Pria Berlidah Tajam
Pria Berlidah Tajam
Corea sedang membantu Egara untuk memberi ramuan untuk meredakan darah yang terus mengalir pada telapak tangan prajurit itu. Core juga mengikatkan perban dengan sangat hati-hati karena luka yang cukup dalam dan lebar.
Sejak awal memasuki ruang kesehatan, Egara tidak ada mengatakan apapun. Hanya sesekali mengangguk lemah saat Corea bertanya mengenai tangannya yang mungkin saja sakit saat ia perban.
Pikiran Egara tertuju pada kalimat-kalimat yang tidak mengenakan baginya. Terlebih itu semua keluar dari mulut para Raja yang sempat ia duga akan bersikap sama seperti Raja Wedden yang sama sekali tidak mempermasalahkan mengenai kisah lalu ataupaun latar keturunannya.
Dari semua kalimat, Raja Raddone memang yang paling menyakitkan. Terlebih Raja Barat itu juga sempat melemparkan belati katar yang hingga melukai telapak tangannya. Egara sangat marah, napasnya bahkan hingga tidak teratur namun masih menahan diri dengan terus diam.
..
..
"Kudengar kau memiliki prajurit kepercayaan yang juga keturunan Elf. Apa itu benar, Raja Wedden?"
"Ah benar sekali. Dia adalah Egara. Seorang manusia namun memiliki darah Elf juga penyihir. Dia adalah mantan prajurit kerajaan Kegelapan. Dia benar-benar dapat diandalkan."
"Hebat sekali. Apa kau juga bisa melakukan sihir, Prajurit Egara?"
"Tidak, Tuan. Aku hanya sedikit sensitive dengan energi yang ada di sekitarku. Maka dari itu aku dapat menjaga Raja Wedden dari apapun yang membahayakannya."
"Wah luar biasa. Bisakah aku juga mendapatkan prajurit sepertimu? Haha kurasa aku akan merasa selalu aman dan tidak perlu khawatir tentang suatu apapun."
"Apakah hanya kau seorang diri yang merupakan Elf juga mantan prajurit kegelapan? Kukira ada banyak mantan prajurit kegelapan yang menjadi prajurit Raja Wedden."
"Jika kau adalah mantan prajurit kegelapan, bukankah itu artinya kau adalah 'sisa' kegelapan? Lalu kau juga dapat merasakan energy di sekitarmu, itu artinya kau juga memiliki energy dalam dirimu? Apa kau bisa menjelaskan apakah energimu itu bertentangan atau cocok dengan energy Raja Wedden?"
"Aku tidak tahu apakah aku 'sisa' kegelapan ataukah bukan. Namun sejauh ini, aku cocok dengan Raja," jawab Egara.
"Kau yakin kau tidak sedang berbohong dengan kami?" ujar Raja Raddone lagi.
"Bagaimana jika ternyata energy yang Lain, yang dimaksud oleh Raja Wedden itu adalah dirimu dan semua mantan prajurit kegelapan?"
"Aku … maksudku, kami. Kami tidak dapat melakukan apapun dengan 'sisa' kegelapan yang mungkin masih tertinggal dalam diri kami. Karena saat kami masih menjadi prajurit Kegelapanpun, kami hanya bergerak dengan segala peritnah dari Raja Kimanh tanpa keinginan dari diri kami yang sesungguhnya."
"Bagaimana dengan ini …." Raja Raddone tiba-tiba melemparkan belari Katar kearah Egara.
Zrp!
..
..
"Hey! Prajurit Egara!" sentak Corea yang menapati pria dihadapannya sedang mematung, sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Emm?" sahut Egara yang segera tersadar dari lamunannya.
"Kau baik-baik saja? Kau tampak pucat," ujar Corea seraya menyerahkan cawan air minum.
Egara segera menerima air itu dan meminumnya. Dia lalu menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Corea.
"Kau memikirkan perkataan Raja Raddone Barwest?" tanyanya lirih.
Egara mehela napas panjang. Tanpa jawaban, namun Corea tahu kalau dugaannya benar.
"Dia memang pria dengan lidah yang tajam. Begitulah dia, tapi dia orang yang baik," ujar Corea.
Egara menatap Corea.
