Membaca Isi Buku Sihir
Membaca Isi Buku Sihir
Sementara Raseel dan Hatt, keduanya hanya menatap kagum dan sama-sama merasa gugup karena telah menemukan sebuah harta karun yang selama ini dicai oleh Raja Wedden.
"Tapi bukankah Raja mengatakan kalau Buku Sihir itu hancur karena mendapat serangan dari kegelapan saat pertarungan?" ucap Hatt lirih.
Raseel mengedikan bahu. "Entahlah, namun kurasa ini buku yang berbeda."
"Tidakkah kau merasa kalau buku ini asli? Maksudku … dia tetap bagus walau tidak terawatt selama puluhan tahun," ujar Hatt lagi.
Kali ini Raseel mengangguk. "Saat aku membawanya tadi, itu sungguh berat."
"Apa kau melihat isinya?" Tanya Hatt.
"Tidak, tapi Egara melihatnya."
Hening.
Hatt segera melirik Egara yang sedang diam berpura tidak mendengar percakapan peri lembah bersaudara itu.
"Apa yang dia baca?" bisik Hatt lebih lirih dengan tujuan agar Egara tidak dapat mendengar suaranya. Padahal, EGara tetap mendengar bahkan walau hanya terucap dalam pikirannya.
"Saat kutanya apakah dia melihat isinya, dia mengangguk. Namun dia bilang tidak mengerti bahasa kuno," jawab Raseel dengan suara yang juga lirih.
Hatt kembali melirik Egara, dia masih bingung dengan beberapa hal namun memutuskan untuk menanyakannya nanti ketika Raja telah tiba, agar semuanya menjadi lebih jelas.
Cukup lama menunggu, Hatt menjadi semakin tidak sabar. Sejak awal, dia memang sangat bersemangat mengenai hal ini.
Beberapa pelayan menyajikan kembali hidangan, kali ini kue kering dan minuman hangat.
"Raja telah tiba," ujar pelayan itu pada Egara yang sebenarnya tidak bertanya. Ketua pasukan itu hanya sedikit mengerutkan dahi karena hidangan pertama saja masih belum habis namun mereka kembali menerima hidangan selanjutnya.
"Emm," angguk Egara sebagai responnya pada pelayan.
Hanya berselang beberapa saat, terdengar para prajurit menyambut kedatangan Raja juga dua pria utara. Arkenstone bersaudara masih sibuk dengan jubah Tao yang robek karena tersangkut di dahan saat di perjalanan.
Ley segera meminta bantu pelayan untuk memperbaiki karena jubah itu adalah kesayangan Tao.
"Apakah bisa segera?" celetuk Tao sambil cemberut.
Ley melirik adiknya itu dengan sedikit menyenggol lengannya sedikit.
Pelayan itu lalu tersenyum, "Tentu. Setelah kau selesai makan, jubahmu juga akan selesai."
Tao mengangguk. Segera saja Ley merangkul sang adik dan mengajaknya bergabung dengan Raja dan yang lainnya.
"Terimakasih sebelumnya," ucap Ley pada pelayan sambil berjalan.
Pelayan cantik itu kembali mengangguk, dia selalu menampakkan wajah ceria dan ramah.
"Jadi, ada apa ini?" tanya Raja yang sudah duduk sejak tadi. Satu buah apel telah dimakannya setengah. Raseel dan Hatt sengaja membiarkan Raja untuk beristirahat terlebihdulu.
"Ini, Raja." Raseel dan Hatt kompak menunjuk sebuah buku besar berwarna coklat dengan batu ruby yang berada didepan keduanya.
Egara membenarkan posisi duduknya, lalu dia mengambil minuman.
Raja mengamatinya dari tempat ia duduk. Detik berikutnya ia segera membenarkan posisi duduknya.
"Apa itu?" Raja mengerutkan dahi, segera saja ia meraih buku itu. Namun baru saja menyentuhnya, ekspresi sang Raja seketika berubah dan membuat semua orang di sekitar sempat mengamati karena khawatir.
Kedua manik mata Raja terlihat berkilau untuk beberapa saat. Raja juga dapat merasakan adanya sesuatu yang seolah menyengat ujung jemari hingga membuat seluruh tubuhnya tegang.
