BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Penjaga Kerajaan Selatan



Penjaga Kerajaan Selatan

0"Apa ada yang salah, Bung?"     

Seseorang menyapa Egara dari belakang. Prajurit itu segera berbalik dan mendapati pria berambut marun yang sedang membawa sebotol Bruen di tangannya.     

Egara memandangi pria Utara itu dengan seksama dari ujung kaki hingga ujung kepala.     

"Namaku Ley. Kukira kita belum pernah berkenalan sebelumnya," ujar Ley dengan ramah.     

Egara mengangguk lalu tersenyum samar.     

"Jadi … apa yang kau lakukan di depan kamar Raja?" tanya Ley ingin tahu.     

"Hanya berkeliling. Aku tidak dapat tidur," jawabnya. "Aku juga sedang menunggu para penjaga yang bertugas. Kurasa mereka melupakan tanggungjawab dan ini sangat fatal."     

Ley memandangi sekitar, memang benar, tidak ada penjaga yang berada di depan ruangan khusus Raja itu. Terasa sangat sepi.     

Beberapa saat kemudian datanglah dua prajurit dengan tergesa-gesa. Mereka segera membenarkan posisi berdiri mereka dan meminta maaf pada Egara karena terlambat.     

"Maafkan kami, Ketua." Salah seorang dari prajurit itu membungkukkan tubuh dengan diikuti oleh temannya.     

"Ada apa ini? Darimana kalian? Berani-beraninya meninggalkan ruangan Raja tanpa penjagaan sama sekali!" Egara meninggikan suaranya. Dia kesal sekali dengan orang yang tidak dapat bertanggungjawab terhadap tugasnya.     

"Maaf, Ketua. Kami sama-sama ingin pergi ke toilet. Tidak dapat ditahan lagi," ujar seorang prajurit yang memiliki alis bersambung, Dinke, namanya. Sedangkan prajurit yang satunya bernama Puth.     

Egara menatap kedua prajurit itu lekat, menunggu penjelasan lebih lanjut tanpa ia harus meminta.     

"Tadi, kami banyak memakan buah berry hijau. Kami juga banyak minum sehingga perut kami terasa sangat tidak nyaman." Puth bersuara.     

"Kami tidak akan mengulanginya lagi, Ketua." Tambah Dinke yang masih menundukkan kepalanya.     

"Jika terulang lagi, maka aku tidak akan segan memberi kalian hukuman yang berat. Atau mungkin aku akan mengajak kalian duel," ucap Egara dengan tatapan tajam tanpa berkedip.     

Kedua prajurit itu segera mengangguk. "Siap, Ketua!"     

Egara berdecak, dia jelas kesal sekali. Namun ini bukanlah hal yang disengaja, sehingga dia masih dapat memberikan maaf dan membiarkan keduanya kembali menjalankan tugas.     

Setelah keadaan dikira cukup aman, kedua prajurit telah kembali pada posisi dan menjaga dengan senjata di tangan mereka.     

Egara dan Ley mencari tempat lain untuk mereka dapat duduk dan berbicara banyak hal.     

Bukan pertemuan pertama, Ley telah cukup familiar dengan prajurit kepercayaan Raja Wedden itu. Hanya saja mereka belum pernah memiliki kesempatan untuk berbincang secara personal. Keduanya pernh berlatih pedang bersama, bertarung untuk melatih pasukan baru, namun rupanya Egara tidak begitu memperhatikan dan tidak mengenali sosok pria dari desa Wakla itu.     

Ley menawarkan Bruen pada Egara, namun ditolak. Prajurit berambut coklat panjang sebahu itu sesekali membenarkan jubah sembari masih memandangi lingkungan kerajaan yang mulai sepi.     

Suara dedunan yang saling bergesekan karena angina yang berhembus terdengar jelas, burung malampun dari kejauhan bercuit nyaring. Egara memperkirakan matahari akan muncul dalam beberapa jam saja.     

Dalam diamnya, Ley memperhatikan sosok Egara. Dia tiba-tiba saja membayangkan sosok Pria berambut coklat panjang sebahu itu menjadi pasukan kegelapan yang bertugas membantai pasukan Wedden, namun kini harus menjadi bagian dari Raa Northan bahkan menjadi ketua pasukan yang sangat dipercaya. Ley meneguk Bruen dengan masih mencermati sosok Egara.     

"Kau seorang peri?" tanya Ley tiba-tiba.     

"Ayahku, dia adalah anak dari pasangan peri petarung dan manusia. Ibuku, dia seorang penyihir, tapi sesungguhnya ibuku adalah manusia."     

