Mendekat
Mendekat
"Kamu belum mandi ya? Baru bangun jam segini?" tanya anak laki-laki yang kukenal seminggu lalu tepat saat kubuka pintu kamarku.
"Kamu ngapain ke kamar anak perempuan?" alih-alih menjawab aku justru memberinya pertanyaan karena aku merasa sebal.
Aku tak menjawab pertanyaannya karena kenyataannya adalah aku sudah bangun sejak pagi sekali, tapi memilih mengurung diri untuk membongkar barang-barang peninggalan bunda di kamar. Walau sebetulnya dia benar, aku memang belum mandi.
"Mandi dulu sana, bau. Cepet atau kamu aku tinggal. Kita berangkat setengah jam lagi." ujarnya sambil berjalan menjauh menuju teras belakang.
"Ke mana?"
Dia meninggalkanku tanpa menoleh atau berusaha menjelaskan. Sepertinya dia memang memiliki kepribadian yang menyebalkan.
Uugh kenapa aku mau saja dia menjadi temanku? Kenapa juga aku begitu mudah disuruh-suruh?
Setelah mandi terburu-buru aku memilih kaos dan celana jeans panjang asal saja dari lemari. Lalu memakai kemeja lengan panjang di atas kaosku dan menggulung lengan kemeja sedikit ke atas. Setelah itu aku mengepang rambutku yang panjang asal saja dan memakai topi sambil keluar kamar.
Saat aku sampai di teras belakang, aku mendapati Astro dan opa sedang berbincang. Ada beberapa gelas dan satu teko berisi teh hangat, dengan sepiring kue lumpur dan kue karamel di atas meja. Niatku yang semula ingin menuntut jawaban dari Astro lenyap saat opa melihatku.
"Sudah siap?" tanya opa.
Aku hanya menganggukkan kepala.
"Mafaza temani Astro sebentar ya." ujar opa sambil beranjak dari duduk dan berjalan masuk.
"Kita mau ke mana?" aku bertanya pada Astro sambil duduk di sebelahnya.
Astro menuangkan air teh dari dalam teko ke gelas yang kosong lalu menyodorkannya padaku, "Minum dulu."
Aku mengambil gelas itu dengan canggung, lalu meminum beberapa teguk dan meletakkannya kembali. Sebenarnya tuan rumahnya siapa di rumah ini?
Astro mengambil sebuah kue lumpur dari atas piring lalu menyodorkannya padaku, "Makan ini dulu. Opa bilang sarapannya di luar aja."
Aku hanya menatapnya dalam diam karena merasa canggung untuk menerimanya. Aku bisa mengambilnya sendiri jika aku menginginkannya.
"Kalau ga mau ya udah. Ini ibuku yang bikin, katanya buat kamu. Ibu ga tau kamu sukanya kue apa." ujarnya sambil menggigit kue yang sesaat lalu ditawarkannya padaku.
Aku mengambil sebuah kue lumpur dan menggigitnya. Suapan pertamaku mengingatkanku pada bunda. Bundaku suka sekali membuat kue. Kue favoritku tentu saja brownies chocolate double fugde dengan topping almond dan sea salt (garam laut). Kurasa aku harus mencoba membuat kue itu sendiri. Tubggu sebentar, di mana bunda menyimpan resep browniesnya?
"Kita berangkat sekarang yuk." suara oma memecah keheningan.
Aku mengangguk dan berjalan mengikuti. Astro mengikuti kami di belakang.
Kami mendapati opa sudah menunggu di dalam mobil saat kami masuk. Oma duduk di depan, sedangkan aku dan Astro duduk di tengah.
Aku kehilangan selera untuk bertanya lagi ke mana kami akan pergi. Kurasa aku hanya akan memperhatikan dan menikmati apapun yang mereka rencanakan.
"Gimana perasaan kamu?" aku mendengar suara Astro memecah lamunanku saat serombongan bebek berjalan teratur di sisi mobil saat mobil opa melaju. Bebek-bebek itu lucu sekali, berisik dan sangat patuh pada arahan pemiliknya. Kurasa Danar akan dengan senang hati berlarian mengejar mereka.
"Mm ... baik."
Aku tidak berbohong. Walau malam hari aku masih bermimpi buruk tentang hal yang sama. Namun kegiatan belajarku beberapa hari ini memang membantuku mengalihkan pikiran dan perasaan sedihku.