"Tidak perlu kau pikirkan. Kau harus biasakan dirimu. Kau juga harus tahu kenapa putri Leidy memilih tinggal di Kerajaan ini daripada di kerajaannya sendiri," ujar Corea. "Mereka tidak cocok satu sama lain. Terlebih wanita itu, kau lihat? Putri Leidy sangat tidak menyukai pendamping Raja Raddone yang bahkan tidak diketahui asal usulnya. Ah benar-benar wanita itu … di saat seperti ini, tidak jelas siapa yang beruntung, siapa yang dirugikan. Yang jelas, Raja Raddone begitulah adanya."
Egara mengerutkan dahinya, dia memperhatikan gerak gerik Corea yang sedang membereskan peralatan.
"Kau menyukainya?" ucap Egara.
"Ah aku tidak mengenal wanita itu, bagaimana bisa aku menyukainya."
"Maksudku Raja Raddone. Kau menyukainya?"
Corea terdiam, dia seperti mematung untuk beberapa detik. "Tidak," sahutnya segera.
"Baguslah," ujar Egara seraya mengangguk samar. Corea segera menatapprajurit itu heran.
"Kau peri. Tidak seharusnya menyukai seorang manusia yang tidak dapat berpikir dengan baik," ujar Egara lagi. Dia lalu keluar dengan sebelumnya mengangkat tangannya yang cidera sebagai ucapan 'terimakasih' pada Corea tanpa mengucapkan apapun.
"Ah ada apa dengannya? Apa aku terlihat menyukai Raja Raddone? Tidak, 'kan? Mana mungkin aku menyukai pria berlidah tajam seperti itu," gumam Corea.
Dia belum dapat berpikir jernih lagi. Hanya sedikit merenungkan kalimat Egara mengenai dirinya yang tidak boleh menyukai manusia seperti Raja Raddone.
"Ayah pernah bilang kalau aku harus mencintai peri. Tapi itu sangat tidak adil karena Raseel dan Hatt bahkan boleh mencintai manusia. Ahh kenapa aku tiba-tiba memikirkan hal ini. Acak sekali pikiranku, ya ampun!" Corea memijat pelan kepalanya.
Segera saja dia membereskan semuanya. Disentuhnya belati katar milik Raja Raddone yang masih ada di tempat Egara semula, lalu Corea membungkusnya dan menyimpannya di laci meja ruang kesehatan.
Egara berjalan pelan dengan masih terus memandangi telapak tangan kanannya yang diperban tebal. Sakit, tentu saja. dia bahkan tidak akan bisa berlatih ataupun berkuda untuk beberapa waktu kedepan.
Dia pergi untuk menemui beberapa rekannya yang juga merupakan mantan prajurit Kegelapan. Masih banyak, namun hanya dialah yang memiliki riwayat keturunan Elf. Hanya dia pula yang berkepribadian kasar dan brutal saat bertarung. Prajurit lain bersikap biasa, sama sekali tidak terlihat kalau mereka juga berlatih dengan 'kejahatan' yang sama dengan Egara.
Egara mencoba untuk mengenali energy dari rekan-rekannya. Tidak ada apapun yang ia dapatkan. Sangat berbeda dengan sosok Raja Wedden yang sangat kuat. Lalu energi Corea dan Cane yang merupakan peri.
"Energi yang Lain? Menghalangi sihir Raja Wedden? Mungkinkah ini kekuatan sihir yang lain?" gumamnya sambil berjalan perlahan di sekitar taman tempat kejadian prajurit Nadio.
"Jika malam itu adalah hewan? Apakah ini berarti hewan itu adalah makhluk sihir? Jika iya, maka pemiliknya adalah sosok yang hebat."
Egara lalu menghentikan langkahnya di depa pagar tinggi yang membatasi bangunan Kerajaan dengan hutan di baliknya.
Dia menyentuh pelan pagar itu, namun ia kembali menarik tangannya karena terkjut dengan sapaan seseorang dari arah belakang.
"Hey, Bung!" Raja Raddone menyapa dari jarak yang cukup jauh.
"Ah syukurlah sudah mendapat perawatan yang baik," ujar Raja Barat itu lagi setelah ia melihat telapak tangan Egara diperban.
Egara enggan merespon. Dia hanya diam, dengan pandangan yang ia edarkan ke sekitar juga memekakan diri untuk merasakan energi di sekitar.
"Apa kau marah padaku?" ujar Raja Raddone. "Aku hanya ingin mengetesmu, aku sama sekali bukan orang yang melukai orang lain dengan sembarangan. Kau tahu aku Raja, 'kan? Aku tidak mungkin ceroboh."
Egara masih diam.
***