Kematian Raja Barat
Kematian Raja Barat
Tubuh Raja Barat itu sudah sangat pucat, beliau sangat lemah dan nafasnya sudah jarang-jarang. Putri mendampingi dengan menggenggam tangan sang ayah.
Dia beberapa kali marah terhadap pelayan yang lambat untuk memberikan pertolongan juga saat tabib meminta suatu ramuan.
"Ayah bertahanlah. Kumohon." Leidy telah berlinangan air mata dengan sesegukan.
Pria yang sudah sangat lemah itu hanya mengangguk lemah.
Di usia yang belum renta, bahkan raja Barat jauh lebih muda dari Raja Utara. Raja Audore memang telah memiliki riwayat penyakit dalam sejak belia. Beliau memiliki lambung juga paru-paru yang tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga membuat beliau harus menjaga makanan dan tidak boleh terlalu lelah.
Leidy terus menangis, matanya hingga sembab dan diapun tidak memiliki rasa lapar karena suasana hatinya yang sedang tidak keruan.
"Apakah seseorang telah pergi menemui Pangeran Raddone?" tanya tabib yang membawakan air dari mata air gunung yang sebelumnya telah dicarikan oleh prajurit.
"Aku sudah mengutus pasukan," sahut putri Leidy dalam segukan tangisnya.
"Ah ya ampun anak ini. Bisa-bisanya dia pergi saat keadaan ayahnya sedang parah," gumam sang tabib seraya menggelengkan kepala.
Leidy mengusap air matanya, ia meminta ijin untuk keluar sebentar. Dia menghampiri Jana yang berdiri di dekat pintu.
"Bisakah kau menjemput Raddone? Aku khawatir dia akan menyesali keterlambatannya," ucap Leidy lirih.
"Pasukan sudah berangkat sejak tadi, Putri.,"
"Aku ingin kau yang berangkat!" Leidy menekan suaranya. Dia tidak menatap Jana namun pria itu mengerti kalau tuan Putri sedang tidak baik-baik saja.
"Baik, Putri." Jana mengangguk pelan, dia segera pergi untuk menyusul kepergian Pangeran Raddone ke perbatasan Timur.
Leidy menghela napas panjang. Pikirannya sedang tidak stabil, dia memendam emosinya namun harus tetap menjaga sikapnya.
Dia ingin menenangkan diri sejenak, dia menitip pesan pada pelayan agar menjaga sang ayah dengan baik. Dia juga meminta mereka untuk memberikan kabar segera apabila terjadi suatu hal pada Raja Barwest.
Para pelayan berkumpul dan selalu sedia untuk memberikan perawatan pada tuan Raja.
Tabib yang bertanggungjawab untuk kesehatan tuan Raja terus mendampingi dan mengucapkan beberapa kalimat mantra untuk pengobatan.
Napas tuan Raja sudah semakin berat, dadanya naik turun tidak stabil. Tabib segera memberikan kompres air hangat.
Wajah tampan Raja Barwest semakin pucat, sempat memanggil nama putranya lirih namun Tabib berpura untuk tidak mendengar.
"Dimana pangeran?" suara serak sang Raja smembuat tabib menoleh.
"Dia sedang dalam perjalanan dari kerajaan Selatan, Tuan. Dia baru menyelesaikan tugas mulia," ujar tabib. "Anda ingin mengatakan sesuatu saat ia datang?" tanyanya.
Raja Audore mengangguk samar, "Dimana tuan Putri?" tanyanya lagi lirih.
"Dia sedang beristirahat sebentar. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, Tuan." Tabib menambahkan.
Tuan Raja kembali mengangguk samar. Suaranya serak namun tidak jelas kalimat apa yang diucapkan.
Tabib memeriksa denyutan nadi sang Raja yang semakin lemah.
"Pelayan! Panggil tuan Putri sekarang!" perintah tabib yang kembali mengompres tubuh sang Raja.
"Kau ingin mengatakan sesuatu, Tuan?" tanya tabib yang mendekatkan telinganya pada sang Raja.
"Raddone a da lah raja se lanjut nya …" ucap Raja dengan diiringi helaan napas panjang.
Tabib mengangguk mengerti.
"Aku akan menobatkan dia sebelum mati," imbuh tuan Raja. Beliau menatap tabib dengan tatapan sayu.
Tabib menepuk pelan lengan sang Raja. Dia menatap sang Raja lekat dengan mengangguk pelan.
