Diya dan Kebaikan Pangeran Soutra
Diya dan Kebaikan Pangeran Soutra
Segera saja dia mengubah posisinya menjadi duduk, dia meraba bagian perutnya yang sudah kembali dipasang perban baru. Dia mengerutkan dahi mencoba mengingat hal yang terjadi padanya sebelum dia terlelap.
Diya mengedarkan pandangannya, mencari dimana kiranya pelayan wanita yang membantunya itu tidur. Namun sungguh sebuah keajaiban baginya, ternyata wanita itu tidur di kursi dengan posisi duduk menghadap ke perapian, berada di sebelah kanan agak kebelakang.
Hal itu membuat Diya semakin merasa berterimakasih. Dia melepas selimut yang menutupi tubuhnya lalu memberikannya pada pelayan wanita yang meringkuk.
Namun rupanya dia bergerak terlalu kasar hingga mengejutkan wanita itu dan membangunkannya.
"Ah, Nona. Apa kau baik-baik saja?" Tsania terbangun san terkejut karena Diya berdiri di depannya dengan membawa selimut.
"Kau membutuhkan selimut tambahan?" ujar Tsania khawatur.
Diya segera menyeringai, dia menggeleng. "Aku justru kepanasan, jadi aku berencana untuk memberikan ini untukmu." Diya menyerahkan selimut itu pada Tsania.
"Ah ya ampun. Maafkan aku. Kukira kau tidak akan tahan dengan cuaca dingin malam." Tsania segera menerima selimut itu.
Diya tersenyum dan kembali duduk di kursi panjang tempat ia berbaring sebelumnya.
"Nona ingin makan sesuatu? Kau terlelap sebelum menyuap apapun." Tsania bangun lalu segera menyalakan lampu dan menuju dapur.
"Apapun yang kalian miliki," sahut Diya yang merasakan lapar.
"Seporsi sup jamur akan segera kuhangatkan untukmu," ujar Tsania ramah.
Benar-brnar pelayanan terbaik. Inilah alasan penginapan ini masih sering dikunjungi pelanggan walaupun bangunannya sudah tua.
Sajian makanan dengan cita rasa yang sangat memanjakan lidah, kalu kualitas Bruen yang selalu disebut-sebut sebagai yang terbaik, membuat penginapan juga bar milik keluarga Arragegs ini terkenal.
"Kalian memproduksi Bruen sendiri?" tanya Diya penasaran.
"Tidak. Emm maksudku, dahulu iya. Ayah dan ibu Raja Wedden yang memproduksinya, namun sekarang ada orang yang khusus untuk memproduksinya di tempat yang berbeda."
"Ah kenapa tidak kalian yang meneruskan pembuatannya?"
"Menurut kisah dari Keff, Tuan Morde dan Bu Jonnah belum memberikan resep rahasia pada siapapun hingga mereka tewas saat bertarung dengan Raja Kegelapan. Namun Raja Wedden bertemu dengan seorang produsen yang menurutnya Bruen olahan orang itu sangat persis dengan olahan orangtuanya. Karena itu adalah usaha milik orang lain, alih alih meminta resep, Raja Wedden mengajaknya kerjasama untuk penyajian di penginapan." Tsania menceritakan semuanya.
Dia lalu menghampiri Diya dan memberikan seporsi sup jamur lengkap dengan minumannya.
"Dia orang yang baik rupanya. Dia memang ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin, 'kan? Apa dia pernah marah atau menghukum pra karyawannya?" tanya Diya yang masih membajas Wedden.
"Aku tidak pernah bekerja dengannya. Namun Keff mengatakan kalau Wedden adalah penyabar, sama sekalis tidak pernah marah, dan juga sedikit ceroboh dan cengengesan, hehe."
Diya tertawa kecil. "Sayangnya aku juga tidak mengenalnya sebelumnya. Mungkin kami bisa berteman karena kami memiliki sikap yang sama. Ceroboh dan kadang cengengesan," ujarnya sambil mulai memakan hidangannya.
Sempat hening sejenak. Lalu Tsania bertanya mengenai luka di perut prajurit wanita itu.
Diya menceritakan kronologi lengkapnya sambil makan. Tsania menyimak dengab mengerutkan dahi, merasakan nyeri juga kesal pada pelaku yang sangat pandai kabur.
"Luka di leher Pangeran sudah tidak terlalu parah, kurasa itu akan segera membaik," ujar Tsania.
