Lintah Air Keruh
Lintah Air Keruh
Nig dan pasukannya membagikan setidaknya satu potong roti untuk pasukan Wedden. Mereka tidak akan membiarkan ada yang kelaparan dan kehilangan energi saat dalam perjalanan.
Wedden memastikan Ser sudah pulih, dia memutuskan untuk berjalan di dekat bocah itu.
Sementara Corea masih menggumam kesal karena dia mendapati banyaknya ramuan daun yang menempel pada tubuhnya saat terbangun.
"Argh siapa orang sialan yang membuat tubuhku kotor begini! Apa dia tidak tahu kalau sulit mencari air untuk membersihkan diri!"
Ren yang mendengar hal itu hanya diam. Dia melirik sedikit lalu mempercepat langkahnya untuk mendahului wanita itu.
"Tubuhmu demam karena sengatan lebah kemarin. Ren yang memberimu obat," bisik Wedden. Dia tidak ingin Pangeran Soutra mendapat kalimat tidak menyenangkan dari peri wanita itu.
"Ah benarkah? Tapi aku tidak merasa sakit sama sekali," ujar Corea yang masih ketus.
"Emm, kurasa dia selain seorang Pangeran, dia juga berjiwa tabib sehingga mengetahui tentang pengobatan walau kau tidak merasa sakit," tambah Wedden.
Seredon yang berjalan di dekat mereka hanya menyimak. Dia masih merasa kurang sehat, hanya saja dia telah diperingatkan oleh Ren kalau nanti dia merasa tidak sanggup, dia akan ditinggal.
"Kurasa dia juga penjahat," gumam Ser dengan helaan napas panjang.
Perjalanan mereka resmi dimulai dengan Nig yang memimpin langkah mereka. Ren memposisikan diri di paling belakang barisan, masih dengan alasan pendengaran tajam, dia hanya berharap tidak akan kesialan yang menimpa jika mereka dapat mengantisipasi sebelumnya.
Perjalanan yang sungguh panjang dan melelahkan, buah hutan adalah cemilan mereka. Namun Ren telah beberapa kali menepis tangan Ser yang salah mengambil buah.
"Jangan ambil yang hijau jika kau tidak ingin mati!" suara Ren membuat Ser getir.
Corea sedikit melirik Ren, harus dia akui kalau pria nan berpenampilan cantik itu memiliki hati yang baik. Itulah yang membuatnya tertarik, hanya saja caranya yang kasar dan dingin, membuat orang tidak begitu nyaman saat berada di dekatnya.
Ren dapat merasakan tatapan Corea, segera saja dia mengalihkan pandangan dan kembali berjalan melewati wabita itu untuk menyusul pasukan Nig di depan.
Suara kicauan burung masih terdengar namun samar, hal itu karena mereka mulai memasuki wilayah hutan basah.
Suara gemercik air samar mulai terdengar di dalam hutan.
Tiba-tiba Nig berhenti dan berbalik untuk menatap seluruh pasukannya.
"Dengar aku! Di dalam sana ada banyak anak sungai yang mengalir dengan airnya yang sangat jernih. Tapi jangan sekali-kali kalian mencicipi air itu. Kalian akan mati karena itu beracun. Mengerti?!" teriaknya dengan suara beratnya yang lantang.
Wedden mengangguk antusias, namun disaat yang bersamaan dia jugs mulai nerasakan haus.
Seolah mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Wedden, Nig kembali memberikN peringatan. "Jika kalian haus, tahan saja. Kalian dapat menemukan mata air di sebuah pohon tua setelah melewati hutN basah ini. Disana, kalian bisa minum hingga puas."
Wedden kembali mengangguk.
Langkah pertama mereka memasuki kawasan hutan basah, Wedden mencium aroma menyengat yang sangat tidak nyaman. Seperti aroma bangkai busuk kuda pasukan yang telah mati lama waktu itu. Namun kali ini lebih mengerikan, karena ditambah dengan bau lumpur basah dengan mikroorganisme yang membusuk.
Ser yang mulai memboasakan diri, tidak lagi banyak ngoceh. Dia menikmati perjalannya dengan sesekali mengedarkan pandangannya karena dia merasa sedang diawasi. Namun dia tidak mengatakan firasatnya itu pada siapapun.
Wite dan Mod rupanya merasakan hal yang sama, sungguh sangat tidak tenang. Ingin sekali mereka lari, namun pijakan yang basah dan berlumpur membuat mereka hanya menenangkan diri dan berharap kalau tidak akan ada apapun yang menyerang mereka.