Ley menyimak. Rupanya pria itu berkenan untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya.     

"Ada apa?" tanya Egara balik.     

"Tidak. Aku hanya sedang berpikir kalau prajurit terbaik di negeri ini semuanya merupaka keturunan peri. Baik peri hutan, lembah ataupun peri petarung," ujar Ley yang setelahnya kembali meneguk Bruen.     

Egara diam sejenak. "Kurasa tidak. Bukankah hanya wilayah Selatan? Itupun karena Raja merupakan keturunan Elf. Kukira, jika Raja Wedden adalah manusia seutuhnya, maka kami para peri belum mendapat tempat seperti ini," ucapnya.     

"Tapi bukankah kau telah menjadi seorang prajurit sejak kepemimpinan Raja Kimanh?" Ley penasaran.     

"Emm … Raja Kimanh tidak pemilih. Dia megambil semua prajurit yang dia anggap dapat diandalkan. Aku beruntung, karena kau tahu Raja Kimanh lebih memilih pasukan yang berasal dari makhluk dengan kekuatan alami. Tapi dia memintaku setelah orangtuaku menjadi tawanan." Egara menjelaskan.     

Namun detik berikutnya Egara berpikir, dia menyesali semua kalimat yang telah ia ucapkan pada pria asing. Dia lalu menatap Ley beberapa saat dan kembali mengalihkan pandangannya.     

"Ak … ark … egh!"     

Terdengar seperti seseorang yang sangat esakitan.     

Suara yang membuat siapapun yang mendenagr merasa aneh dan kebingungan, termasuk Egara dan Ley yang segera memekakan pendengaran mereka karena suara ini.     

Egara mengikat jubah dan bersiap dengan belatinya. Sementara Ley dia berhenti minum dan mengedarkan pandangannya.     

"Prajurit Nadio! Apa yang terjadi …," ucap seseorang yang lain. Membuar Egara dan Ley segera beranc=jak dan mencar sumber suara tersebut.     

Ternyata tidak jauh dari tempat Egara dan Ley duduk berbincang, ada dua prajurit yang berjaga di sekitaran halaman sedang terduduk. Salah satu diantaranya nampakberbaring di tanah dengan bersikap aneh. Kesakitan dan bergeliat, ia juga terus meringik dan mengerang kesakitan.     

Peluh membasahi prajurit itu. Seorang temannya ikut panic dan saat ia mengetahi kedatangan Egara, ia segera meminta bantuan.     

"Ketua, tolong dia. Kumohon …," pinta prajurit yang panic karena keadaan rekannya.     

"Apa yang terjadi? Kenapa dia seperti ini?" Ley menghampiri dan mengecek tubuh prajurit yang terus meringik itu.     

Panas tinggi, namun peluh membasahi seluruh tubuhnya. Prajurit itu terus mengerang namun ada saatnya dia seerti sedang kedinginan.     

"Kami berjaga seperti biasa, Ketua. Namun dia tiba-tiba terjatuh dan menjadi seperti ini. Aku tidak tahu, Ketua. Tapi dia terlihat sangat kesakitan," ujarnya lagi.     

Prajurit bernama Nadio yang sedang sekarat itu menatap lekat Egara. Hal itu membuat Egara bingung dan segera memanggil pelayan melalui prajurit lainnya yang sedang berkeliling.     

Bagian kesehatan telah tidur, hanya tersisa beberapa perawat yang baru selesai menyelesaikan tugas yang mnumpuk.     

Egara dan Ley kembali meminta penjelsasan dari praurit Salen mengenai rekannya yang mendapat serangan penyakit aneh secara tiba-tiba.     

Egara masih terus memandangi seluruh Kerajaan. Hanya dirinya yang disibukkan dengan pikirannya sendri. Bayangan mengenai badai dan perang masih dapat ia rasakan dengan nyata membuatnya untuk terus merasa was was.     

"Kau mencari sesuatu, Bung. Kurasa sejak tadi kau selalu menoleh kanan dan kiti." Ley menyadari gerakan Egara.     

"Aku ingin memastikan kalau Kerajaan kita ini memang aman. Suasana yang sangat sepi, membuatku semakin waspada karena terlalu memungkinkan jika ada kejahatan yang mampir," jawab Egara.     

"Kau selalu berjaga saat malam?"     

"Tidak. Hanya jika seorang teman mengajak minum ataupun sedang berkeliling rutin," jawab Egara.     

Ley menganguk samar. Da harus menerima kalau Egara memang benar dapat diandalkan. Dia juga seolah dapat mengerti keadaan Raja walau dia tidak sedang bersama dengan sang Raja.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.