"Ayah!" Leidy bergegas menghampiri sang ayah.
Kembali menangis, Leidy memohon pada tabib untuk dapat menyembuhkan ayahnya segera.
"Kumohon, bertahanlah …," ucap Leidy seraya terisak.
Puk puk puk.
Tuan Raja menepuk kepala putrinya dengan lemah. "Kau adalah calon Ratu terbaik. Bantulah Raddone untuk menjadi Raja Barat."
Leidy sempst berhenti menangis beberapa saat, namun ia kembali terisak dan menggenggam lengan sang ayah.
Dengan mengulas senyum, Raja Audore menghembuskan napas terakhirnya dalam dekapan putri Leidy dan perawatan tabib kerajaan.
Tangis tuan Putri pecaj dan semakin menjadi-jadi saat tubuh pria tua itu terbujur kaku.
Para pelayan tidak sedikit pula yang meneteskan air mata. Seorang pelayan mmegangi tubuh Putri Leidy dan menepuknya pelan. Ia juga memeluk tuan Putri dan membiarkan wanita cantik itu untuk menangis dalam pelukannya.
Para penjaga telah bersiap untuk menghampiri tubuh sang Raja, hanya tinggal menunggu perintah maka mereka akan menyiapkan tempat peristirahatan terakhir untuk pemimpin mereka.
.
.
.
Sementara itu. Pangeran Raddone bersama dengan Raja Wedden sedang memacu kuda kencang menuju kerajaan Barat.
Mereka segera menyudahi pemburuan di Timur setelah raja Wedden mendapat panggilan jiwa untuk segera pulang ke Barat.
Raddone dapat merasakan jantungnya berdebar kencang dan seluruh tubuhnya mendadak ngilu.
Wedden memiliki kemampuan untuk melihat hal dari kejauhan, namun dia tidak ingin memberitahu Pangeran Raddone mengenai hal yang terjadi di kerajaan Barat.
Kedua pria itu bertemu dengan Jana dan pasukannya yang mendapat perintah untuj menyusul, namun belum sempat para prajurit kerajaan memberitahu Panheran mengenai keadaan sang Raja, Raddone terus berkuda dan melewati para prajurit tanpa menoleh sedikitpun.
Jana sempat bingung, namun saat ia menatap Raja Wedden pria keriting itu memberinya sebuah anggukan dan memerintahkan untuk kembali dan mengiringi panheran Raddone dari kejauhan.
Pangrran Raddone sama sekali tidak mempedulikan keadaan kuda yang melaju tanpa istirahat. Dia menarik napas panjanh dan berharap kalau tidak ada hal buruk yang terjadi saat ia pergi.
Cukup lama berkuda, Pangeran Raddone dan Raja Wedden akhirnya telah melihat pagar megah bangunan kerajaan yang nampak berkilau.
Wedden memberikan tambahan kekuatan pada kuda yang mereka tunggangi hingga membuat keduanya lebih cepat tiba di kerajaan.
Bruk!
Raddone menjatuhkan diri dan segera berlari memasuki kerajaan yang sangat sepi.
Setiap langkahnya menggema di seluruh ruangan. Kamar Raja adalah tujuan pertamanya. Dia berhenti melangkah dan mengatur napasnya yang tersengal.
Dia berhenti di depan pintu. Semua pelayan dan prajurit segera menatap sosok Pangeran dan memberikan jalan untuk Raddone memasuki ruangan.
Pandangan Raddone tertuju pada sosok pria tua yang terbaring kaku diatas tempat tidur. Langkahnya berat, Raddone memasuki ruangan itu dengan tubuh genetar dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Hey, Bodoh! Kemana saja kau beberapa hari ini?! Kau sungguh tidak punya pikiran waras? Karena kau! Ini semua terjadi!" sentak Leidy yang berdiri menatap kakaknya yang melangkah dengan tubuh lemah.
Pelayan menenangkan putri Leidy dengan mengusap pelan bahunya.
Raddone berhenti di dekat temoat ridur sang Raja. Napasnya masih tersengal, segera sajabia terjatuh berlutut dan detik ebrikutnya ia menangis seraya menundukkan kepalanya.
Raja Wedden memasuki ruangan dengan langkah pelan. Ia berhenti dan berdiri di sebelah Raddone. Tangan kirinya menepuk pelan bahu pangeran Barat. Ia dapat merasakan kesedihan itu, juga penyesalan yang mendalam.
***