This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Ucapan Terima Kasih (1)



Ucapan Terima Kasih (1)

3Selama Toma dan Nicole berbincang, Vasile dan David bersandar pada pagar kanopi lantai 3 restoran yang terbuka untuk mereka yang mau merokok.     

"Pertama kali aku mendengar bahwa Tuan Vasile kenal dengan kakak Nicole, aku sangat terkejut." David masih tidak percaya bahwa kebetulan seperti ini ada.     

Vasile tertawa kecil. Ia sendiri cukup terkejut.     

Sebenarnya, ketika ia mendengar cerita Toma, ia sempat merasa familiar dengan nama Nicole, seperti ia pernah mendengarnya di suatu tempat. Tidak ia sangka, Nicole yang menjadi istri David Mocanu ini benar-benar merupakan Shikida Nicole, adik Toma.     

"Aku harus berterima kasih kepada Silver karena sudah membantu juga untuk mempertemukan mereka kembali." Vasile berbalik dan menyandarkan punggungnya pada pagar. Matanya menatap pintu tempat Toma berada dengan binar bahagia. Membayangkan wajah Toma yang bahagia membuat sudut bibirnya terangkat tinggi.     

David diam-diam melirik Vasile dan ketika melihat ekspresi wajah itu, ia sedikit terkejut. Walaupun tidak terkenal sadis, Vasile juga terkenal sebagai asisten Luca yang serius dan kompeten. Artinya kompeten adalah Vasile itu berhati dingin karena dapat melaksanakan semua perintah Luca bahkan sampai ke pekerjaan yang membuat setiap orang merinding hanya dengan mendengarnya.     

Bahkan ketika ia datang ke kediaman untuk meminta bantuan, senyuman yang Vasile berikan adalah sebuah senyuman sopan untuk basa-basi, dingin dan bahkan sedikit menyeramkan. Tidak ia sangka, hari di mana ia bisa melihat senyuman hangat pria incubus tertua di Kota Rumbell ini akan datang.     

"Ah." Tiba-tiba Vasile bergumam singkat.     

David mengikuti pandangan pria itu dan menemukan pintu ruang VIP telah terbuka dan dua kakak beradik itu sedang berjalan mendekati mereka sambil membincangkan sesuatu, sepertinya sebuah topik yang mengasyikkan karena suara tawa Nicole terdengar hingga beranda.     

Ketika melihat David, mata Nicole semakin berbinar hingga sedikit menyilaukan. "David! Bawa kami ke toko ponsel!"     

"Hm? Untuk apa?"     

"Aku ingin membelikan ponsel kepada Kakak biar kami bisa lebih mudah berkomunikasi."     

"Eh? Nicole, tidak perlu! Aku juga tidak pernah menggunakan ponsel." Toma berusaha menolak tapi Nicole bersikeras untuk tetap membelikannya.     

"Jika Kakak tidak paham cara menggunakannya, Kakak bisa minta Su—Tuan Vasile untuk mengajarkan Kakak!"     

"Su?" Vasile merasa mendengar sesuatu.     

'Hampir saja aku memanggilnya Sugar Great-grandpa secara terang-terangan!' Nicole mengelus dadanya.     

Toma masih ingin menolak tapi Nicole sudah memutuskan semuanya dan langsung menarik suaminya menuju tempat kereta kuda mereka diparkir. "Ayo Kakak! Su—Tuan Vasile!" serunya sambil melambai ke arah Toma dan Vasile yang masih berdiri diam di beranda.     

"?" Vasile merasa dari tadi mendengar Nicole hendak memanggilnya dengan sesuatu tapi berhenti di detik-detik terakhir.     

Sementara Toma hanya menghela napas panjang. "Maaf. Sepertinya aku akan mengambil waktumu lebih lama." Toma merasa sedikit tidak enak.     

Vasile menggeleng. "Kalian sudah lama tidak bertemu. Gunakanlah waktu sebanyak-banyaknya untuk menyembuhkan rindu kalian. Aku tidak keberatan."     

Toma merasa sangat tersentuh oleh ketulusan pria ini. Wajahnya segera ia tundukkan karena matanya tiba-tiba mulai berkaca-kaca.     

"Jika kalian ingin saling bertemu lagi di lain hari, bilang saja. Aku akan mengantarmu. Ah … tapi untuk beberapa hari ke depan, mungkin aku tidak bisa melakukannya karena aku punya … hm? Ada apa Toma?" Vasile baru menyadari kelakuan Toma yang aneh.     

"Tidak ada," gumam Toma dengan suara yang serak. Ia segera menarik lengan Vasile untuk mengejar Nicole dan suaminya.     

"Toma? Kau … menangis…? Apa ada yang sakit?"     

