Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Astro



Astro

2  Macrame berbentuk bulan berwarna coklat dengan aksen bulu di tengah dinding itu menjadi perhatianku selama hampir setengah jam ini. Macrame itu adalah salah satu benda kerajinan tangan buatan bunda yang kubawa dari rumah saat pindah ke rumah opa (papa dari bunda).    

  Aku mengingat kejadian saat bunda bertanya pada Fara (adik perempuanku) warna apa yang akan mereka pilih untuk membuat macrame itu. Fara memilih warna coklat dan bunda menyetujuinya. Walaupun menurutku akan lebih terlihat cantik jika memakai warna jingga ombre biru. Warna jingga ombre biru akan terlihat seperti langit senja, yang adalah pemandangan kesukaanku.    

  Sesuatu yang basah mengalir di ujung mataku. Dalam diam kubiarkan dia mengalir dan menghilang. Aku terlalu lelah mengusapnya setelah entah berapa kali aku menangis.    

  Mungkin sebetulnya aku mulai menikmati mengenang keluargaku. Berbeda ketika kecelakaan jembatan itu baru saja terjadi, saat segala yang terasa hanya sesak dan rasanya ingin teriak. Lagi pula memang apa lagi yang kumiliki selain kenangan saat mereka tak lagi bisa kusentuh?    

  "Faza, ikut Oma yuk." suara oma yang jernih dan lembut membuyarkan lamunanku setelah terdengar beberapa kali ketukan di pintu.    

  Kupaksa tubuhku berdiri dan berjalan untuk membuka pintu kamar, "Mau ke mana, Oma?"    

  Oma mengusap ujung mataku, mungkin sisa air mataku masih tertinggal di sana. Alih-alih bertanya kenapa aku menangis, Oma tersenyum tanpa kata, lalu mengajakku berjalan menjauhi kamar menuju teras depan sambil memelukku.    

  "Opa sama Oma mau ke toko. Faza ikut juga, ya?"    

  Aku menganggukkan kepalaku. Di rumah memang terasa menyenangkan karena lebih tenang, tapi di rumah sepanjang hari juga membosankan. Aku belum tau apa yang akan kulakukan di sana, mungkin aku akan menemukan sesuatu entah apa.    

  Perjalanan dari rumah ke toko di kota, melewati sawah dan deretan rumah khas pedesaan. Aku duduk di kursi tengah mobil tua milik opa, sementara opa menyetir dan oma duduk di sebelahnya. Sebetulnya aku yakin opa akan mampu membeli mobil baru yang lebih bagus dari ini, tapi mobil Panther tua ini tak pernah diganti seingat aku bisa mengingat saat-saat kunjungan ke rumah opa selama ini.    

  Kurasa topik ini akan menyenangkan jika dibahas bersama Danar (adik laki-lakiku). Kami mungkin akan mulai membandingkan mobil ini dengan mobil-mobilan mainan miliknya.    

  Aku menyandarkan kepala di kaca jendela sebelah kiriku sambil mengamati jalur yang kami lewati. Aku ingin meminta ijin untuk membukanya, tapi ragu apakah opa akan mengijinkan. Di mataku opa selalu tegas dalam hal apapun. Aku sudah membayangkan akan ditolak bahkan sebelum berani membuka mulut dengan alasan membuka kaca jendela bukanlah tindakan yang aman untuk dilakukan.    

  Kami melewati satu per satu rumah yang dibangun dengan gaya arsitektur modern, pasar berlalu dan digantikan gedung pusat perbelanjaan besar. Tak lama berselang, mobil berhenti di depan sebuah toko kain dengan plang besar bertuliskan "Toko Kain Kita".    

  Toko ini adalah milik opa, dengan bangunan yang mungkin sengaja dibiarkan seperti saat pertama didirikan, masih bangunan lama. Namun cukup besar dengan lahan parkir yang luas. Setahuku opa memiliki cabang toko lain di lokasi yang berbeda, kurasa nanti aku akan bertanya.    

  Aku membuka pintu mobil dan mengikuti langkah kaki oma dalam diam. Aku mengamati deretan tumpukan kain yang tertata rapi dengan jenis, corak dan warna yang beragam.    

  Aku bisa membayangkan kenapa bunda begitu menyukai kerajinan tangan. Kurasa siapapun yang melihat tumpukan kain seperti ini tak akan tahan untuk diam saja membiarkannya tergeletak tanpa berubah menjadi kerajinan tangan yang menawan hati, bukan?    

  Ingatanku melayang ke satu gaun terusan sepanjang betis yang bunda jahit khusus untukku, dengan rempel manis di sekitar pinggang dan pita kecil di sisi kiri. Gaun itu terlihat semakin cantik dengan kerah berbentuk bulat dan lengan yang panjang menutup sampai pergelangan tangan. Sekarang gaun itu tersimpan baik karena aku lebih suka memakai celana dan kaos yang kuambil asal saja dari lemari.    

