Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Sepeda



Sepeda

2  Aku bersikap manis sejak hari minggu. Aku belajar dengan baik, membantu oma memasak setiap pagi, menemani opa menyiram tanaman pagi dan sore hari, memberi makan ikan koi, membereskan kamarku yang baru kusadari ternyata berantakan karena aku menaruh segala benda sembarangan, juga menyikat kamar mandi yang memang berada di dalam kamarku.    

  Hingga aku berpikir sepertinya hampir tiga bulan ini aku memang terlihat sangat menyedihkan. Tak mengherankan opa dan oma begitu khawatir padaku.    

  Barang-barang yang ingin kuambil dari rumah peninggalan ayah di Bogor, tiba di rumah opa sabtu malam. Sebetulnya aku ingin ikut pulang, tapi opa melarang.    

  Opa berkata aku harus belajar untuk mengejar ketertinggalan materi sekolahku yang kuabaikan selama aku mengurung diri di kamar. Terlebih, perjalanan ke rumah pasti akan melelahkan hingga opa meminta orang yang bisa dipercaya untuk mengambil sepeda, satu set peralatan komputer, laptop dan perlengkapan peralatan kerajinan tangan milik bunda.    

  Aku tak bisa berharap lebih dari ini, opa dan oma sangat membantuku setelah ayah dan kedua adikku meninggal. Kami pun sepertinya mulai merelakan bunda walau tubuh bunda belum juga berhasil ditemukan.    

  Mimpi buruk masih terus mendatangiku saat malam menjelang, keringat dingin selalu datang bersamaan dengannya. Namun aku selalu berusaha menghalau kesedihanku sebelum keluar kamar setiap pagi untuk bertemu dengan opa dan oma. Aku tak ingin membuat mereka mengkhawatirkanku lagi.    

  Sebetulnya aku memiliki kakek dan nenek lain dari ayah. Kakek Rizal adalah pebisnis ekspor hasil tangkapan laut di Papua. Sedangkan nenek Agnesia tinggal di Jepang tak lama setelah bercerai dari kakek sebelum aku lahir. Sejauh yang aku tahu, nenek Agnesia mengelola kebun buah di sana.    

  Ayahku adalah anak tunggal. Ayah jarang sekali bercerita tentang orangtuanya. Ayah lebih sering bercerita tentang pengalamannya menjelajahi berbagai gunung, lembah, air terjun, laut dan banyak lainnya sebelum menikah dengan bunda.    

  Aku pun hanya pernah bertemu sekali dengan kakek Rizal saat kakek mengunjungi kami bertahun lalu saat Danar lahir. Aku belum pernah bertemu dengan nenek Agnesia, entah kenapa. Padahal kami bisa saja memilih waktu ke Jepang untuk mengunjunginya. Kurasa ayah punya cukup uang untuk itu karena ayahku memiliki lebih dari selusin gerai kopi di berbagai kota.    

  Kurasa nanti aku harus bertanya pada opa bagaimana kedai ayah dijalankan setelah ayah meninggal. Apakah opa yang sekarang mengurusinya?    

  ***    

  Pagi-pagi sekali Astro sudah sampai di rumah opa, tepat saat aku dan oma selesai memasak. Kami sarapan sambil berbincang tentang banyak hal yang Astro lakukan selama seminggu di sekolah, lalu Astro meminta ijin pada opa untuk mengajakku berkeliling dengan sepeda.    

  Aku membawa tas ransel berisi satu kotak makan berisi camilan, sebuah buku sketsa dan sekotak alat tulis. Aku juga menaruh pakaian ganti dan handphoneku di sana.    

  Aku sama sekali tak memiliki ide akan diajak ke mana. Hingga kurasa bersiap untuk kemungkinan pulang saat senja tiba akan lebih baik, bukan?    

  Astro mengajakku mengambil rute ke arah kebun karet yang pernah kami lewati, lalu masuk ke pemukiman warga yang cukup padat sebelum melewati sebuah pasar. Aku mengajaknya berhenti sebentar saat aku melihat ada sebuah kios yang menjual sari kedelai.    

  "Dua ya pak." ujarku sambil menyodorkan selembar uang.    

  Bapak penjual sari kedelai itu tersenyum saat melayaniku. Dia memberikan dua botol sari kedelai dan beberapa lembar uang kembalian padaku tanpa berkata sepatah kata pun.    

  Aku mengajak Astro melanjutkan perjalanan kami setelah memasukkan sari kedelai ke dalam ransel. Kami membutuhkan waktu beberapa lama untuk benar-benar keluar dari area pasar yang besardan ramai.    

  Tak jauh dari pasar, setelah melewati beberapa bangunan pemerintahan dan sebuah tugu, kami tiba di depan sebuah sekolah. Astro mengajakku berhenti tepat di depan bangunanya. Ada plang besar di dekat gerbang yang tertutup, bertuliskan: SMA AMRETA TISNA, Akreditasi A.    

  "Aku mau sekolah di sini nanti." ujar Astro sambil menatapi keseluruhan bangunan sekolah yang terlihat bagus sekali.    

  Tunggu sebentar....    

  Kami masih kelas lima dan untuk masuk ke SMA, kami akan membutuhkan waktu sekitar empat tahun lagi. Astro sepertinya visioner sekali karena sudah menentukan akan sekolah di mana sejak saat ini.    

  Astro mengajakku melanjutkan perjalanan kami saat mataku masih terpaku pada bentuk bangunan sekolah itu. Kurasa hanya orang yang mempunyai cukup uang yang bisa bersekolah di sana. Mungkin juga bisa untuk beberapa siswa beruntung yang mendapatkan beasiswa.    

  Keringat mulai membasahi tengkukku saat aku melirik jam di lenganku, pukul 09.18. Matahari mulai tinggi dan memancarkan sinar terik yang hangat. Udara di sekitar kami sangat bersih karena area ini masih dikelilingi sawah dan perkebunan karet. Mungkin area yang dekat dengan gunung juga mempengaruhi suhu yang terasa menyegarkan.    

  Kami memutuskan berhenti sebentar di tepi jalan yang dikelilingi sawah. Kami melepas sepatu agar kaki kami bisa beristirahat sambil duduk di tanah tanpa alas apapun.    

  Akumengambil dua botol sari kedelai dari ranselku. Aku membuka tutup botol sari kedelai milikku dan menyodorkan satu ke Astro.    

  "Eh ga usah, aku ... erm ..." ujar Astro sambil memberi isyarat penolakan.    

  "Kenapa? Haus kan udah sepedaan jauh?" aku bertanya sambil menyodorkan botol ke arahnya.    

  "Ga pa-pa, nanti kita berhenti di warung depan sana buat beli air."    

  "Minum aja. Udah dibeli nih, kan sayang."    

  "Lagian kamu kenapa beli dua sih? Kalau ga sanggup minumnya harusnya beli satu aja."    

  "Kan ga sopan. Masa aku beli buatku sendiri?"    

  "Kan aku ga minta."    

  "Kamu emang ga minta, tapi aku beli yang satunya buat kamu. Kamu ga suka? Emangnya udah pernah coba?"    

  Astro menggeleng. Dia masih tak juga menerima botol yang hampir menyentuh tangannya.    

  "Kenapa sih?"    

  "Bau." ujarnya singkat.    

  Apa-apaan itu? Dia terlihat seperti Danar yang menolak diberi makan sayur. Kurasa aku tak bisa menyembunyikan senyum di bibirku.    

  "Ga usah senyum-senyum. Aku ga mau minum itu."    

  "Cobain dulu, sedikit aja. Kalau ga pernah nyobain kan kamu ga tau." ujarku karena keisenganku muncul saat melihat ekspresinya.    

  "Iih iya-iya dikit aja." ujar Astro sambil mengambil botol dariku.    

  Entah apakah hanya perasaanku, tapi dia mengambil botol dengan hati-hati. Dia menggenggam bagian yang tak terkena tanganku. Mungkinkah dia berusaha tak menyentuhku?    

  Astro membuka tutup botol dan bersiap menutup hidung dengan tangan kirinya, lalu mendekatkan bibir botol ke bibirnya. Aku melihat beberapa tegukan melewati tenggorokannya saat seketika rona wajahnya berubah. Dia melepas hidungnya yang tertutup dan menghabiskan satu botol penuh tanpa sisa.    

  "Enak?" aku bertanya dengan senyum lebar mengembang di bibirku.    

  Astro mengangguk dan terlihat malu. Dia lucu sekali.    

  Entah bagaimana, hal sepele seperti ini membuatku merasa mendapatkan keisenganku kembali. Karena harus kuakui, aku memang sering bersikap iseng dan menggoda Danar saat dia masih hidup dulu.    

  Sayangnya mungkin aku tak bisa melakukannya terlalu sering. Astro bukan adikku yang akan tetap bercanda denganku walau dia sedang merasa sangat kesal. Terlebih, kalau aku tak salah mengingat, dia pernah berkata dia setahun lebih tua dariku.    

  "Kita mau ke mana lagi?" aku bertanya.    

  "Ke Pasar Bambu yuk."    

  "Kamu mau beli bambu?"    

  "Itu pasar kuliner, tempatnya di tengah hutan bambu makanya disebut Pasar Bambu. Lima belas menit kayaknya dari sini." ujar Astro sambil memakai kembali sepatu dan beranjak menghampiri sepedanya.    

  Prediksi Astro benar, kami sampai di Pasar Bambu lima belas menit kemudian. Walau cukup menguras tenaga karena kami harus melewati jalan yang menanjak dan berkelok.    

  Aku baru pertama kali ke tempat seperti ini. Ke tempat di mana ada sebuah bazzar makanan di tengah hutan bambu. Entah kenapa membuat perutku seketika terasa lapar.    

  Astro membuang botol yang sejak tadi dibawanya ke tempat sampah di depan gerbang masuk pasar. Lalu mengajakku memarkir sepeda kami dan menguncinya.    

  Aku mengikuti Astro yang langsung menghampiri seorang wanita yang menjual aneka macam kudapan tradisional. Dia memilih dua buah ketan yang diberi taburan serundeng, beberapa buah wajik dan getuk, lalu mangejakku duduk di salah satu lesehan dan menawarkannya padaku.    

  "Ganti kedelai tadi." ujarnya.    

  Aku hanya tersenyum mengingat ekspresinya saat meminum sari kedelainya beberapa saat lalu dan mulai mengunyah wajik yang terasa kenyal dan manis. Kurasa aku akan mengajak oma dan opa ke sini lain kali karena terlihat menyenangkan.    

  Setelah makan beberapa kudapan, sepertinya sudah membuat perutku merasa kenyang. Hingga aku menolak saat Astro mengajakku membeli kudapan lain, maka aku hanya duduk diam saat Astro meninggalkanku pergi entah ke mana.    

  Dari tempatku duduk aku bisa memperhatikan sekelilingku dengan leluasa. Pedagang-pedagang di sana ramah sekali. Mereka kompak memakai pakaian batik mega mendung berwarna ungu untuk membedakan mereka dengan pengunjung.    

  Aku mengeluarkan buku sketsa dan alat tulisku karena kurasa Astro akan berkeliling cukup lama. Ada begitu banyak stand yang bisa dikunjungi di sana.    

  Aah aku baru mengingat tadi aku membawa sekotak bekal berisi kue. Aku membukanya dan mengambil satu untuk kumakan. Mubazir sekali rasanya jika aku tidak menghabiskannya.    

  Aku memilih seorang laki-laki yang sedang menjual hasil kerajinan tangan dari bambu untuk kujadikan objek sketsaku. Dia terlihat keren bagiku, tapi bukan karena wajahnya yang tampan. Lebih karena aku tahu tak banyak yang akan memilih menjadi pengrajin. Atau mungkin dia hanya menjual hasil kerajinan tangan saja? Kurasa itu tak masalah bagiku, dia tetap terlihat keren.    

  "Minum dulu." Astro menyodorkan segelas es dawet di atas lesehan ke arahku.    

  "Sebentar."    

  Saat itu aku sedang berusaha membuat detail kerajinan yang terpampang di display. Astro mendekatkan tubuhnya padaku dan menatap sketsaku yang hampir selesai, lalu tiba-tiba bangkit dan berjalan menjauh. Aku tak terlalu memperhatikan ke mana dia pergi karena aku terlalu fokus dengan sketsaku.    

  "Faza." aku mendengar suara Astro memanggil dari sisi belakang sebelah kiriku. Dia sedang mengarahkan handphonenya padaku.    

  Astaga, dia mengambil fotoku diam-diam?    

  "Heiii!!" teriakku untuk memprotes tindakannya.    

  Beberapa orang menatapku ingin tahu saat aku berteriak dan membuatku merasa canggung. Sesaat kemudian handphone yang kuletakkan disebelahku menyala. Saat aku membukanya ada sebuah foto diriku sendiri sedang menatap kamera tanpa tersenyum, dengan buku sketsa di pangkuanku.    

  Aku memberinya pesan : Iseng banget    

  Saat Astro berjalan mendekat, dia tertawa puas hingga menarik perhatian pengunjung lain yang menatap kami bergantian sambil berbisik entah apa. Anak laki-laki ini menyebalkan sekali.    

  =======    

  NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.