This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Itu adalah Tempatku (2)



Itu adalah Tempatku (2)

2"Minggir … itu adalah tempatku."     

Silver terperanjat. Ia kembali membuka matanya dan sesosok half-beast mungil muncul di sudut atas pandangannya.     

Wajah sosok mungil itu yang cantik penuh dengan kearoganan. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan ekornya berkibas-kibas dengan tidak sabar. Sepasang mata jingga kemerahan menusuk langsung pada Silver.     

"Ha?" Hanya itu yang bisa digumam Silver saking terkejutnya. Ia tidak berhasil mencerna maksud ucapan half-beast itu.     

Decakan lidah tertangkap telinga Silver. Half-beast itu tidak menutupi ketidaksabaran dan kekesalannya sama sekali dan dengan angkuh kembali mengulang perintahnya. "Kubilang minggir! Ini adalah tempat milikku!" serunya seraya menunjuk tempat di mana Silver sedang berbaring.     

Silver mengernyit samar. Ia bangun dari posisi tidurnya lalu celingak-celinguk sebelum kembali menatap half-beast itu dengan serius. "Aku tidak melihat ada tanda yang menyatakan bahwa ini adalah tempatmu. Lagipula, tanah berumput ini luas, kau bisa mengambil tempat lain."     

Silver bermaksud baik tapi ekspresi wajah half-beast itu semakin menyeramkan.     

Bunyi gemeretak memasuki telinga Silver, memberikan hawa dingin di tengkuknya.     

Half-beast itu benar-benar berperawakan kecil. Jika Silver berdiri, pria itu bahkan tidak mencapai dadanya. Namun, hanya melihat pria mungil itu membunyikan buku-buku jarinya sudah cukup mengintimidasi.     

"Kau ini bego atau tidak peka? Aku mengusirmu dari tempat seluas ini berarti aku tidak ingin ada orang lain berada di dalam wilayahku! Makanya cepat pergi dari sini atau kau mau memakan kepalan tanganku, HAH?!"     

Silver tahu ini menyedihkan dan memalukan tapi ia benar-benar merasa takut oleh ancaman pria mungil itu. Tanpa sadar, ia berusaha mundur tapi ia lupa bahwa tanah itu miring. Tepat saat itu juga, ia terpeleset dan bagaikan bola salju, tubuhnya berguling jatuh dan langsung cemplung ke dalam sungai.     

"Ah! Bego! Hati-hati dong!" tegur half-beast itu segera berlari turun.     

Sungai itu tidak dalam sehingga Silver dengan mudah berdiri tapi semilir angin yang dingin ditambah tubuh yang basah kuyup membuat Silver bersin tanpa henti.     

"Cepat keluar dari sungai!"     

Silver dengan patuh kembali naik ke tanah miring sambil menggosok-gosok lengannya. 'Padahal aku hanya ingin menenangkan diriku ….' Tidak ia sangka ia akan mendapatkan kesialan.     

"Lepas bajumu dan pakai ini!" Half-beast itu melepas jaketnya yang cukup tebal dan tanpa basa-basi menyodorkannya pada Silver.     

Silver sempat ragu sebentar sebelum akhirnya melepaskan kemeja basahnya dan menerima jaket itu. Sayangnya ukuran jaket itu terlalu kecil hingga bahkan hanya lengan bawahnya yang muat.     

"..."     

"AKU TIDAK KECIL! JANGAN MENGEJEKKU!" Tiba-tiba half-beast itu menggeram.     

"Eh? Aku tidak mengejekmu."     

'Aku bahkan tidak berbicara apa-apa!'     

"Tatapanmu sudah menggambarkan itu!" Half-beast tersebut tidak mau menyerah. Dengan kasar ia mengambil kembali jaketnya dan mengenakannya kembali sambil terus mengomel.     

Silver mengernyit. Ia benar-benar tidak memikirkan apa-apa. Half-beast itu hanya terlalu sensitif.     

"Hatchyuu!" Silver kembali bersin. Tubuhnya semakin menggigil.     

Half-beast itu menatapnya dari atas ke bawah sejenak sebelum berseru, "Tunggu di sini!" lalu pergi.     

