BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Kejutan di Utara



Kejutan di Utara

2"Bertahanlah, aku yakin kita akan segera menemukan pemukiman." Seredon memegangi tubuh Wedden yang masih lemah.     

Suara lngkingan makhluk sihir tidak lagi terdengar, namun gerimis mulai membasahi wilayah yang hendak mereka tuju.     

"Jika alam berpihak pada kita, kurasa kita akan tiba di perbatasan Barat dan Utara," imbuhnya lagi.     

Nampak seperti pria dewasa, bocah itu sama sekali tidak lagi memikirkan rasa takutnya. Dia menunggangi kuda sambil memegangi tubuh Wedden dengan pandangan fokus ke depan.     

"Hey, bisakah kau berhenti sebentar!" erang Wedden yang merasa sakit dengan posisi tubuhnya yang tengkurap.     

Ser terkejut dengan suara itu, segera saja dia menghentikan kuda dan menepi ke tempat yang sedikit lindung.     

"Kau sudah sadar? Kau baik-baik saja?" Seredon sangat antusias. Dia membantu Wedden untuk membenarkan duduknya.     

"Kurasa aku tertidur," sahut Wedden. Dia menarik napas panjang, lalu memperhatikan sekitar.     

"Eh kenapa kita berada di satu kuda begini? Mana kuda milikku?" Wedden bingung.     

Seredon menolak untuk menjelaskan sekarang, dia hanya menceritakan sedikit agar pria keriting itu mengerti.     

Wedden masih mengamati sekitar, mengabaikan angina dan debu yang menerpa tubuhnya. Dalam pikirannya, dia masih mengingat tentang mimpi yang terasa sangat nyata. Sosok Raja Elf yang tidak sepenuhnya mirip dengannya, namun dia merasa kalau itu sungguh dirinya di masa depan.     

"Ekstecafotime," gumam Wedden. Tiba-tiba saa jantungnya berdebar kencang.     

"Kau siap untuk melanjutkan perjalanan ini?" tanya Wedden yang diiyakan oleh Seredon dengan mantap.     

Wedden semakin yakin dengan dirinya sendiri. Dia sebelumnya sempat meminta kekuatan, lalu dia diperlihatkan bayangan mengenai kepemimpinan Raja Elf. Dia segera saja berpikir kalau dirinya sungguh mampu, selama dia yakin dan tidak pantang menyerah.     

Hari berganti. Siang maupun malam tidak lagi terasadan tidak dapat dihitung. Perjalanan panjang yang hanya dijeda oleh minum dari sumber air yang berada di sekitaran jalan yang mereka lalui, dan membiarkan kuda untuk makan walau sedikit.     

Wedden dan Seredon bahkan tidak tahu sudah berapa lama keduanya dalam perjalanan ini. Mereka juga tidak tahu apakah pasukan di Barat sudah menyerang Selatan atau belum.     

Mereka hanya bersyukur karena mereka tidak diserang oleh kegelapan, selain kucing sihir dan beberapa gagak yang dikalahkan dengan kabut kegelapan itu sendiri.     

Dari kejauhan, Wedden sudah dapat melihat ujung dari kerajaan Soutra yang megah. Dia menjadi semakin semangat untuk memerintahkan kuda agar lekas tiba di desa Vitran.     

Sungguh berbeda dari yang ia harapkan. Keadaan wilayah Utara sungguh sangat memprihatinkan. Kebakaran dimana-mana, juga banjir hitam menyelimuti hampir seluruh permukaan tanah.     

Banyak bangunan hancur yang terbakar sekaligus terendam.     

Api biru menyala di bagian atas, air hitam mengalir di bagian bawah.     

Makhluk-makhluk putih masih banyak berterbangan, Seredon segera bergidik saat melihatnya.     

Mereka segera berhenti dan mengikat kuda di salah satu bangunan di luar desa yang masih kokoh dan tidak terendam banjir.     

Masih dengan penampilannya yang serba tertutup, Wedden dan Seredon berjalan sedikit berjingkat menuju penginapan yang menjadi satu-satunya tempat yang terlihat cahaya.     

Semua rumah yang mereka lalui sangat gelap dan sepi, mereka hanya berharap kalau pemiliknya sedang berada di dalam dan baik-baik saja     

Wedden telah berdiri di depan penginapan, sepi. Suasananya sudah sangat tidak nyaman untuknya. Ia dan Ser lalu masuk dan mulai membuka bagian penutup wajahnya.     

Betapa terkejutnya Wedden karena saat ia baru saja masuk, ia disambut dengan keadaan penginapan yang sepi, namun sangat berantakan.     

