BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Roh Alam



Roh Alam

2Egara dan Corea keluar dari ruangan Leidy. Keduanya berjalan dengan saling diam, Egara sibuk dengan pikirannya sendiri sementara Corea sedang sibuk menebak isi kepala ketua pasukan kerajaan itu.     

"Hey, Egara!" panggil Corea yang sengaja menghantikan langkahnya.     

"Emm?" Egara berhenti dan berbalik.     

"Huhh! Bisakah kau tidak diam dan membuatku khawatir seperti ini?"     

"Kenapa kau khawatir denganku yang diam?" tanya balik Egara.     

"Kau pergi ke ruang Leidy dengan mengepalkan tangan dan sangat marah, lalu kau memeriksa seluruh ruangan bahkan menyentuh wanita itu padahal kau tahu energy kalian tidak bisa saling bersinggungan. Apa kau baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" pertanyaan Corea panjang lebar membuat Egara mehela napas panjang.     

Egara segera menarik tangan Corea dan membawanya ke tempat yang tidak akan dilewati oleh prajurit lain saat patroli.     

"Aku tidak tahu harus memulainya darimana, tapi percaya atau tidak, aku telah mengalami kejadian seperti hari ini dalam mimpiku berkali-kali." Egara mulai menceritakan isi kepalanya.     

"Berkali-kali? Apa sangat persis? Maksudku, bisa saja kau hanya merangkainya dan secara kebetulan terjadi atas keajaiban," cletuk Corea menanggapi.     

Egara menggeleng. "Benar-benar sama persis. Hujan badai, kebocoran Kerajaan juga kerusuhan dan saling serang prajurit hingga ada nyawa yang melayang karenanya," ujarnya.     

Corea mematung, dia merasa ngeri dengan kisah Egara itu. "Lalu? Ada apa lagi di dalam mimpimu?" tanyanya.     

"Aku melihat Leidy."     

"Hah? Kenapa? Apa yang dia lakukan?"     

Egara mengedikkan bahunya. "Aku melihatnya tersenyum lalu pergi begitu saja."     

"Lalu … apa kau juga melihatnya tadi di ruang kerusuhan?" tanya Corea sangat penasaran.     

Egara mengangguk, seketika Corea terbelalak. "Ah tidak mungkin …," gumamnya. "Apa karena hal ini kau jadi sangat ingin menemui wanita itu?"     

"Benar," sahut Egara.     

Sempat hening untuk beberapa saat. Corea lalu menatap Egara lekat, dia seolah mengingat sesuatu.     

"Apa?" ujar Egara segera mengetahui peri lembah itu ingin mengatakan sesuatu.     

"Mungkinkah dia ada dua? Ah aku tidak tahu bagaimana itu mungkin, tapi aku melihat Leidy dalam satu wajah ada dua ekspresi yang berbeda. Semula dia sangat kasar, namun dia kembali berubah menjadi ramah namun kembali berubah hanya dalam hitungan detik," kata Corea.     

"Itu mungkin, namun sangat aneh terjadi jika jiwa Leidy telah menyatu dengan roh alam itu. Mereka adalah satu kesatuan, jika jahat maka sudah dapat dipastikan kalau Leidy akan menjadi sosok yang sangat jahat. Namun jika baik, maka akan menjadi orang yang baik."     

Corea diam sejenak, dia mengingat sosok penjaga hutan yang pernah ia dan Leidy temui saat hendak mencari kesembuhan untuk Leidy dulu.     

"Aku menyebutkan tentang Roh Alam, bukan penjaga hutan. Kau mengerti?" ujar Egara.     

"Ehh? Aku tidak mengatakan apapun," Corea mengerutkan dahinya.     

"Tapi kau sudah memikirkannya. Ahh menyebalkan sekali. Ternyata kau sama sekali tidak membantu," keluh Egara. "Berhentilah disini kau. Aku akan mencari tahu lebih banyak mengenai energy yang mengganggu kekuatan Raja Wedden. Jika harus melenyapkan nyawa seseorang, maka aku akan mempersiapkan diri untuk itu." Egara menatap Corea lekat lalu meninggalkan peri wanita itu seorang diri di dekat pilar kerajaan dekat jalan menuju halaman belakang.     

Corea mendengkus kasar. Dia tidak suka dengan sikap kasar Egara itu sejak lama, dia juga baru kali ini tertarik dengan keingintahuan Egara mengenai Leidy. Menarik. Karena selama ini mereka hanya hidup berdampingan dengan energy dan sihir Raja Wedden.     