"Eh … kau melihatnya? Bagaimana bisa?" Diya cukup terkejut.
"Emm tadi malam Pangeran mengganti perbannya sendiri setelah mengganti milikmu. Aku membantunya sedikit, tapi dia selalu menolak."
Uhuk uhuk uhuk!
Diya tersedak hingga kesulitan untuk bernapas.
"Pangeran menggantikan perbanku?" ucapnya histeris.
Tsania mengangguk canggung. "Semula aku yang akan melakukannya, tapi ternyata dia pandai mengobati jadi aku hanya membantunya sedikit. Kuyakin lukamu juga akan segera sembuh, kau hanya tidak boleh terlalu lelah."
Diya menarik napas panjang. Dia seketika merasa tidak enak sekaligus malu pada Pangeran. Bisa-bisanya putra mahkota menggantikan perban luka seorang prajurit. Sangay tidak sopan.
Diya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, namun dia juga tidak dapat melakukan apapun karwna hal itu telah terjadi.
"Aku … merasa malu. Apa yang harus kulakukan jika bertemu dengan Pangeran? Ini sangat tidak sopan. Argh aku pasti akan mendapat hukuman setelah ini," ucap Diya cemas. Dia menatap Tsania yang jiga cemas.
"Tapi, Nona. Kenapa kau akan dihukum. Ini adalah sikap baik dari Pangeran ysng tidak kau minta. Kuyakin dia tulus melakukannya, jadi … kau tidak perlu takut dihukum," ujar Tsania.
"Benar. Tapi aku malu. Dia apsti sangat marah karena aku merepotkannya selama perjalanan, jadi dia membantuku untuk memastikan kalau besok tidak lagi merepotkan," ucap Diya lirih.
"Haha kau terlalu jauh berpikir, Nona. Sekarang makanlah dulu, mengenai besok kita cemaskan nanti lagi. Sekarang kesehatanmu yang paling utama," kata Tsania menenangkan.
Diya mehela napas panjang. Dia seperti kehilangan napsu makan setelah mendengar kalimat Tsania.
Prajurit wanita itu segera memijat pelan kepalanya, dia menghabiskan makanan dan membiarkan Tsania kembali membantunya untuk memberikan ramuan pendingin luka.
Diya ingin melakukannya sendiri namun Tsania bersikaeras untuk memberikan bantuan.
"Jadi kau mendapat tugas mendampingi Pangeran beberapa hari ini?" tanya Tsania.
"Benar. Perintah dsri Raja, mana bisa aku menolaknya walau aku tahu Pangeran tidak menginginkan ini."
"Kau beruntung. Banyak wanita yang ingin dekat dengan Pangeran, tapi kau justru mendapat ijin dari sang Raja."
"Ah ini tugas negara."
"Benar juga. Tapi apa kau pernah melihat Pangeran tersenyum?" tanya Tsania penasaran.
Diya diam, dia mencoba untuk mengingat. Dia pernah melihat Pangeran tersenyum samar saat bersama dengab Peri lembah yang kakinya sakit. Hanya sekali, setelahnya Pangeran hanya berperangai dingin tanpa ekspresi.
"Kurasa dia tidak pernah bereskpresi ," jawab Diya.
"Benarkah? Ah ya ampun. Dia tampan juga cantik, aku sangat penasaran bagaimana jika dia tersenyum. Kueasa seluruh dunia akan runtuh karena kkeindahan parasnya itu," ujar Tsania membayangkan.
Diya terdiam, dia mengingat senyum samar Pangeran Ren. Benar indah, namun itu bukan yang diharapkan oleh banyak orang.
"Kau pernah mendengar tentang ini? Penyebab dia tidak tersenyum hingga sekarang?"
"Putus cinta?" celetuk Diya asal bicara.
"Lebih menyakitkan dari itu. Sejak Ratu tewas karena serangan musuh. Itulah yang kudengar dari kabar burung yang beredar. Ah kasihan sekali Pangeran. Tapi kita harus bersyukur karena walaupun dia tidak pernah tersnyum setidaknya dia berhati baik. Benar, 'kan?" kata Tsania lagi. Dia lalu menyudahi untuk memberikan ramuan pada luka Diya.
Diya mengangguk pelan.a dia sedikit merenungkan kisah singkat Tsania mengenai Pangeran. Kisah yang menyedihkan.
"Setiap orang memiliki traumanya masing-masing. Bahkan untuk tersenyum saja mereka enggan. Namun adapula yang menutupinya dengan sikap ceria."
***