Aku tak ingin membuat keluargaku kecewa karena aku menyia-nyiakan kehidupanku. Aku akan memeluk mereka dan tersenyum sangat bangga saat kami dipertemukan kembali di alam yang berbeda nanti. Lagipula aku tak akan memberi siapapun alasan untuk mengasihaniku lagi.
"Kamu siapa sih?" tanyaku penuh rasa ingin tahu. Aku mulai benar-benar berpikir anak ini memiliki tempat istimewa di mata opa dan omaku.
"Astro. Kan kita udah kenalan."
Uughh bukan itu maksudku, tapi bagaimana caranya aku harus menjelaskan padanya tanpa membuatnya berpikir aku ini aneh?
"Ayah punya kerjasama sama opa. Ayahku ngasih suplai kain ke toko opa. Itu sebatas yang aku tau. Nanti aku bisa tanya ayah kalau kamu penasaran. Atau, kenapa kamu ga nanya opa aja?" Astro tiba-tiba menjelaskan.
Aku hanya menaikkan bahuku untuk menjawabnya. Bertanya hal seperti itu pada opa akan terasa canggung sekali bagiku. Aku sudah cukup bersyukur opa tak memaksaku masuk sekolah. Aku hanya tak ingin terlihat sedang membuat ulah.
Entah berapa lama kami terdiam sampai kami tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Opa menghentikan mobil di pintu utama dan membiarkan kami keluar mobil bersama oma, lalu segera pergi entah ke mana.
"Kita sarapan dulu ya. Mau makan apa?" oma bertanya sambil mengarahkanku dan Astro masuk dan mulai menjelajahi pusat perbelanjaan yang besar itu.
"Faza apa aja boleh Oma." ujarku.
Aku bukan pemilih makanan dan aku jelas tak tahu jenis makanan apa saja yang di jual di pusat perbelanjaan. Ayah dan bunda tak terbiasa membawa keluarga kami jalan-jalan ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu.
"Mau coba makan makanan jepang? Aku pernah ke sini sama temen-temenku. Makanannya enak." ujar Astro.
Karena aku tak memiliki pilihan dan oma sepertinya akan membebaskan kami bersenang-senang hari itu, maka kami mengikuti saran Astro. Kami tiba di restoran yang dimaksud Astro setelah beberapa kali naik eskalator.
Di restoran itu kami mengantri untuk memesan. Membawa nampan kami masing-masing seperti anak sekolah mengantri makanan di kantin sebelum mengambil tempat duduk dan mulai menikmati makanan kami.
Harus kuakui pilihan Astro memang bagus. Makanannya enak dan suasananya terlihat menyenangkan.
Oma bertanya apakah kami ingin memesan makanan lagi saat melihat aku dan Astro menyelesaikan makanan kami bersamaan. Kami menolak dengan sopan dan mengatakan perut kami sudah cukup kenyang.
Setelah membereskan perkakas makan kami di meja, kami melanjutkan perjalanan. Kami naik eskalator lagi dan menemukan banyak sekali toko elektronik. Oma mengarahkan kami ke sebuah toko yang terlihat paling besar.
"Oma ga ngerti sama perkembangan teknologi. Oma taunya hape dipakai buat telpon sama internetan, tapi Oma ga ngerti hape mana yang bagus. Astro tolong bantu Faza pilih satu, ya?"
Astro terlihat menyanggupi dan terjawab sudah pertanyaanku sepanjang pagi ini. Apakah akan sopan jika aku mengatakan pada oma bahwa aku dilarang memiliki handphone oleh bunda?
Astro membawaku melihat-lihat handphone yang berjejer di display. Dia menjelaskan spesifikasi masing-masing handphone dengan lancar saat aku masih bergumul akan menerima atau menolak pemberian oma kali ini.
Aku ingat ada seperangkat komputer dan laptop di rumah kami di Bogor, milik bunda. Memang bukan teknologi terbaru tapi masih bisa dipakai. Kurasa aku akan meminta oma mengambil komputer dan laptop itu saja.
"Mm ... sebentar ya." ujarku pada Astro untuk menghentikannya menjelaskan spesifikasi sebuah handphone android berwarna hijau metalik. Aku berjalan mendekati Oma, kusentuh lengan Oma meminta perhatiannya. "Oma, kayaknya Faza ga butuh hape. Faza mau ambil komputer sama laptop bunda aja buat internetan, boleh?"
