Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Teman



Teman

2  Kurasakan air menekan tubuhku. Mendorong dengan kasar tanpa bisa kulawan.    

  Kepala yang kuusahakan tetap mengapung, berkali-kali terhempas air deras yang berwarna keruh. Dengan dorongan air yang begitu kuat, aku berkali-kali menelan air yang terasa seperti tanah, membuat tubuhku kehilangan keseimbangan karena aku tak bisa bernapas.    

  Aku ingin teriak, tapi tak ada suara yang keluar. Seperti tiba-tiba lenyap karena pita suaraku tak berfungsi.    

  Keringat mengucur di seluruh tubuhku saat aku membuka mata. Tatapan mataku terpaku pada langit-langit kamar, membuatku menyadari aku hanya bermimpi. Mimpi itu lagi.    

  Aku menyalakan lampu kecil di meja di sebelahku, lalu memaksa tubuhku untuk duduk. Aku meneguk air dari gelas yang kutaruh di meja semalam sambil berusaha menenangkan diri dengan menarik napas perlahan dan menghembuskannya berkali-kali.    

  Potongan-potongan kejadian saat kecelakaan jembatan itu terjadi masih begitu segar di ingatanku. Berkelebat di kedua mataku seperti hantu.    

  Kupeluk kedua lututku saat air mata mengalir tanpa perlu kusembunyikan. Aku merindukan bunda. Aku rindu bermain bersama Fara, Danar, dan ayah.    

  Ayah sudah berjanji akan membawa kita ke Pantai Tirang, bukan? Kenapa aku ditinggal seorang diri di dunia ini? Aku ingin ikut kalian.    

  Kugigit ujung bibirku untuk menahan isak yang akan keluar. Aku tak ingin seorang pun mendengarku menangis lagi.    

  Ini sudah lebih dari dua bulan. Aku tak ingin mengganggu siapapun dengan tangisanku yang mulai terasa menyebalkan, bahkan untuk diriku sendiri.    

  Opa dan oma juga pasti sedih, bukan? Terlebih, tubuh bunda belum bisa ditemukan di mana pun.    

  Apakah aku normal jika aku berpikir akan lebih baik jika aku ikut mati juga? Namun sepertinya ayah akan kecewa bila tahu aku menjadi seorang anak yang tak merasa bersyukur karena berhasil hidup.    

  Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, berusaha mengalihkan perhatian agar tangisanku berhenti. Sapuan mataku terpaku pada buku milik Astro yang tergeletak di samping bantal.    

  Semalam dia lupa mengambil kembali bukunya. Saat aku mendapatkan nomor telepon rumahnya dari oma, aku bergegas ke meja telepon di ruang tengah. Aku tak ingin dia mengira aku mengambil miliknya, tapi dia justru berkata aku boleh meminjamnya. Minggu depan saat dia kembali, dia akan mengambilnya lagi.    

  Kurasa aku sempat membaca beberapa halaman sebelum aku tertidur semalam. Aku mengamit buku itu, lalu kubolak-balik sesaat hanya ingin melihat gambar berbagai macam planet dan galaksi yang indah. Saat sampai di halaman belakang, ada sebuah paragraf yang dicetak dengan huruf besar. Tepat di tengah:    

  "Kamu bisa bermimpi berpetulang di galaksi paling jauh di alam semesta. Namun dengan mengenal dirimu sendiri, kamu akan tahu bahwa keajaiban alam semesta ada bersamamu dalam setiap atom yang membentuk tubuhmu."    

  Kalimat yang bagus sekali, membuatku menyadari aku memang benar-benar manusia yang tak tahu bagaimana caranya bersyukur. Ayah pasti sangat kecewa bila tahu.    

  Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur yang lembut sambil memeluk buku milik Astro. Kamar ini dulunya adalah milik bunda. Barang-barang di sini dulunya adalah milik bunda juga, hanya ada tambahan beberapa barang yang kubawa dari rumahku saat pindah ke rumah ini.    