"Ada apa ini?" ucapnya heran. Dia segera melepaskan penutup wajahnya agar dapat bernapas dengan lega.     

"Kegelapan menghancurkan semuanya." Sosok berpakaian serba hitam tengah duduk di dekat perapian. Pria dengan suara berat yang terdengar tidak asing bagi Wedden.     

"Rader? Apa itu kau? Apa yang kau lakukan disini dan apa yang terjadi dengan seluruh wilayah Utara?" tanya Wedden yang melangkah mendekat.     

Kali ini Rader tidak melarang Wedden untuk mendekat. Namun disetiap langkah Wedden yang semakin dekat dengannya, muncul lingkaran api di seluruh tubuh putra Kimanh itu.     

Seredon menarik jubah Wedden, bocah itu merasa takut dengan api itu.     

"Kegelapan mengikuti langkahmu kemari dan mereka menghancurkan semuanya sebelum kau tiba. Perjalananmu sia-sia, Nak. Kau seharusnya tetap bersama dengan pasukanmu di Barat." Rader bicara tanpa menoleh pada Wedden. Masih menatap perapian yang menyala.     

Wedden kembali mendekat, api biru yang menyelimuti Rader menjadi semakin menyala.     

"Kau membantu kami? Kau menyerang kegelapan untuk kami? Apakah saudaraku selamat?"     

"Aku menyerangnya … saudaramu."     

"Hah?" Wedden mengerutkan dahi. Dia belum lagi bergerak saat sosok berjubah hitam di hadapannya berdiri dan segera berbalik.     

Wedden mematung, dia harus mengutuki dirinya sendiri yang takut namun tidak dapat bergerak kemanapun.     

Kedua mata Rader menyala biru dengan tudung api yang menyala membara.     

Hanya dalam hitungan detik, Rader mencekik Wedden dengan erat membuat Seredon ketakutan dan perlahan mundur hingga menempel pada dinding.     

"Aku sudah memperingatkanmu untuk jangan terlalu dekat denganku! Tapi kau mengabaikannya! Kau harus mengandalkan dirimu sendiri, kenapa kau selalu membutuhkan bantuanku!!" Rader menguatkan cengkeramannya hingga Wedden kesulitan untuk bernapas.     

Seredon yang panik, segera saja menyiram Rader dengan air pada ember yang menampung air bocor.     

Hanya memadamkan api Rader untuk sesaat, namun api yang menyelimuti anak Kimanh itu kembali menyala dan menjadi semakin besar.     

"Kau harus mati!" Api pelindung Rader semakin membara. Wedden bahkan seperti dibakar secara sadar karena cengkeraman tangan Rader yang menyala api.     

Wedden tidak dapat bergerak, dia bahkan tidak dapat lagi berkata-kata.     

"Eks-teca-fo-ti-me." Wedden melafalkannya dengan terbata.     

Mendengar hal itu bara di mata Rader nampak redup sejenak, lalu kembali menyala saat Wedden mengerang kesakitan.     

"Eks-teca-fo-ti-me."     

"Eks-teca-fo-ti-me."     

"Eks-teca-fo-ti-me."     

Tepat tiga kali Wedden berhasil mengucapkan kata itu.     

Tanda diduga, Rader segera melepaskan cengkeramanya dan menjadi seperti polos untuk beberapa saat.     

Wedden belum mengerti sepenuhnya tentang arti kalimat yang ia ucapkan, hanya saja dia merasa kalau itu adalah mantra yang bagus.     

Wedden bersiap dengan pedangnya, begitupun Seredon yang juga siap untuk memberikan bantuan.     

"Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin mengalahkan kekuatan Kimanh dan mengembalikan kedamaian seluruh negeri. Aku juga akan menghilangkan kegelapan dalam dirimu," kata Wedden dengan tatapan lekat pada Rader.     

Putra Kimanh rupanya tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Kegelapan dalam tubuhnya dikendalikan sepenuhnya oleh sang Raja Sihir Kegelapan sehingga membuatnya semakin membenci Wedden.     

"Sampai kapanpun, kegelapan adalah penguasanya." Suara Rader menggelegar dan menggetarkan jantung siapapun yang mendengarnya.     

"Eks-teca-fo-ti-me." Ucap Wedden lagi saat ia siap untuk menyerang.     

Rader mengibaskan jubah besarnya. Ia bahkan dapat memunculkan pedang apinya dan segera menebaskannya kearah Wedden dan Seredon beberapa kali.     

Pertandingan yang nampak imbang, namun kekuatan Rader sangat mendominasi sehingga membuat Seredon sangat khawatir.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.