Barwest Bersaudara
Barwest Bersaudara
Dentang jam telah berbunyi beberapa saat lalu, menunjukkan bahwa har telah berlalu dan langit akan menampakkan semburat oranye di ufuk timur.
Sudah sangat lama pria itu berdiri disana, sama sekali tidak mengubah posisinya. Hanya berkedip dan mehelakan napas panjang sesekali.
Pelayan telah beberapa kali mengganti makanan di meja, mereka menyuruh sang Raja untuk makan dan mengembalikan energinya namun mereka sama sekali tidak direspon oleh sang Raja.
Penjaga juga beberapa kali masuk untuk mengecek keadaannya. Tidak ada satupun dar mereka yang berani menyapa ataupun mengajak untuk bicara, mereka paham betul suasana hati pria itu sedang tidak baik-baik saja dan tidak ingin mendapatkan gangguan dari segi apapun.
Langkah kaki nan terdengar menggema anggun menuju ruangan besar itu.
Klek!
Suara pintu terdengar sangat nyaring di tengah malam yang semakin sepi.
Tuk tuk tuk tuk.
Langkah kaki itu mendekat, namun berhenti di jarak yang masih cukup jauh dari posisi sang Raja.
"Kau tidak memakan makananmu? Semuanya akan segera dingin dalam beberapa menit."
Putri Leidy memandangi baki berisi makanan diatas meja. Ada berbagai macam makanan disana, mulai dari makanan manis hingga asin juga berbagai jenis buah hasil perkebunan mereka.
Leidy mengambil sebutir anggun hijau dan memakannya. Pandangannya kemudian beralih pada benda paling berharga yang selalu menjadi hal sacral di kerajaan.
Mahkota kerajaan Barwest berada di wadahnya diatas meja di dekat tempat tidur Raja yang baru dinobatkan. Kilaunya seolah terpancar dari kedua manik mata putri Leidy, sungguh indah.
Baru hendak melangkah mendekat, Leidy dikejutkan dengan teguran sang kakak yang nyaring.
"Berhenti disana! Jangan sentuh apapun!"
Leidy menunda langkahnya, dia segera menarik napas panjang dan mengangkat kedua alis. Kembali diambilnya sebutir anggur untuk dimakan.
"Apa yang ayah katakan sebelum beliau pergi untuk selamanya?" tanya Raddone segera berbalik menatap sang adik.
"Ayah ingin kau menjadi Raja Barat karena kau memiliki potensi," jawab Leidy.
Kedua Barwest bersaudara itu saling tatap. Kali ini suasana diantara keduanya terasa sedikit berbeda, tidak hangat dan penuh kasih seperti biasa namun terasa dingin dan cukup kaku.
"Kenapa kau bermurung? Apakah kau sedih karena tidak mendengar kalimat itu secara langsung?" ucap Putri Leidy.
Raddone mengalihkan pandangannya. Rintik hujan nampak membasahi taman dan membuat suasana malam itu semakin dingin.
Raja muda itu jelas tidak dapat berpikir jernih untuk sekarang.
Leidy menghampiri sang kakak.
"Aku membencimu," ucapnya. "Kau sungguh tidak memikirkan tentang keadaan ayah dan meninggalkannya dalam keadaan sakit hanya untuk urusan pribadimu yang tidak begitu penting itu. Berkuda dan berburu hingga berhari-hari … hah! Kau benar-benar sangat berkompeten."
Putri Leidy berdiri dengan menyilangkan tangan di samping Raja Raddone.
Raddone menarik napas panjang. "Kau menginkan posisi ini?" tanyanya pada sang adik.
Leidy bergeming, detik berikutnya dia menatap sang kakak. "Tidak," jawabnya segera.
"Aku akan membantumu dan mengabdi padamu. Lalu focus dengan tujuanku semula. Menjadi ratu Selatan," ujarnya.
Raddone mengedipkan kedua matanya beberapa kali. "Kau sungguh-sungguh dengan hal itu?"
"Kenapa tidak? Bukankah rencana kita memang seperti itu? Kau menjadi Raja Barat lalu aku menjadi Ratu, istri dari Raja Selatan. Sekarang, kau sudah menyandang gelar itu. Sekarang giliranku."
Raddone bergeming. Dia merasa ada yang salah dengan rencana dan tujuan dari pembicaraan ini.
"Aku tidak begitu menginginkan gelar Raja terlebih saat ayah masih sanggup memimpin. Namun siapa sangka kalau sakitnya semakin hari semakin parah dan membuatnya meninggal lebih cepat. Bukan ini yang kuinginkan."
Putri Leidy mengerutkan dahinya. "Kau berulah, tentu saja itu membuat sakit ayah semakin parah. Kukira kau sengaja melaukan ini agar tujuanmu segera tercapai," ucapnya.
Kini giliran Raddone yang mengerutkan dahinya, dia tidak suka dengan kalimat sang adik.
"Ahh sulit sekali untuk meyakinkan diriku kalau kematian ayah bukan karena kesalahanmu," gumam Leidy. "Aku sangat membenci pikiran ini. Aku membencimu yang datang setelah ayah bahkan mencarimu dengan keadaan sekarat. Aku membencimu saat kau tersenyum setelah penobatan."
Leidy memandangi halaman yang mulai basah. Jendela dengan kaca tebal itu juga dibasahi oleh air hujan yang sudah mulai reda.
"Hey, kenapa kalimatmu begitu? Bukankah semua ini kesalahanmu? Kau mengatakan semuanya pada ayah sehingga membuat beliau salah paham dan murka padaku!" sentak Raddone yang tidak terima disalahkan.
"Kau yang berlebihan! Kenapa kau kabur, tidak bicara dengan ayah, bahkan meninggalkan kerajaan? Jika memang salah paham, kau bisa menjelaskan semuanya pada ayah. Tapi apa? Kau hanya memarahi dan mencaciku namun tidak berusaha untuk meyakinkan ayah." Leidy ikut meninggikan suaranya.
Raddone menghembuskan napas dengan kasar.
Seorang pelayan yang semula henda amsuk untuk mengganti makanan sang Raja, mengurungkan niatnya setelah menyaksikan kerbutan dari dua bersaudara itu.
"Aku yang salah?" ucap Raddone mulai melirhkan suaranya.
"Iya!" sahut Leidy masih meninggikan suaranya.
Raddone kembali mehela napas panjang. "Sialan!" umpatnya seraya mengalihkan pandangannya.
"Ah kepalaku …." Leidy segera mencari tempat duduk. Dia merasakan tubuhnya yang mendadak lemah.
Spontan saja Raddone menatap sang adik. Walau bagaimanapun dia tidak ingin tuan Putri itu mengalami sakit lagi.
"Berhentilah menyalahkanku," ujar Leidy. "Aku mengakui kesalahanku. Aku tidak berpikir panjang mengenai perselisihanmu dengan ayah." Leidy menyandarkan kepalanya pada kursi.
"Maafkan aku," ucap Leidy.
Melihat keadaan tuan Putri yang mendadak lemah membuat Raddone panic. Segera saja dia memanggil pelayan dan prajurit dan meminta mereka untuk menyiapkan air hangat untuk mengompres serta perlengkapan pengobatan lainnya.
"Ah aku tidak apa," ujar Leidy. Dia menatap Raddone lekat, pria itu menarik napas panjang.
"Pelayan! Ah ya ampun apa aku harus berteriak seperti ini agar kalian segera kemari!"
Dua orang pelayan bergegas menghampiri ruan putri dan membantunya untuk menuju tempat tidur Raddone dan segera memberikan perawatan.
Raddone memijat pelan kepalanya. Dia sungguh semakin tidak baik. Langit bahkan sudah mulai cerah dengan semburat samar cahaya putih.
Jana menghampiri tuan Raja. "Butuh sesuatu untuk menenangkan pikiran?" ucapnya.
Raddone menatap pria itu sejenak, lalu dia kembali menengok kearah prajurit yang lain.
"Dua botol Bruen," ujar Raddone segera pada Jana. Ketua pasukan berkuda itu mengangguk segera, dia memberikan isyarat pada anggotanya untuk segera membawakan pesanan sang Raja.
"Dimana Dipa? Kenapa kau sejak tadi ada di kerajaan namun aku sama sekali tidak melihatnya?" tanya Raddone. Ia kini duduk di kursi yang masih menghadap jendela. Sementara tuan putri berbaring di tempat tidurnya dengan dirawat oleh pelayan juga tabib.
"Ah kukira anda memberikan tugas padanya untuk berpatroli ke seluruh wilayah perbatasan," ujar Jana. "Aku belum ada bertemu dengannya sejak beberapa hari terakhir."
***