"Kurasa itulah bukunya, Raja." Raseel bersuara.
Wedden lalu berkedip beberapa kali. Dia seperti baru kembali tersadar dan segera saja dia mengambil buku itu dan membukanya.
Egara mengamatinya dalam diam.
Semua orang menjadi semakin tegang ketika Raja Wedden membuka buku besar itu, begitu juga dengan Corea dan Cane yang baru saja bergabung karena dipanggil oleh prajurit atas perintah Hatt.
Sangat hening, bahkan hingga suara sampul terbuka terdengar dengan jelas.
Tanpa ekspresi berlebihan, Raja Wedden terus membalik tiap lembarnya dengan tatapan yang sangat serius.
Terlihat mulutnya berkomat kamit, Egara meneguk minumannya karena tidak ingin berlarut dalam keheningan.
"Apa isinya, Raja?" celetuk Cane polosnya.
"Apa kau bisa membacanya?" sahut Hatt lagi.
Raja Wedden masih diam. Jantungnya terasa berdetak tidak keruan, namun di sisi lain dia kebingungan. Dia masih diam, belum merespon satupun pertanyaan dari orang-orang yang sudah sangat penasaran.
Raja kembali membalik lembar per lembar, hingga dia berhenti pada halaman yang cukup menarik perhatiannya.
Sebuah mantra penghancur kegelapan. "Apakah ini?" gumamnya.
Tanpa bersuara, Raja Wedden kembali berkomat kamit melafalkan mantra yang sedang ia hadapi.
Semua orang saling pandang, namun menjadi semakin bertanya-tanya.
"Apa yang dia lakukan?" gumam Tao.
"Kurasa dia membaca mantra," sahut Corea yang mendengar suara bocah itu.
"Begitukah? Mantra apa?" Tao sambil memakan kue kering.
Semua orang masih diam, namun tidak dengan Egara yang mulai merasakan panas di kedua telapak tangannya. Rasanya sama persis ketika ia meremas jantung makhluk api di ruang bawah tanah dahulu.
Egara kembali mengambil minumnya, namun tangannya gemetar membuatnya mengurungkan niat dan hanya mengambil sebutir anggur untuk dimakan.
Tidak hanya kedua telapak tangan yang panas, dia juga mulai merasakan jantungnya sangat nyeri seperti tertusuk oleh sesuatu yang tak terlihat.
Egara mencoba untuk mengatur napasnya. Namun ketidaknyamanannya itu tidak dapat disembunyikan karena peluhnya mulai membasahi seluruh tubuh, juga tubuhnya yang semakin terasa sakit membuatnya tidak tenang.
Egara mengepalkan kedua telapak tangannya, ia memejamkan mata dan terus mencoba untuk mengumpulkan energinya.
"Kau baik-baik saja, Ketua?" ujar seorang prajurit yang rupanya mengamati sikap ketuanya.
Egara menggeleng, namun dari raut wajahnya masih sangat jelas dia menahan sakit yang luar biasa.
Prajurit itu enggan menjauh, dia sangat mengkhawatirkan keadaan Ketua pasukan itu.
"Hentikan, Raja!" teriak Egara yang segera bangkit dari tempat duduknya.
Semua mata segera tertuju padanya, begitu uga degan Raja yang segera berhenti membaca mantra.
"Ada apa, Egara?" ucap Corea namun lirih.
Semua orang mengamati perubahan sikap dan keadaan Egara yang jelas tidak baik-baik saja.
"Kau hanya perlu mengatakan pada kami apakah kau bisa membacanya, tanpa harus membacanya di hadapan kami," ujar Egara.
Segera saja semua orang saling pandang dan merasa aneh dengan kalimat Egara.
"Kau kesakitan?" ujar Raja. Raseel dan Ley terkejut dengan pertanyaan Raja, padahal mereka berdualah yang sebelumnya hendak menanyakan mengenai hal ini.
Egara diam, hanya menatap sang Raja dengan tatapan yang tajam.
"Aku tidak akan menyakitimu, Egara. Aku hanya ingin menghilangkan sisa kegelapan dalam dirimu. Maka bertahanlah," uajr Raja Wedden lagi.
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja dengan keadaan diriku," sahut Egara.
***