Di sebuah dahan di sebuah pohon paling tinggi di hutan basah, ada seekor gagak hitam raksasa yang aedang bertengger dengan tenang. Itulah yang mengawasi pasukan yang menyeberangi hutan basah, hanya saja tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya karena warnanya nampak sama dengan kulit kayu yang tua.
Tidak lama setelah mengintai, gagak itu terbang tanpa meninggalkan suara kelakan sayap atau apapun. Dia akan kembali pada tuan kegelapannya untuk melaporkan apa yang baru saja ia saksikan.
.
.
Suara langkah kaki pada tanah berair menjadi satu-satunya suara yang mereka dengar selama lebih dari satu jam perjalanan. Sesekali bergidik karena ngeri dengan lumpur yang lengket dan berbau, Ser menahan diri untuk tidak mengeluarkan isi perutnya.
Salah satu kesialan yang mereka alami adalah, mereka tidak mengenakan sepatu boot atau semacamnya. Mereka hanya mengorbankan kaki mereka langsung bersentuhan dengan apapun yang mereka jadikan pijakan.
Wedden sempat menghentikan langkahnya sejenak saat ia merasakan ada sesuatu yang 'menyentuh' kakinya dari dalam lumpur. Namun pikirannya langsung tertuju pada dahan atau tanaman liar yang memang hidup di dalam air keruh.
Namun rupanya semua orang merasakan hal yang sama. Ren bahkan hingga merinding ngeri, dia segera memekakan pendengarannya untuk memastikan apakah ada pergerakan di bawah kaki mereka.
"Hey! Bisakah seseorang menghilangkan lumpur yang sangat lengket ini? Ini sangat mengganggu argh! Sulit sekali dihilangkan!"
Corea berteriak dariatas sebuah batang kayu yang roboh. Dia menaiki kayu itu karena merasa sangat tidak nyaman saat berjalan dengan lumpur lengket yang membuat kakinya terasa lebih berat.
Melihat Corea terus berusaha untuk menghilangkan lumpur yang menempel dengan ranting kayu kecil, Nig segera melemparkan belatinya tepat kearah kaki peri wanita itu.
Hal itu sontak membuat semua orang histeris.
Zep!
Menancap dengan sempurna. Bukan pada kaki peri wanita itu, namun pada sesuatu yang menempel pada kaki Corea yang ia sebut sebagai 'lumpur'.
Corea masih memandangi kaki kirinya, sesuatu itu masih diam namun cairan hijau perlahan mengalir pada gagang belati yang masih menancap.
"Sial! Apa itu?" gumam Corea mulai merinding.
Perlahan namun pasti, sesuatu itu Nampak bergerak seperti 'kesakitan' atau semacamnya.
Nig kembali segera menebas dahan kayu berdaun lebat, ia meremas dedaunan itu hingga mengeluarkan getah lalu mengahmpiri Corea.
"Tetaplah tenang," ucap Nig lirih para Corea. Peri wanita itu hanya mengangguk.
Segera saja Nig menempelkan daun hancur pada kaki Corea tadi, diapun langsung menarik kembali tangannya setelah sedikit bergidik.
Sesuatu itu bergerak, sialnya … itu adalah lintah berukuran raksasa yang pernah ditemui oleh Wedden dan kawan-kawan dari Utara. Lintah itu menggeliat karena dia membenci getah daun yang beracun. Nampak memuntahkan banyak cairan hijau, hanya dalam hitungan detik lintah itu jatuh kembali ke air keruh.
Corea sangat geli, namun dia telah berjanji untuk tetap tenang sehingga dia hanya menatap hal itu dengan menelan ludahnya.
Setelah hal itu, semua orang segera siaga dengan apapun yang ada di sekitar mereka. Wedden berjingkat mendekat pada Ren yang masih kalem dengan memekakan pendengarannya. Sementara Ser yang sudah nyaris menangis karena merasa takut dan jijik, kembali tenang saat ia dihampiri Mod dan ditepuk pelan bahunya.
"Tenanglah, mereka tidak menghisap darah manusia. Mereka memakan kayu, mereka tadi hanya menempel karena mungkin merasa ada tempat bagus untuk hinggap," ujar Mod yang berjalan didekat Ser.
Ser jelas sekali masih sangat takut, Mod menyuruhnya untuk selalu siap dengan belatinya untuk berjaga-jaga.