  Haruskah aku membiasakan diri memakai pakaian feminim seperti gaun terusan seperti harapan bunda?    

  "Hai."    

  Aku mendengar suara sapaan. Saat aku menoleh ke sumber suara, aku mendapati seorang anak laki-laki. Dia memakai kemeja berwarna hijau dan celana pendek berwarna krem.    

  Aku tak mengharapkan ada orang yang baru kulihat mengajakku bicara. Maka aku hanya memberikan dia sebuah senyum yang paling biasa, hanya untuk sopan santun.    

  Dia menyodorkan tangannya padaku untuk kujabat, "Aku Astro, kamu?"    

  "Mm ... Faza." ujarku sambil menyambut uluran tangannya, sebentar saja. Situasi ini terlalu canggung untukku yang memang tak ingin berbincang pada orang baru.    

  "Kamu cucunya opa Dewanto?"    

  Aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan singkat tanpa bertatap mata dengannya.    

  "Kamu udah sehat?"    

  Aku menatapnya ragu-ragu. Kenapa dia bertanya apakah aku sudah sehat?    

  "Bulan lalu aku denger Opa ngobrol sama ayah. Katanya kamu pindah ke sini dan lagi sakit." ujarnya dengan lancar, mungkin tanda tanya di wajahku begitu jelas untuknya.    

  Aku hanya mengangguk. Entah bagaimana, seketika terasa seperti ada batu mengganjal di dadaku.    

  Aku tak ingin membicarakan hal itu, terlebih dengan orang baru. Kecelakaan jembatan itu tak ada hubungannya dengannya, bukan?    

  "Kamu kelas berapa?" dia terus bertanya.    

  "Aku homeschooling ... lima?" ujarku ragu-ragu. Aku tak pernah begitu serius memikirkan aku kelas berapa. Aku bebas menentukan apa yang ingin kupelajari. Materi sekolahku di rumah bisa disesuaikan dengan saran bunda, karena bunda lah yang selama ini mengawasi proses belajarku.    

  "Oh kita sama. Tapi kayaknya umur kita selisih setahun. Aku lebih tua dari kamu."    

  Aku hanya memberinya senyum tanpa membalas kalimatnya.    

  "Aku sekolah di ..."    

  Kata-kata terakhirnya tak begitu kuperhatikan. Tolonglah, aku tak ingin bicara pada siapapun. Mungkin nanti jika suasana hatiku membaik kita bisa berbincang lagi, kurasa.    

  Pandangan mataku mencari keberadaan oma. Ternyata oma sedang duduk bersama opa dengan seorang pria yang tak kukenal.    

  Aku meninggalkan anak laki-laki itu dan menghampiri oma. Kurasa diam di samping oma mungkin akan lebih baik untukku.    

  "Faza udah kenal sama Astro?" oma bertanya dengan lembut, tapi pandangan matanya ke arah di belakangku.    

  Aku menoleh ke arah tatapan oma, ternyata anak laki-laki tadi sedang berjalan mengikutiku. Maka aku hanya mengangguk.    

  "Nanti kapan-kapan Astro bisa main ke rumah, ya? Main sama Faza."    

  Astro menjawab dengan kalimat panjang yang tak kuperhatikan, yang kulihat hanya ekspresi tenangnya seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Aku tak ingin ambil pusing dengan tingkahnya. Aku duduk di sebelah Oma dalam diam dan mengambil majalah apa saja yang berada di bawah meja.    

  "Bagus ya?" anak laki-laki itu bertanya saat tatapanku terpaku pada salah satu halaman. Di halaman itu ada seorang model perempuan sedang mengenakan celana panjang bahan dan kemeja kasual.    

  Tepat saat itu yang ada di pikiranku adalah bunda. Bunda sering memakai pakaian seperti itu walau sedang berada di rumah.    

  "Faza." anak laki-laki itu memanggil namaku. "Jangan bengong. Nanti ada yang nempel."    

  Aku menatapnya dalam diam sambil memikirkan kalimatnya sesaat lalu. Apa yang menempel?    

  Dia bersikap tak acuh setelah kalimatnya yang terakhir, lalu mengambil majalah lain dan terlihat sangat tertarik. Dia aneh sekali, tapi aku justru menatapnya sambil terus berusaha mengingat siapa namanya.    

  Tiba-tiba dia menoleh dan menatapku, "Aku Astro Abhiyoga. Kamu bisa panggil aku Astro."    

  Walau wajahnya terlihat tenang seperti tak ada sesuatu yang terjadi di antara kami, entah kenapa seperti ada kesan menyebalkan yang semakin bertambah saat aku melihatnya.    

  .    

  ..    

  =======    

  NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.