BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Perjalanan Menuju Barat



Perjalanan Menuju Barat

3Angin malam yang dingin masih terasa hingga ke bagian tulang pasukan pengelana yang sedang tertidur dengan nyaman. Suara hewan malam yang sedang mencari makan sesekali nereka dengar namun tetap diabaikan.     

Mereka tidur dengan senjata disamping tubuh mereka, selalu siaga untuk suatu hal yang mungkin akan membahayakan.     

Suara rintihan samar mulai terdengar oleh Pangeran Soutra dan Nig, dua pria dengan pendengaran yang paling tajam diantara yang lainnya.     

Semula Ren masih mengabaikan, dia hanya berpikir kalau itu adalah suara tupai yang kekenyangan atau semacamnya.     

Namun semakin lama mereka mengabaikan, suara itu terdengar semakin jelas terlabih saat mereka menyadari tidak ada tupai di sekitar mereka.     

Ren terbangun terlebih dulu, dia segera mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mencari sumber suara.     

Dengan sedikit melirik kearah Pangeran Soutra, Nig hanya kembali mengabaikan dan berpikiran kalau pria berambut panjang merah muda itu dapat mengurusnya sendiri.     

Rupanya, itu adalah benar suara rintihan. Ren segera menghampiri Ser yang nampak tidur dengan posisi menekuk tubuhnya dan terus merintih juga menggigil.     

Disentuh oleh Ren, tubuh bocah itu sangat panas dan penuh dengan peluh yang membuat tubuhnya basah. Ren memindai tubuh Ser dengan pandangannya, terlihat ada beberapa bagian tubuh yang bengkak dan memerah juga panas. Segera saja dapat mengenali hal itu, Ren mencari daun muda untuk obat yang berada di sekitarnya.     

Namun saat hendak berdiri, dia kembali menyadari kalau ternyata Wedden dan Corea juga merintih hanya saja suara keduanya lebih lirih.     

Ren mengerutkan dahinya, dia masih berpikir kalau mereka bertiga mungkin sial karena diserang kelompok lebah hingga sakit.     

Tidak lama setelah memberikan obat pada Ser dengan mengompres juga membubuhkan daun muda yang telah dihaluskan, Ren mendapati Wedden yang terbangun dan segera saja dia menyuruh pria Vitran untuk membubuhkan daun pada bekas sengatan di tubuhnya.     

Sementara Corea, Ren yang membantunya karena wanita itu tidak kunjung bangun bahkan setelah berusaha dibangunkan oleh Ren dan Wedden.     

      

Wedden menatap Ser malang. Dirinya yang sudah beberapa kali merasakan sakit saat perjalanan, merasa kasihan dengan Ser yang nampaknya sangat kesakitan karena sengatan lebah-lebah itu.     

Beruntungnya, racun lebah hutan tidak mematikan, sehingga mereka hanya memerlukan waktu istirahat sedikit lebih lama lagi untuk memulihkan keadaan tubuh mereka.     

      

Wedden kembali merebahkan tubuhnya, namun tidak dengan Ren. Dia merasa perlu menjaga semua orang yang ada di tempat itu karena dia adalah seorang Pangeran yang telah ditanamkan dalam benaknya untuk selalu memastikan warga dan pasukan dalam keadaan baik-baik saja.     

      

Setelah tubuh Ser tidak lagi panas, Ren membereskan beberapa sisa obat yang berantakan.     

Telinganya yang tajam itu mulai mendengar suara kicau burung yang saling bersahutan, hal itu adalah pertanda kalau matahari akan segera terbit.     

Ren memandangi seluruh pasukan Nig, semuanya masih dalam tidurnya yang nyenyak. Hanya saja Ren mulai menyadari kalau ketua pasukan itu sudah terbangun sejak beberapa saat lalu.     

      

.     

.     

      

Suasana hangat mulai terasa di sekitar para pengelana yang satu per satu mulai bangun. Suara kicauan burung yang semakin ramai memberikan tanda kalau mereka sedikit kesiangan dari yang ditargetkan.     

Nig dan pasukannya membagikan setidaknya satu potong roti untuk pasukan Wedden. Mereka tidak akan membiarkan ada yang kelaparan dan kehilangan energi saat dalam perjalanan.     

Wedden memastikan Ser sudah pulih, dia memutuskan untuk berjalan di dekat bocah itu.     

Sementara Corea masih menggumam kesal karena dia mendapati banyaknya ramuan daun yang menempel pada tubuhnya saat terbangun.     

"Argh siapa orang sialan yang membuat tubuhku kotor begini! Apa dia tidak tahu kalau sulit mencari air untuk membersihkan diri!"     

Ren yang mendengar hal itu hanya diam. Dia melirik sedikit lalu mempercepat langkahnya untuk mendahului wanita itu.     

      

"Tubuhmu demam karena sengatan lebah kemarin. Ren yang memberimu obat," bisik Wedden. Dia tidak ingin Pangeran Soutra mendapat kalimat tidak menyenangkan dari peri wanita itu.     

"Ah benarkah? Tapi aku tidak merasa sakit sama sekali," ujar Corea yang masih ketus.     

"Emm, kurasa dia selain seorang Pangeran, dia juga berjiwa tabib sehingga mengetahui tentang pengobatan walau kau tidak merasa sakit," tambah Wedden.     

      

Seredon yang berjalan di dekat mereka hanya menyimak. Dia masih merasa kurang sehat, hanya saja dia telah diperingatkan oleh Ren kalau nanti dia merasa tidak sanggup, dia akan ditinggal.     

"Kurasa dia juga penjahat," gumam Ser dengan helaan napas panjang.     

      

Perjalanan mereka resmi dimulai dengan Nig yang memimpin langkah mereka. Ren memposisikan diri di paling belakang barisan, masih dengan alasan pendengaran tajam, dia hanya berharap tidak akan kesialan yang menimpa jika mereka dapat mengantisipasi sebelumnya.     

Perjalanan yang sungguh panjang dan melelahkan, buah hutan adalah cemilan mereka. Namun Ren telah beberapa kali menepis tangan Ser yang salah mengambil buah.     

"Jangan ambil yang hijau jika kau tidak ingin mati!" suara Ren membuat Ser getir.     

Corea sedikit melirik Ren, harus dia akui kalau pria nan berpenampilan cantik itu memiliki hati yang baik. Itulah yang membuatnya tertarik, hanya saja caranya yang kasar dan dingin, membuat orang tidak begitu nyaman saat berada di dekatnya.     

Ren dapat merasakan tatapan Corea, segera saja dia mengalihkan pandangan dan kembali berjalan melewati wabita itu untuk menyusul pasukan Nig di depan.     

      

Suara kicauan burung masih terdengar namun samar, hal itu karena mereka mulai memasuki wilayah hutan basah.     

Suara gemercik air samar mulai terdengar di dalam hutan.     

Tiba-tiba Nig berhenti dan berbalik untuk menatap seluruh pasukannya.     

"Dengar aku! Di dalam sana ada banyak anak sungai yang mengalir dengan airnya yang sangat jernih. Tapi jangan sekali-kali kalian mencicipi air itu. Kalian akan mati karena itu beracun. Mengerti?!" teriaknya dengan suara beratnya yang lantang.     

Wedden mengangguk antusias, namun disaat yang bersamaan dia jugs mulai nerasakan haus.     

Seolah mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Wedden, Nig kembali memberikN peringatan. "Jika kalian haus, tahan saja. Kalian dapat menemukan mata air di sebuah pohon tua setelah melewati hutN basah ini. Disana, kalian bisa minum hingga puas."     

Wedden kembali mengangguk.     

      

Langkah pertama mereka memasuki kawasan hutan basah, Wedden mencium aroma menyengat yang sangat tidak nyaman. Seperti aroma bangkai busuk kuda pasukan yang telah mati lama waktu itu. Namun kali ini lebih mengerikan, karena ditambah dengan bau lumpur basah dengan mikroorganisme yang membusuk.     

Ser yang mulai memboasakan diri, tidak lagi banyak ngoceh. Dia menikmati perjalannya dengan sesekali mengedarkan pandangannya karena dia merasa sedang diawasi. Namun dia tidak mengatakan firasatnya itu pada siapapun.     

Wite dan Mod rupanya merasakan hal yang sama, sungguh sangat tidak tenang. Ingin sekali mereka lari, namun pijakan yang basah dan berlumpur membuat mereka hanya menenangkan diri dan berharap kalau tidak akan ada apapun yang menyerang mereka.     

      

Di sebuah dahan di sebuah pohon paling tinggi di hutan basah, ada seekor gagak hitam raksasa yang aedang bertengger dengan tenang. Itulah yang mengawasi pasukan yang menyeberangi hutan basah, hanya saja tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya karena warnanya nampak sama dengan kulit kayu yang tua.     

Tidak lama setelah mengintai, gagak itu terbang tanpa meninggalkan suara kelakan sayap atau apapun. Dia akan kembali pada tuan kegelapannya untuk melaporkan apa yang baru saja ia saksikan.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.