"Faza boleh ambil komputer sama laptop punya bunda. Nanti kita cari waktu ke Bogor, tapi hape ini opa yang beliin karena opa mau Faza punya lebih banyak temen."
Aku tahu aku tak bisa menolak saat tahu ini adalah pemberian opa. Namun aku ragu apakah handphone itu nantinya akan terpakai atau justru akan terbengkalai.
Aku berusaha mencari alasan untuk menolak yang lebih masuk akal, karena teman yang bisa kuhubungi lewat handphone mungkin hanya Astro. Itu pun jika dia bersedia memberikan nomornya handphonenya padaku.
Tak peduli bagaimana pun aku berpikir, sepertinya aku tak memiliki alasan yang cukup untuk menolak pemberian opa. Seketika aku menyadari betapa orang yang berbeda bisa memberikan metode perhatian dan pendidikan yang juga berbeda.
Saat akhirnya aku mengangguk, oma tersenyum. Kurasa aku harus ingat untuk berterimakasih pada opa nanti.
Pilihanku jatuh pada handphone berwarna jingga. Astro merekomendasikannya karena prosesornya bagus dan memori penyimpanan internalnya cukup besar. Kamera depan dan belakangnya dapat mengambil foto dengan hasil gambar yang sangat jernih.
Walau aku masih merasa handphone itu terlalu berlebihan untukku, sepertinya Astro merasa bangga dengan dirinya sendiri karena aku memilih handphone rekomendasi darinya. Saat aku menyadari hal itu, kurasa handphone ini mungkin adalah handphone yang sedang dia incar untuk dia miliki.
Kami menghabiskan hari dengan menonton film, keluar masuk banyak sekali toko. Oma membelikanku setidaknya lebih dari setengah lusin pakaian, beberapa buah set bedcover dan beberapa gorden. Juga membelikan beberapa action figure untuk Astro, sebagai rasa terima kasih karena sudah bersedia menemaniku.
Sepertinya oma tahu bahwa aku tak bisa menolak saat oma berkata benda yang kubeli adalah pemberian opa. Hingga menggunakan cara itu berkali-kali agar aku mau menerima apapun yang oma berikan.
Barang-barang yang dibeli hari itu terasa sangat berlebihan untukku. Aku tak merasa keberatan dengan barang-barang yang sudah ada walaupun bukan barang baru. Dengan susah payah aku meminimalisir banyaknya jumlah yang dibeli. Mungkin jika aku tak berusaha menolak, akan ada lebih banyak lagi jumlah barang yang oma bayar hari itu.
Kami pulang menggunakan taksi karena opa tak bisa menjemput. Sepanjang perjalanan Astro mengajariku menggunakan handphone baruku. Dia menginstall banyak aplikasi dan menjelaskan padaku kegunaannya satu per satu. Dia juga memberikan nomor handphone miliknya dan berkata aku bisa menghubunginya kapan saja.
Saat melewati sawah berbingkai pemandangan gunung dan langit yang cantik, menyajikan tampilan indah sebuah senja yang sempurna, Astro meminta supir untuk berhenti. Dia mengajakku turun dan memperlihatkan cara memakai kamera handphoneku ke beberapa mode, masing-masing mode menghasilkan hasil foto dengan efek yang berbeda.
Aku berdecak kagum pada semua hasil foto kami. Entah bagaimana, sepertinya aku merasa aku harus menyiapkan diri agar tak terobsesi dengan benda di tanganku ini.
"Sebenernya lebih bagus hasilnya kalau pakai kamera SLR. Tapi kamera hape juga lumayan kalau tau triknya." ujar Astro saat kami melanjutkan perjalanan kembali.
"Kamu bisa pakai kamera SLR?" aku bertanya karena ayah sering memakai kamera yang sama.
Sayangnya kamera itu ikut hanyut saat kecelakaan jembatan hingga aku tak bisa melihat hasil foto ayah yang belum dipindahkan ke komputer. Kurasa aku baru saja menyesali diriku sendiri karena tak pernah meminta ayah mengajariku bagaimana menggunakannya.
"Masih belajar sih. Di sekolahku ada klub fotografi. Aku baru setengah setahun ikut klub itu jadi masih amatir."
"Di sekolah ada klub kayak gitu?"