  Kubelai sisi tempat tidurku yang kosong. Membayangkan bunda membuatku merasa ada sebagian dalam diriku menghilang.    

  Bunda ada di mana? Aku ingin memeluk bunda. Sebentar saja.    

  ***    

  Rasanya baru beberapa menit berlalu sejak aku tertidur saat terdengar ketukan di pintu. Ada suara oma memintaku mandi dan sarapan. Oma akan mengajakku arisan ke rumah teman oma.    

  Aku berniat akan menjadi lebih ramah hari ini. Karena aku tak ingin opa membahas tentang masuk ke sekolah lagi hanya karena aku tak memiliki teman perempuan.    

  Namun ternyata Denada dan Mayang yang kemarin disebut oma tidak ikut datang ke acara arisan karena mereka sedang bersekolah. Sepertinya oma lupa bahwa mereka bersekolah di sekolah biasa karena pernah berkali-kali bertemu mereka, tapi hanya saat mereka libur saja.    

  Dalam hatiku aku bersyukur. Walau tetap merasa tak nyaman karena tatapan teman-teman oma yang terlihat mengasihaniku. Aku tak suka dikasihani.    

  Aku paham apa yang orang lain pikirkan. Kehilangan keluarga adalah hal yang menyedihkan. Aku memang sedih, tapi andai aku boleh meminta, aku akan meminta mereka memberiku tatapan yang memberikan semangat. Bukan mengasihaniku.    

  Beberapa hari berlalu, seorang guru yang datang ke rumah opa mulai menemani proses belajarku. Aku memanggilnya kak Anggun, karena dia tak suka saat kupanggil "ibu" karena dia masih muda dan belum menikah.    

  "Kamu cerdas, Faza. Kalau kamu masuk sekolah, kamu bisa masuk kelas akselerasi. Bisa naik kelas lebih cepet, malah bisa kuliah sebelum umur kamu lima belas." ujarnya.    

  Aku tersenyum sesaat karena tak ingin berkomentar. Saat ini aku hanya ingin belajar dengan baik, agar pikiranku teralihkan dari kesedihanku walau hanya sebentar. Karena aku tahu saat malam tiba, aku akan tetap mengingat kematian keluargaku kembali.    

  Kegiatan belajarku dengan kak Anggun dijadwalkan seperti jam sekolah pada umumnya, yang membedakan adalah aku tak perlu pergi ke sekolah. Kurasa itu adalah pembagian waktu yang adil karena aku tahu kak Anggun juga memiliki kehidupan lain selain menjadi guru.    

  Walau harus kuakui, belajar dengan bunda terasa jauh lebih menyenangkan. Aku tak bermaksud mengatakan kak Anggun adalah seorang guru yang buruk, tapi aku merasa belajar dengannya terasa seperti sedang belajar dengan guru les privat.    

  Saat bersama bunda, aku, Fara dan Danar bebas melakukan banyak eksperimen. Kami sangat jarang mempelajari materi dengan cara didikte satu demi satu seperti saat belajar dengan kak Anggun. Kami belajar dengan membaur bersama alam, memperhatikan apa yang terjadi di sekitar, mengambil makna dari kejadian.    

  Bunda tak pernah mengeluh atau marah dengan segala tingkah kami, walau bunda terkadang bersikap tegas saat kami melakukan kesalahan atau saat kami sedang membuat ulah yang tak bisa ditoleransi. Tak ada waktu libur bagi kami karena kami memulai proses belajar kami sejak mata kami terjaga hingga kami tidur lagi, setiap hari. Bahkan rasanya, waktu belajar dan bermain kami melebur di saat yang sama.    

  Lalu aku mulai berpikir bagaimana bisa bunda melakukan itu semua dengan kesabaran yang seperti tak ada habisnya? Aku, Fara, dan Danar adalah tiga anak yang aktif sekali, bukan?    

  =======    

  NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.