Pada suatu malam di Keraaan Kegelapan
Pada suatu malam di Keraaan Kegelapan
Jarak pandangnya sangat terbatas, hanya sesekali menemukan cahaya obor pada setiap pemberhentian.
Prajurit berjubah hitam kemerahan mengiringi langkah seluruh penduduk, pedang yang tajam berkilau siap untuk menyentuh tubuh siapapun yang berani berjalan melawan arus atau bahkan hanya sekedar menoleh kebelakang untuk mengetahui berapa jauh mereka telah meninggalkan rumah.
Bukan hanya prajurit manusia, namun juga banyak gnome hutan serta makhluk besar dengan permukaan kulit brlendir yang mengawal perjalanan panang para penduduk yang kini menjadi tawanan itu.
Kucing-kucing sihir juga seringkali terlihat melintas dan melengkingkan suaranya yang sangat nyaring diatas kepala mereka semua.
Egara, pemuda dengan perawakan kurus tinggi dengan rambut kecoklatannya menjadi salah satu tawanan muda diantara para penduduk lain yang didominasi oleh pria dewasa.
Tidak ada wanita, karena semuanya telah dibantai habis saat penyerbuan dan pembakaran desa.
Langkah kecilnya sudah membuatnya lelah, namun tidak ada alasan baginya untuk berhenti, ataupun berputar arah, atau bahkan menoleh kebelakang. Karena tidak ada lagi seorangpun yang tersisa dari keluarganya, kecuali dirinya sendiri.
Ayahnya yang merupakan seorang penyihir di desa, yang mulanya menjasi sosok yang disegani oleh penduduk bahkan telah menjadi korban dari kekejaman Raa kegelapan. Begitu juga dengan ibu dan adik kecil perempuannya yang kala itu baru berusia lima tahun.
Pikirannya kosong, beberapa kali terlintas sosok ayah dan ibunya namun dia segera mengerjapkan mata dan menarik napas panjang. 'Aku baik-baik saja," ucapnya dalam hati.
Lengan kirinya terluka saat ia hendak membantu sang ibu yang melawan kegelapan dengan kekuatannya, namun saying, Egara muda belum memiliki kemampuan yang sebanding sehingga dia mudah untuk disingkirkan oleh prajurit kegelapan.
Saat melihat kematian kedua orangtuanya itulah muncul penyesalan mendalam pada dirinya, dia sangat menyesal karena tidak pernah mau untuk diajarkan sihir atau hanya sekedar mengakui kalau dirinya bukan manusia biasa.
'Kau memiliki keturunan peri. Kami juga menjadi penyihir karena leluhur kami, percayalah kau bukan manusia sembarangan, Nak.'
Sebuah kalimat yang selalu ia anggap sebagai omong kosong. Walau dia sempat merasa berbeda karena disbanding dengan anak remaja seusianya, dialah yang memiliki kekuatan fisik terbaik.
Suara-suara pria tua yang mengeluh karena lelah mulai terdengar oleh Egara, begitupun dengan suara dehaman prajurit kegelapan yang selalu siap dengan pedang tajamnya.
Perjalanan yang sangat jauh, Egara mulai merasakan panas ketika mereka tiba di halaman kerajaan yang menjulang tinggi dengan dihiasi kepulan asap tebal.
Api menyala di seluruh penjuru, bukan hanya sekedar untuk penerangan, namun Egara mencoba untuk menebaknya kalau itu adalah salah satu symbol kekuatan dan energy sang raja, Kimanh.
Egara muda menengadah, dia merasakan dahaga namun tidak dapat berbuat apa-apa. Hingga akhirnya mereka dimasukkan ke dalam sel tahanan yang sangat sempit untuk semua penduduk desa.
Kegerahan dan kurangnya oksigen membuat banyak dari para pria tua pingsan, banyak pula yang hanya mengeluh dan bergumam meminta air karena tidak lagi memiliki kekuatan untuk berteriak.
Egara menyentuh sakunya, dia sedikit mengernyitkan dahi karena rupanya dia memiliki sesuatu di dalam sakunya itu. Jelas itu air, karena dia memang baru hendak melakukan pemburuan bersama beberapa teman ketika penyerbuan pasukan kegelapan ke desa.