Silver bahkan belum bisa menjawab. Akan tetapi, mungkin ini kesempatan yang bagus.     

Ia bisa menghangatkan kembali tubuhnya dengan sihir tapi karena dari tadi half-beast itu ada, Silver tidak berani menggunakannya. Setelah memastikan sosok half-beast itu benar-benar hilang, Silver buru-buru mengaktifkan sihir.     

Kelegaan memenuhinya.     

'Lebih baik aku pergi dari sini,' pikirnya. Lagipula ia butuh tempat untuk menyendiri. Jika ada half-beast itu, ia juga tidak bisa tenang karena ia tidak terbiasa dengan keberadaan orang lain apalagi orang yang tidak ia kenal.     

Namun, pesan half-beast itu membuatnya dilemma.     

Selama ia mempertimbangkan pro dan kontra di dalam kepalanya, bunyi gemerisik semak-semak kembali terdengar. Sosok half-beast mungil itu muncul dari balik pepohonan lebat. Tangannya membawa mantel besar.     

"Ini."     

Silver tertegun menatap mantel yang disodorkan kepadanya. "??"     

"Pakai! Jangan sampai kau sakit. Aku tidak mau kau mencariku untuk mengganti biaya rumah sakitmu. Aku tidak punya uang!"     

"Oh … baik, terima kasih." Silver menerimanya. Walaupun ia tidak lagi kedinginan tapi agar tidak dicurigai sebagai incubus, Silver mengenakan mantel itu.     

Bahan mantel itu kasar, sangat jelas bahwa pakaian tersebut tidak terbuat dari bahan berkualitas tinggi. Namun, entah mengapa, dibandingkan semua pakaian bermerek yang pernah Silver gunakan, mantel ini jauh lebih nyaman di tubuhnya. Senyaman ketika ia memeluk bonekanya.     

Perasaan aneh ini membuat Silver bertanya-tanya.     

"Kalau begitu cepat pergi! Aku tidak bilang kau boleh menempati tempatku!" Half-beast kembali membentaknya, menarik Silver dari lamunan.     

"Aku …." Silver tidak terlihat akan bergerak membuat half-beast itu kembali berdecak kesal.     

"Hah! Terserahlah! Aku akan anggap kau patung saja!"     

Half-beast itu mengambil jarak beberapa meter dari Silver lalu berbaring di atas tanah dengan mata terpejam.     

Semilir angin musim gugur menerpa mereka, memainkan rambut mereka dengan lembut.     

Half-beast itu sepertinya benar-benar menganggap Silver sebagai patung dan tidak lagi menghiraukannya.     

Silver juga sibuk dengan pikirannya sendiri sambil menatap kosong pada aliran sungai yang jernih.     

Entah berapa lama telah berlalu, tapi ketika Silver tersadar, semburat jingga telah memenuhi langit.     

'Aku sudah pergi terlalu lama ….' Ia harus kembali sebelum Mugur akan memutar balikkan Kota Rumbell untuk mencari keberadaannya.     

Silver berdiri, menepuk-nepuk bokongnya dari debu. Ia hendak pergi ketika teringat akan mantel hangat yang masih ia pakai.     

Setelah berpikir sejenak, ia melepaskan mantel itu dan kembali mengenakan kemejanya yang sudah setengah kering.     

"Kau …." Silver ingin mengembalikan mantel itu tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan.     

Sosok half-beast mungil berwajah cantik yang tidur dengan damai memenuhi pandangannya. Dedaunan di sekeliling sosok itu bergerak-gerak menyapu wajah berkulit pucat yang ternyata sedikit kotor dan memiliki lebam pudar. Sinar jingga sore itu menyinari pakaian sang half-beast yang agak robek dan juga kotor di beberapa bagian.     

Kontras dengan ekspresi wajah yang damai, seluruh tubuhnya dalam keadaan kacau.     

Jantung Silver berdetak kencang tapi ia tidak merasa cemas. Debaran jantung ini berbeda dari yang biasanya.     

'Apa ini?' Silver meremas kain pakaian di bagian dadanya dengan bingung.     

Di saat yang sama, bulu mata lentik half-beast itu bergetar. Setelah beberapa saat, kelopak matanya membuka. Ia menoleh, mengernyit dalam ketika melihat Silver yang berdiri diam seperti orang bodoh dengan mantel terulur ke udara kosong.     

"Apa yang kau lakukan?"     

"Eh? Ah! mantel," gumam Silver. Suara merdu pria mungil itu menggelitk telinganya, membuat pikirannya semakin kacau.     

Half-beast itu menatapnya sejenak lalu memutar badannya hingga memunggungi Silver. "Taruh saja di sana."     

Silver mengangguk paham lalu segera pergi setelah meletakkan mantel itu begitu saja. Degupan jantungnya semakin kencang.     

Ia harus segera pergi sebelum jantungnya benar-benar meledak. Itulah yang ia pikirkan dan tanpa sadar ia telah berlari dengan kecepatan tinggi menuju kota ….     

*****     

Ketika Silver kembali ke kantor, seperti dugaannya, Mugur sangat khawatir.     

Ketika melihat keadaan Silver yang kacau, Mugur hampir pingsan. Ia memberikan ribuan pertanyaan tapi perhatian Silver sudah tidak lagi berada di sana.     

Bayangan half-beast tadi kembali memenuhi benaknya. Ia bahkan masih bisa merasakan semilir angin sejuk di tempat itu.     

Kotoran dan luka yang dimiliki half-beast itu mengusik pikiran Silver.     

'Half-beast itu … apakah dia baik-baik saja? Apakah ada orang yang mengobatinya?'     

*****     

Di saat yang sama ….     

"Kau berkelahi lagi?!" Ioan menghela napas pasrah melihat putra keduanya yang kembali dalam keadaan kotor dan penuh lebam.     

Viorel sudah hampir 15 tahun dan memasuki tahun terakhir sekolahnya tapi hingga hari ini pun, putranya yang satu ini masih terus berkelahi tanpa henti. Walaupun begitu, Ioan tahu jika putranya tidak melawan, putranya yang akan celaka jadi Ioan tidak bermaksud menghentikannya.     

Hanya saja, ia mengkhawatirkan masa depan Viorel yang kasar ini. Lupakan tentang pernikahan – Wanita semua minder terhadap kecantikan Viorel sementara Viorel jijik dengan semua pria yang ada di desa ini sehingga masa depan percintaan putra keduanya terlihat sangat suram – Ioan tidak bisa membayangkan ada perusahaan yang mau menerima Viorel untuk bekerja dengan mereka.     

"Kak Vio!" Mihai yang berumur 9 tahun, dengan pipi tembam dan plester di beberapa bagian tubuhnya, berlari masuk ke dalam ruangan dan segera memeluk tubuh Viorel.     

Viorel meringis kecil karena Mihai telah menyentuh lukanya tapi senyum di wajahnya tidak terdistorsi sama sekali, sempurna bagaikan bulan sabit yang indah. Ia mengelus kepala Mihai dengan lembut. "Mi Mi kelahi lagi hari ini?" tanyanya menyadari plester-plester itu.     

Mi Mi adalah panggilan sayang kepada Mihai ketika ia masih berperawakan kecil dan imut.     

Mihai tidak terlihat menyesal, bahkan tersenyum bangga. Mengangkat kedua tangannya dengan heboh, ia segera menceritakan tindakan heroiknya ketika memukul teman-temannya yang telah membuli dirinya dan juga beberapa teman sekelasnya.     

Ioan hanya bisa menggeleng. Mihai yang tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik kerap kali kehilangan kendali dan memukul teman-temannya. Awalnya, Mihai merasa bersalah dan sering menangis karena itu tapi atas ajaran kakak keduanya yang agung dan luar biasa ini, Mihai mengandalkan kekerasan lebih dari apapun seperti Viorel.     

Jika ada yang bilang mereka kembar, orang-orang akan lebih percaya dibandingkan Ioan mengatakan Viorel dan Cezar adalah kembar.     

"Hah …." Ioan semakin mengkhawatirkan masa depan kedua putranya ini. Hanya Cezar yang bisa memberikan setitik ketenangan dan kedamaian di dalam hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.