"Ada banyak klub di sekolahku. Klub olahraga ada macem-macem, bela diri, jahit, musik, klub catur juga ada. Tapi kalau jenis klub tergantung kamu sekolah di mana, soalnya tiap sekolah klubnya beda. Kalau kamu pengen masuk sekolah, aku bisa temenin kamu cari yang pas sama kamu."
"Mm ... ga deh. Aku lebih suka belajar di rumah."
"Sekolah ga seburuk yang kamu bayangin kok."
Aku tak pernah beranggapan sekolah adalah tempat yang buruk. Aku hanya menikmati belajar dengan sistem homeschooling karena sistem itu lebih cocok untukku. Aku merasa aku lebih bisa menggali diriku sendiri dan mengeksplorasi hal-hal yang kusukai tanpa membuang waktu, tapi kurasa aku tak perlu menjelaskannya padanya.
"Nanti kalau kamu jadi ikut ke Pantai Tirang, aku bawa kamera SLR ku. Kita bisa ambil banyak foto." ujar Astro, sepertinya dia tahu aku tak akan menanggapi kalimatnya sebelum ini.
"Aku harus ijin sama opa dulu."
"Oma mau ikut ke Pantai Tirang? Biar Faza mau ikut, kita bisa ajak opa juga." alih-alih menjawabku Astro justru bertanya pada oma yang duduk di kursi sebelh kemudi.
"Boleh, nanti Oma bilang opa ya."
Kenapa opa dan omaku sepertinya mudah sekali setuju dengan permintaan Astro? Mungkinkah kalau saja oma dan opaku diminta untuk mengambil bulan, permintaan itu akan disanggupi juga?
"Nah kamu bisa ikut." ujar Astro dengan senyum lebar yang terlihat seperti sedang menggodaku. Senyum yang ditujukan olehnya padaku benar-benar membuatku berpikir dia bukan anak biasa. Haruskah aku waspada?
Kami mengantar Astro ke rumahnya sebelum kami pulang. Rumah itu masuk ke dalam kawasan perumahan elit kurasa, karena kami masuk melalui gerbang satu arah yang dijaga beberapa satpam.
Rumahnya dibangun dengan desain modern minimalis, dengan ukuran yang sepertinya sama dengan ukuran rumah Opa. Hanya saja terdapat dua lantai di rumah itu, ditambah satu lantai di atas yang sepertinya sengaja dibiarkan terbuka. Aku suka dengan teralis bajanya yang terlihat unik tapi sederhana.
Ibu Astro menawari kami mampir dan mengobrol di dalam, tapi oma berkata hari sudah malam.
"Mm ... Tante makasih ya kuenya yang tadi pagi. Enak banget." ujarku saat kami berpamitan.
"Kalau Faza suka nanti Tante buatin lagi ya. Atau kalau ada kue yang Faza pengen, bilang aja nanti biar Astro yang anter ke rumah."
Aku hanya mengangguk. Tak sopan rasanya jika aku menolak tawaran yang begitu baik, tapi aku cukup tau diri untuk tak merepotkan.
Aku dan oma kembali ke taksi dan pergi segera setelahnya. Hanya berselang beberapa menit setelah kami melewati gerbang perumahan, ada pesan masuk di handphoneku. Aku membukanya.
Astro : Hati-hati, minggu depan aku ke rumah lagi. Kamu bisa naik sepeda?
Aku : Bisa
Astro : Okay, nanti aku bawa sepeda ke rumah
Kurasa aku tak bisa menolaknya, karena hari minggu aku memang tak punya rencana apapun. Mungkin aku harus meminta ijin pada opa untuk mengambil sepeda di rumahku, juga mengambil komputer dan laptop bunda karena kurasa aku akan mulai menggunakannya.
Mungkin beberapa benda kerajinan tangan bunda yang lain juga, tapi aku harus bersikap manis sebelum itu karena rumahku berjarak tidak kurang setengah hari perjalanan dengan mobil. Itu pun jika perjalanan dari dan menuju ke sana bebas macet.
Tepat saat aku memikirkan itu, aku baru menyadari ternyata hanya sekitar lima belas menit kami berkendara dari rumah Astro ke rumah opa. Pantas saja Astro berkata ingin membawa sepeda. Dengan menggunakan sepeda, mungkin jarak dari rumahnya ke rumah opa hanya akan memakan waktu sekitar setengah jam.
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING