Kekacauan di Kerajaan pt.3
Kekacauan di Kerajaan pt.3
"Wanita itu, Selina. Bukankah dia sumber dari kekacauan di wilayah Timur? Itu sangat masuk akal karena memang dari sanalah sumbernya. Tapi kukira dia sudah tewas … sangat tidak mungkin dia ikut ke Selatan, 'kan? Lalu apakah dugaanku selama ini benar? Apakah sungguh putri Leidy?"
Egara masih terus berbicara dengan dirinya sendiri. Di setiap langkahnya, dia memiliki banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya.
"Hey!"
"Hah!" Egara menghentikan langkahnya karena sangat terkejut dengan sentuhan Corea pada bahunya. "Ah ya ampun Corea. Kau membuatku sangat terkejut," keluhnya dengan helaan napas panjang.
"Apa yang kau pikirkan? Aku memanggilmu sejak tadi namun samasekali tidak kau hiraukan." Corea menatap lekat pria yang lebih tinggi darinya itu. "Ada masalah?" imbuhnya.
Egara sedikit melirik pintu kamar putri Leidy yang masih tertutup rapat dengan dua penjaga yang masih berdiri tegak di depan.
"Kau ingin menjenguk putri Leidy?" tanya Corea lagi.
"Emm," Egara mengangguk pelan. "Dia adalah satu-satunya yang tidak keluar dari ruangannya karena kekacauan ini. Aku hanya ingin memastikan kalau dia baik-baik saja."
Corea mengerutkan dahinya, pria dihadapannya ini terliat tidak jujur namun dia tidak dapat mendeteksi hal itu.
"Aku ikut denganmu," ujar Corea.
Egara tidak menginginkan hal itu, namun dia juga tidak memiliki alasan yang tepat untuk menolak peri lembah wanita itu.
Corea mengamati sikap Egara yang terlihat berbeda. Beberapa kali Egara nampak mengepalkan tangan dan mehela napas panjang. Sorot matanya juga sangat tajam, persis saat ia sangat berambisi untuk bertarung.
Corea berjalan di belakang Egara. Di tiap langkah yang semakin mendekati ruangan putri Barat, Corea merasakan suasana yang sedikit berbeda, seperti berada dibangunan yang berbeda dari bangunan saat a bersama dengan Raja Wedden sebelumnya.
Melihat Egara dan Corea berjalan mendekat, kedua prajurit segera merapatkan diri sebagai tanda kalau tidak akan mengijinkan siapapun untuk memasuki ruangan putri Leidy.
Beruntung Corea dapat berpikir dengan cepat. Dia sedikit mendorong tubuh Egara mundur dan ia maju untuk bicara pada penjaga.
"Kami mendapat tugas dari Raja untuk memastikan keadaan Putri Leidy. Aku juga membawakan rempah untuk menghangatkan sekaligus mengobati luka dalam. Raja bilang, ini yang selalu beliau berikan pada tuan Putri." Corea memperlihatkan sebuah buntelan yang baru dia keluarkan dari saku pakaiannya.
Egara mengerutkan dahi, dia cukup mengagumi kepandaian Corea dalam membual.
Kedua prajurit menatap Egara lekat, seolah tidak ingin membiarkan pria berbadan besar itu ikut masuk.
"AKu Ketua pasukan disini. Kenapa kalian menatapku seperti menatap seorang penguntit!" bentak Egara tdak suka.
"Ah kurasa kalian juga harus membiarkan Egara masuk. Kalian tahu kalau dia memiliki darah penyihir, 'kan? Dia juga mampu membantu proses penyembuhan dengan kekuatannya itu. Itulah kenapa Raja juga menyuruhnya kemari bersamaku," ujar Corea lagi. Kalimatnya terdengar sangat sungguh-sungguh dan meyakinkan.
"Maaf, sebenarnya kami selalu akan mengijinkan siapapun untuk menjenguk. Namun mengingat keadaan Putri yang masih belum pulih, Raja memerintahkan untuk lebih hati-hati karena khawatir kedatangan tamu akan mengganggu istirahat Putri Leidy," ujar seorang prajurit.
Egara masih diam, dia terlalu kesal sehingga tidak ingin mengeluarkan kalimat yang kasar.
Corea tersenyum samar, dan dengan kalimat-kalimatnya tadi, akhirnya mereka mendapatkan ijin untuk menjenguk Putri Leidy.