Egara memilih untuk diam, dia tidak akan mengambil air itu di tengah kepadatan manusia yang kehausan. Dia hanya memilih untuk mencari tempat dipojokan dan menyendiri. Hingga prajurit kerajaan tiba dengan membawa air yang tidak seberapa tiba, hal itu membuat suasana semakin ricuh, namun sangat menguntungkan bagi Egara karena dia dapat meminum air miliknya dengan tenang.
Ketidakpastian nasibnya sebagai tahanan kerajaan kegelapan membuat Egara semakin banyak pikiran. Hanya bertemu dengan orang yang sama dalam tempat yang sangat sempit, sungguh sangat memuakkan. Dia lalu mulai berpikir untuk kabur.
Dia menatap kedua telapak tangannya. 'Inikah tangan manusia hebat?' pikirnya.
Egara muda hanya berdecak, dia masih enggan untuk berpikir kalau dirinya memiliki kekuatan namun lingkungannya yang sangat tidak nyaman memaksa otaknya untuk mengakui hal itu dengan sebuah harapan dia dapat kabur dan menjalani kehidupan yang lebih tenang.
Di tengah malam yang sangat sepi. Egara terbangun dari tidurnya yang sangat tidak nyaman. Posisi melingkar seperti ular membuat seluruh tulang mudanya nyeri.
Dia lalu duduk dan bersandar menjadi satu-satunya yang terjaga malam itu. Dipandanginya puluhan bahkan ratusan tubuh yang terlelap di sekitarnya.
Dia sempat mendengar kalau mereka akan dijadikan budak kegelapan, hanya tinggal menunggu hari untuk mulai dipekerjakan.
Kilatan cahaya terang terlihat dari celah lubang angin diatas sel penjara, lalu dia dikejutkan dengan lengkingan suara kucing sihir. Entah apa yang terjadi, Egara hanya mengetahui kalau di luar tidak jauh berbeda dari di dalam sel karena sangat berbahaya.
Egara menggosokkan kedua telapak tangannya karena merasa dingin. Lalu dia meraba tanah, alas dia tidur. Mencoba untuk memekakan pendengarannya dan merasakan getaran dari sesuatu yang mungkin sedang bergerak di sekitarnya.
Dia pernah tahu kalau ayahnya mampu membaca pikiran orang lain, dia juga memiliki kepekaan pendengaran yang bagus. Sementara ibunya emiliki reflek dan indera peraba yang sanat sensitive.
Egara tidak memikirkan apapun, hanya berharap sesuatu mungkin akan dia miliki dan membantunya untuk selamat.
Cukup lama Egara memekakan pendengaran, namun dia tidak dapat mendengar hal lain selain lengkingan suara kucing sihir. Dia juga tidak merasakan getaran apapun kecuali ketika ada seorang penduduk yang mengubah posisi tidurnya.
"Sial!" umpatnya lirih.
Segera saja dia memijat pelan kepalanya, menyesali tindakan bodohnya yang mulai menganggap dirinya hebat.
"Sesuatu mengganggumu, Kawan?"
Egara sangat terkejut saat mendengar suara itu. Dia mengedarkan pandangan untuk mencari sumber suara. Serak dan berat, dia yakin itu adalah suara seorang pria tua.
"Kau membutuhkan pelukan seorang ibu?" ujar pria itu lagi.
Egara mengerutkan dahinya. Pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang menatapnya dari kejauhan dengan posisi berbaring.
Egara tidak merespon, dia hanya segera mengalihkan pandangannya. Namun masih penasaran dengan kedua tangannya sendiri.
Pria tua itu terus berbicara dengan aksen yang tidak begitu terdengar oleh Egara. Pria itu juga sempat menggumamkan lagu yang lagi-lagi tidak diketahui oleh Egara.
"Berapa usiamu? Kau terlihat sangat muda," ucap pria itu.
Egara masih enggan menjawab, dia memilih untuk kembali pada posisi tidurnya di dekat dinding dihimpit oleh dua pria desa yang tidak begitu ia kenal.
"Ck anak muda," gumam pria tua itu yang hanya menggelengkan kepala.
Egara berbantal pada lengannya sendiri, belum mampu untuk memejamkan mata namun dia kembali meraba tanah dan memekakan perasaannya. Hingga akhirnya dia mendengar suara langkah kaki.
***