BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Dua Pemuda yang Tersesat



Dua Pemuda yang Tersesat

0Dayi sedang membersihkan pedang yang ia pakai untuk berlatih dan memotong beberapa dahan muda pepohonan di sekitar perkampungan kecil pasukannya. Kegiatannya sebagai penjaga perbatasan tidak begitu banyak, ia bahkan sering merasa bosan dan ikut berburu pasukannya.     

Mereka juga sering kali berkeliling dan menanam ulang pohon untuk memperlebat hutan agar tidak mudah untuk dimasuki oleh penyusup atau orang luar.     

Setelah seragan dari pasukan kegelapan dahulu, bagian hutan banyak yang hancur. Hewan-hewan menjadi semakin ganas karena mereka kehilangan anggota keluarga juga lahan untuk mencari makanan.     

Masih dengan kegiatannya, tiba-tiba saja Dayi terpikir mengenai 'buntelan' dan keadaan dua pemuda yang terluka parah.     

..     

..     

"Beri mereka makan dan istirahat satu malam, setelahnya paksa mereka pergi atau kalian antar saja." Dayi tidak begitu berminat.     

"Kami akan memberi mereka obat-obatan juga, Ketua. Karena mereka terluka parah dan sala satunya terkena panah beracun," ujar Wite.     

"Panah beracun?" Dayi menatap anggotanya itu lekat.     

"Bukan kami!" sahut Mod seketika. "Kami hanya membawa pedang untuk mencari rotan," imbuhnya.     

Dayi mengerutkan dahinya.     

"Kami akan mendapatkan informasi lengkap darinya segera, Ketua. Kami juga akan memaksa mereka pergi besok sebelum matahari tinggi," tambah Wite.     

..     

..     

Segera saja dia bangkit dari tempat duduknya dan dengan mengejutkan semua pasukan ia bergegas menuju rumah tempat kedua pemuda itu istirahat.     

Mod dan Wite yang baru saja memberikan beberapa ramuan obat dan makan malam, merasa panic dan segera menyusul langkah Ketua mereka yang sangat cepat.     

"Ah sialan! Apakah kita juga akan mendapat hukuman karena ini?" gumam Mod pada Wite yang berjalan cepat disampingnya.     

"Tidak, jika mereka adalah pemuda baik," ujar Wite.     

Dayi memang belum lama menjadi Ketua pasukan perbatasan ini, namun semua anggota merasa segan dan juga takut secara bersamaan. Dayi tidak begitu pemarah, namun tidak ada ekspresi yang dapat mendeskripsikan kalau diapun berbaik hati.     

"Ketua, tunggu!" Mod dan Wite menunda langkah Dayi yang sudah berada di depan pintu rumah.     

Dayi berbalik seketika. Kedua anggotanya itu secara bersamaan menunjuk sebuah rumah lain yang berada di samping rumah tempat Ketua mereka berdiri.     

"Mereka dirumah itu," ujar Mod yang disetujui Wite dengan anggukan pelan.     

"Bukankah ini rumah untuk tamu?" tanya Dayi sedikit bingung.     

"Benar, Tuan. Tapi mereka tawanan, 'kan?" kata Wite.     

"Ah benar." Dayi segera berpindah ke rumah yang dimaksud kedua anggotanya.     

Mod dan Wite mendahului langkah Ketua dan membukakan pintu lalu mempersilahkan Dayi untuk masuk dan menemui dua pemuda yang tersesat.     

"Ketua, silahkan masuk."     

Guide yang mengikat luka di kakinya spontan berdiri dan bersikap siap. Dia terkejut dengan kehadiran pria berambut sebahu itu, namun juga tidak mau bersikap tidak sopan. Dia sempat menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.     

Kesigapan Guide itu cukup membingungkan Dayi dan kedua anggotanya. Terlebih saat pemuda bermata biru itu menatapnya dengan lekat dan sedikit menahan sakit di kakinya.     

Pandangan Dayi memindai tubuh tegap pemuda itu, jelas sekali terlihat banyak bekas luka baik lama maupun baru. Ia kemudian memandangi pemuda lainnya yang masih terbaring tidak sadarkan diri di dekat pemuda bermata biru. Tidak luput pula sebuah buntelan berukuran cukup besar yang terbalut kain berwarna hijau lumut.     

"Siapa Ketua kalian?" tanya Dayi tanpa basa basi.     

"Tidak ada, Tuan."     

"Berasal dari wilayah mana?"     

"Timur, Tuan."     

"Kau bercanda?" Dayi mengerutkan keningnya.     