Egara dan Corea membuka perlahan pintu ruangan yang cukup besar itu. Derak pintunya menggema karena suasana yang sangat sepi dan hening.
Dua orang pelayan nampak terkejut dengan kedatangan keduanya. Mereka yang sedang mengompres dan mengoleskan ramuan untuk luka putri Leidy itu segera mengangguk pelan dan menyapa Ketua pasukan Kerajaan.
"Apakah putri baik-baik saja?" tanya Corea segera mendekat tempat tidur. "Kalian memberinya selimut yang tebal, 'kan?" uajrnya lagi.
"Iya, Nona. Kami juga selalu berada disekitar Putri tiap kali ia terkejut dengan petir yang menyambar," jawab salah seorang pelayan.
"Dia tidak terbangun?" tanya Corea. "Baguslah, dia memang harus istirahat yang banyak."
Sementara Corea berbincang dengan pelayan juga ikut mengompres Putri Leidy, Egara mengedarkan seluruh pandangannya ke semua sudut ruangan. Dia mengamati mulai dari jendela besar juga ventilasi yang ada. Semua celah di ruangan itu dia hampiri, memastikan kalau ruangan ini sungguh baik-baik saja.
Kembali berbalik dan mengecek keadaan pintu. Egara mengerutkan dahi saat mendengar pelayan mengatakan kalau Leidy tidak ada bangun dari tidur panjangnya.
Egara merasakan energy Leidy. Tentu saja dia sudah mengenalinya. Sejak pertarungan di wilayah Timur, semua orang telah mengetahui kalau putri Leidy memiliki kekuatan sihir dalam dirinya. Walau sebenarnya itu bukan rahasia, sebagian orang yang tahu mengenai riwayat hidup putri Leidy dan roh alam pasti sudah menduga hal itu hanya saja Leidy tidak pernah menampakkan kekuatannya pada sembarang orang.
"Ada apa kalian kemari?" ucap Leidy dalam keadaan terpejam yang membuat Corea juga Egara terkejut.
Detik berikutnya wanita berambut coklat panjang itu membuka mata dan menatap Corea yang duduk di dekatnya. Egara segera mendekat, khawatir akan sesuatu yang mungkin akan terjadi.
"Kau sudah sadar?" Corea menyapa dengan senyumnya. "Aku datang untuk memastikan kalau kau dalam keadaan baik, Leidy. Rajapun beberapa kali menanyakan tentang keadaanmu, namun beliau sedang sibuk sehingga belum sempat untuk kemari," imbuh Corea.
"Raja sudah kemari sebelumnya," sahut Leidy tanpa adanya ekspresi.
Seorang pelayan mengusap peluh di dahi Leidy. Melihat hal itu, Corea dan Egara merasa aneh karena suasana di ruangan itu justru terasa dingin bagi mereka.
"Ah ada hujan badai. Kurasa Raja ingin terus mengetahui kabarmu." Kata Corea lagi.
Cukup lama Leidy menatap Corea dengan manik mata yang berkila seolah menyala dan tanpa ekspresi apapun. Namun tiba-tiba saja Leidy mehela napas panjang dan terlihat lemah. Tatapan matanya menjadi sayu dan perlahan dia menyunggingkan senyumnya pada Corea.
"Terimakasih telah mengkhawatirkanku, Corea." Leidy meraih tangan Corea dan menggenggamnya erat.
Tubuh wanita putri Barat itu sangat dingin, membuat Corea sedikit memiringkan kepala karena heran.
"Bisakah kau duduk saja? Kau harus minum obat, kurasa." Egara memerintahkan. Dia mendekat dan segera saja para pelayan membantu Leidy untuk dapat bangun dan bersandar di tempat tidurnya.
Masih sangat lemah, namun peluh Leidy seolah menunjukkan kalau dia baru saja melakukan aktivitas berat dan melelahkan.
"Maaf," ucap Egara sebelum akhirnya ia menyentuh dahi Leidy.
Ah! Sial.
Egara mengumpat dalam hatinya. Dia menyadari kalau energinya tidak diterima oleh energy Leidy sehingga membuatnya merasa seperti tersengat listrik.
"Kita berbeda leluhur. Bukankah kau paham mengenai hal ini?" ujar Leidy pada Egara.
"Ah benar. Aku hanya ingin mengetahui keadaanmu. Kau terlihat lelah, Putri. Apa kau mengalami mimpi buruk?"
"Bukan aku, melainkan kalian."
***