"Mungkinkah sungguh Leidy? Tapi dia berada di tempat tidurnya … lalu apakah ada orang lain? Ah tunggu dulu, bagaimana jika ternyata justru Egaralah pelakunya. Dia memiliki energy dari leluhur dan menggunakanya untuk mengacau Raja Wedden karena iapun masih memiliki banyak warisan dari kegelapan. Ah benar. Dia hanya mencari pembelaan dengan seolah mencurigai orang lain." Corea bergumam dengan dirinya sendiri. "Dia cukup mengerikan, terlebih dia bahkan mampu membaca pikiranku …," Corea menggidik ngeri.     

Satu hal yang ia pikirkan setelah beberapa kejadian yang ia alami, yaitu kembali berlatih bertarung dan membentuk pasukan yang kuat.     

.     

.     

Egara sedang berada di halaman belakang bersama dengan prajurit yang lain, bergotong royong memperbaiki halaman Kerajaan juga beberapa bangunan yang mengalam kerusakan karena badai berpetir yang meresahkan.     

'Ah bisakah aku mendapatkan istirahat sebentar saja? Aku terjaga sejak dua hari lalu.'     

'Apakah menjadi Raja memang semudah itu? Dapat beristirahat disaat para prajurit sedang bekerja keras?'     

'Ah pinggangku! Seharusnya aku berpura sakit saja agar dapat beristirahat di ruang kesehatan.'     

'Sialan! Kenapa dia menghajarku hanya karena aku menyuruhnya membenarkan jendela tadi malam. Wajaku perih sekali.'     

'Beruntung dia tidak menyabetkan pedangnya, aku bisa saja amti tadi malam.'     

"Hey! Kenapa kalian berisik sekali! Tidak biasanya kalian bekerja sambil menggerutu! Bekerja saja seperti biasa, mengerti? Mengeluh dan menggerutu tidak aka nada gunanya!" teriak Egara yang sedang memotong kayu besar. Dia lelah mendengarkan banyak hal yang mengganggu.     

Semua prajurit di sekitarnya saling pandang. "Kami sejak tadi tidak mengucapkan apapun, Ketua. Kaulah satu-satunya yang bersuara karena terus mendengkus dan bergumam," sahut seorang prajurit yang sedang merapikan potongan kayu.     

"Eh?" Egara memandangi sekitarnya. "Kalian mengeluh mengenai belum itirahat, menghayal menjadi raja, menyesali pertikaian tidak berguna tadi malam. Kalian piker aku tidak mendengarnya?! Diamlah saja kalian jangan berisik! Lanjutkan pekerjaan tanpa mengucap apapun!" Egara masih marah karena semua suara itu benar-benar meresahkannya.     

'Ah kenapa sekarang Ketua menjadi semakin aneh. Dia bahkan yang paling brutal namun menghukum kami yang hanya saling pukul tadi malam. Sekarang dia marah-marah tidak jelas!'     

"Hey! Suara siapa itu! Aku bisa mendengarnya!" teriak Egara lagi. "Sudah kubilang jangan membicarakanku di belakang Karena aku memiliki pendengaran yang bagus!"     

Prajurit lain semakin bingung. Sejak tadi, mereka tidak merasa ada mengucapkan kalimat apapun karena memang tidak terbiasa untuk bekerja sambil mengobrol.     

"Sekali lagi kuperingatkan kepada kalian, jangan bekerja sambil berbincang. Mengerti?" Egara menatap lekat semua prajurit yang ada di dekatnya.     

Paa prajurit hanya mengangguk samar. Tidak ada dari mereka yang berani mengucapkan apapun lagi.     

'Apa dia mulai gila karena tekanan dari Raja?'     

"Aku tidak gila!" ujar Egara nyaring. Hal itu sontak membaut beberapa prajurit menahan tawanya karena tidak ada seorangpun yang mendengar seseorang menyebutkan kalau ketua pasukan mereka adalah gila.     

"Ketua Egara! Tuan Raja ingin kau menemuinya!" Corea memanggil dari kejauhan. Rambut pendek peri lembah itu sudah semakin panjang dan dapat diikat tinggi membuatnya terlihat lebih feminine dari sebelumnya.     

'Ah gadisku! Dia cantik sekali pagi ini …'     

"Hey kau, Bung! Jaga pandanganmu! Dia adalah pendamping raja sekaligus prajurit wanita terkuat, jangan berani kau menatapnya dan berucap genit seperti itu!" Egara melemparkan sepotong kayu pada salah seorang prajurit yang sedang memotong kayu di dekatnya.     

"Tapi, Ketua. Aku tidak mengucapkan apapun …."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.