"Maksudku, desa Tirin." Guide menjawab dengan tetap menatap Dayi. Bahkan saat Ketua pasukan berjubah hitam itu melangkahkan kakinya kesana kemari, pandangan pemuda itu tidak beralih.     

Dayi mendekati buntelan itu dan berniat untuk menyentuhnya,namun Guide menatapnya lekat.     

Dayi sempat menatap balik Guide, namun dia tidak mempedulikan kecemasan pemuda itu dan langsung membuka buntelan.     

Dayi sempat terdiam sejenak, dia lalu mengerutkan dahi dan menatap sinis pemuda bermata Biru.     

Buntelan berisi banyak barang berharga juga perhiasan emas milik kerajaan yang dikenali oleh Dayi karena motif dan bentuknya yang hanya khusus untuk Kerajaan. Sebagian adalah perhiasan milik mendiang Ratu, sebagian lagi barang-barang milik Raja Gael yang diduga Dayi, tidak pernah diperhatikan oleh sang Raja sehingga saat dicuripun Raja tidak menyadarinya.     

Guide segera menunduk, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jikapun akan dijadikan tawanan atau bahkan dihabisi oleh mereka, ia hanya berserah diri karena dia merasa tubuhna sudah tidak berkekuatan.     

Ekspresi dari ketua dan juga si pemuda bermata biru membuat Mod dan Wite penasaran.     

Dayi menarik napas dalam. "Kalian ingin dieksekusi di Kerajaan, atau langsung olehku disini?" ucapnya membuat Guide getir.     

Pemuda bermata biru itu jelas telah melihat lencana Kerajaan Timest pada jubah hitam Dayi dan pasukannya. Dia hendak mengucapkan sesuatu, namun saat Dayi mengeluarkan pedang perangnya nan berkilau dia memilih untuk diam.     

"Ah Ketua. Kurasa kita perlu mendengar penjelasan mereka terlebihdulu," ujar Mod yang merasa kalau pemuda itu adalah orang baik.     

"Sebutkan pilihanmu, Bocah!" sentak Dayi membuat Guide segera mengangkat wajah dan menatap Dayi dengan yakin.     

"Kerajaan," ucapnya.     

Dayi lalu kembali memasukkan pedang pada sarung. Dia juga memerintah Mod dan Wite untuk membawa buntelan itu bersama mereka.     

Sedikit déjà vu, kejadian ini mirip seperti saat mereka menangkap Seredon yang kala itu membawa Mahkota Raja Gael.     

"Kami bukan pencuri," ujar Guide memberanikan diri. "Kami hanya disuruh," sambungnya.     

Dayi menghentikan langkahnya, dia diam menyimak dan membiarkan pemuda bermata merah kembali melanjutkan kalimatnya.     

Melihat Guide yang menahan nyeri kakinya, Dayi mempersilahkan pemuda itu untuk duduk.     

"Katakan semuanya jika kau ingin selamat setidaknya hingga kau bertemu dengan Raja," perintah Ketua pasukan jubah hitam.     

"Katakan mengenai darimana kalian mendapatkan barang-barang itu, siapa yang menyuruh kalian. Dan semuanya." Dayi duduk dengan masih mengamati sosok pria yang belum sadarkan diri.     

"Namaku Guide dan dia temanku bernama Frag. Kami berasal dari desa Tirin. Kurasa tidak semua orang mengetahui tentang tempat itu, tapi …"     

"Kampung halaman Logne. Ahh aku tahu," gumam Dayi. "Lanjutkan!" perintahnya lagi. Dia tidak menyukai kisah yang terlalu tidak berhubungan dengan inti pertanyaan.     

"Tapi aku mengenal kelompok pencuri yang sedang kalian buru," ujar Guide. "Kami baru bertemu dan semua luka di tubuh kami adalah mereka penyebabnya."     

"Kalian tidak berteman karena kalian adalah berasal dari kelompok yang berbeda?" sela Dayi lagi.     

Guide diam sejenak. "Kami bukan pencuri."     

Dayi mengangkat kedua alisnya, bersikap seolah dia akan mempercayai bualan pemuda itu.     

"Kami justru akan pergi ke Kerajaan untuk mengembalikan semuanya."     

Hening.     

"Kami mendapatkan itu semua dari seorang pemuda lain. Dia memiliki akses ke Kerajaan dan mencuri banyak barang dari Kerajaan lalu menyimpannya di desa. Hal itu membuat kami menjadi sasaran kelompok pencuri yang mengetahuinya. Maka dari itu kami akan mengembalikannya."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.