Walaupun Toma tidak bisa melihat wajah Vasile, ia bisa mendengar betapa khawatirnya pria itu hanya dari nada suaranya. Jika ia pikir-pikir, pria ini selalu berbicara dan berperilaku tulus. Hanya dirinya yang dengan keras kepala tidak mau mengakuinya.     

'Ah … aku harus bagaimana…?' Ia tidak ingin menyakiti pria ini, pria yang sudah membantunya begitu banyak ini, yang bahkan dengan bodohnya mau menerima seorang kriminal yang jelas-jelas sedang berencana melakukan suatu tindakan jahat hanya karena cinta yang tulus.     

Namun, Toma masih tidak bisa memutuskan.     

"Terima kasih," ucap Toma masih dengan wajah tertunduk. Air matanya sudah hampir menetes membuat ia segera menghapusnya menggunakan lengan. "Terima kasih sudah membantuku mencari adikku. Maaf aku sudah meragukanmu. Beri aku waktu sedikit lagi untuk memikirkan jawaban untuk perjanjian kita."     

Vasile tidak berharap bahwa pria ini akan mengucapkan terima kasih dengan begitu tulus dan lembut. Toma bahkan tidak berusaha menghindari perbincangan dengan perjanjian mereka.     

Semburat merah menghiasi kedua daun telinga Toma. Bahkan tengkuk Toma pun ikut memerah. Kedua telinganya tertekuk lemas tapi ekornya mengibas-ngibas dengan riang.     

Vasile gemas dan langsung mengelus kepala pria itu dengan lembut. "Gunakan waktumu. Aku tidak keberatan menunggu," balasnya.     

Vasile melangkah ke depan Toma dan menarik pria itu untuk mempercepat langkahnya. Keduanya segera menyusul Nicole yang telah mencapai lantai satu restoran.     

*****     

Pada akhirnya, Toma pulang dengan sebuah ponsel tipe terbaru yang tidak hanya bisa mengirim pesan dan menelepon tapi juga bisa mengambil foto dan mengirimkan foto dengan kualitas tinggi. Sebelum mereka berpisah, Nicole sudah memasukkan nomor pribadinya di dalam ponsel Toma dan memberitahunya cara untuk membuka tutup ponsel itu.     

Selama di dalam taksi kereta kuda, Toma berusaha memencet beberapa benda yang ada di layar tapi ia masih tidak paham apa gunanya.     

"Vasile, kau paham ini untuk apa?" tanyanya seraya menyodorkan layar ponsel itu pada Vasile.     

Vasile hanya bisa tertawa lemah sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Aku tidak pernah menggunakan ponsel jadi aku juga tidak paham. Mungkin kau bisa menanyakan itu kepada Mihai. Sepertinya, aku pernah melihat dia menggunakan benda ini."     

Jadi begitu Toma sampai di kediaman, ia segera mencari Mihai.     

"Mihai! Kau ada di mana?"     

Oleh karena hari sudah malam, ia mencari Mihai di kamarnya tapi karena ia tidak bisa membuka pintu lorong menuju kamar Mihai, ia berseru keras, berharap Mihai mendengarnya. Namun, ketika ia sampai di ujung tangga, ia menemukan Mihai yang sedang mengintip dari balik pintu perpustakan yang sedikit terbuka. Di belakang punggungnya, terdapat Liviu yang juga sedang ikut mengintip dengan ekspresi wajah yang sama persis.     

"Mihai?"     

Mihai masih tidak menjawab.     

Tidak punya pilihan lain, Toma mendekatinya dan menepuk bahunya. "Mihai."     

"Wuah!" Mihai meloncat hampir satu meter dari lantai saking kagetnya. Refleks, pintu yang dari tadi ia tahan agar tidak terbuka terlalu lebar ikut tertarik dan akhirnya lepas dari engselnya.     

Gawat! Mihai buru-buru menjatuhkan pintu itu ke lantai dan menarik Toma kabur dari sana secepat kilat.     

Namun, walaupun ia lari dengan kecepatan cahaya agar Luca tidak menyadarinya pun, Luca yang sedang membaca buku di dalam perpustakaan tentunya dapat mengetahui identitasnya. Lagi pula, siapa lagi yang memiliki kebarbaran itu hingga bisa melepaskan sebuah pintu berat hanya karena terkejut.     

'Jadi dia yang sedang mengintip….'     

Luca sudah cukup lama menyadari hawa keberadaan dibalik pintu tapi baru setelah daun pintunya lepas, ia dapat mengenali identitas sosok itu. Tidak seperti yang ia duga, ia tidak begitu enggan dengan perilaku Mihai bahkan setelah melihat sedikit sosok pria itu sebelum berhasil kabur. Sebaliknya, kecepatan bacanya menjadi bertambah dan tubuhnya sesekali bergerak-gerak mengikuti irama ringan yang berputar di dalam otaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.