahi setelah aku tidak lagi dapat berdiri," ujar Egara yang kembali berdiri, bersiap dengan pedangnya.
Jeo menelan ludahnya, tangannya mulai gemetar namun dia memasang posisi untuk kembali siap menyerang Ketuanya.
Egara berdiam sejenak, dia mencoba kembali mengumpulkan kekuatannya. Fokus, dengan tarikan napas panjang. Egara harus menyiapkan diri untuk melawan Raja dengan kekuatan maksimalnyàa.
Kembali dengan setangan pedang tanpa sihor, lalu kemudian Egara menggunakan kekuatannya untuk membalas Jeo hingga membuat prajuritnya itu terhempas bahlan tanpa ia sentuh sedikitpun.
Semua prajurit yang menonton menjadi semakin tertarik. Karena mereka melihat sisi dari Ketua mereka sebagai sosok penyihir.
"Aku tidak akan kalah darimu," gumam Egara. Dia kembali menggunakan kekuatan sihirnya.
Namun kali ini Jeo mampu menghindar karena Ketuanya itu belum dapat mengendalikan kekuatannya dengan baik karena keadaannya yang masih lemah.
Cukup lama saling menyerang, Jeo memutuskan untuk menghunuskan pedangnya pada Egara. Sontak hal itu membuat semua orang terkejut, namun Egara menahan ujung pedang itu dengan telapak tangannya dan menyerang balik dengan kekuatan penuh hingga Jeo kembali terpental jauh hingga memuntahkan darah.
***