Runtuh
Runtuh
Aku baru menyadari, teralis itu memiliki desain yang artistik sekali. Padahal ini hanya sebuah jembatan di tengah hutan yang sepertinya jarang sekali dipakai. Catnya yang berwarna hijau gelap terkelupas dimakan usia, tapi jelas terlihat bahwa teralis itu memang sengaja dibuat begitu cantik.
Pandangan mataku masih terasa kabur saat kusadari Astro berdiri tepat di hadapanku. Dia menatapku dan memberi isyarat agar aku memegangi ranselnya.
Astro menuntunku mengambil langkah. Setiap tapak langkah terasa lama sekali. Terasa seperti aku sedang membenamkan diriku ke dalam kegelapan yang menyesakkan.
Kueratkan pegangan tangan kananku di ransel Astro, dengan tangan kiriku masih meraba teralis yang dingin. Mataku terbuka, tapi pandangan mataku gelap dan segala hal terasa bergerak mengitariku, membuatku merasa seperti orang buta.
"Udah." kalimat Astro menyadarkanku. Dia tersenyum lebar sekali dan entah kenapa kali ini dia terlihat sangat tampan di mataku.
Kakiku terasa sangat lemas. Tubuhku basah oleh keringat. Saat aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, terasa ada sesuatu beban tak kasat mata yang terbang dari hatiku. Lega sekali.
Tubuhku jatuh saat wajah ayah, bunda, Fara dan Danar berkelebat di mataku. Bulir air mengalir deras sekali dari pelupuk mataku, terasa panas dan sesak. Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan kurasa, aku beberapa kali berteriak histeris seperti orang gila.
Aah kenapa kalian justru tersenyum padaku? Tak tahukah kalian, aku rindu sekali?
Setelah rasanya seperti selamanya, dengan isak yang tersisa, juga mata yang terasa bengkak dan wajah yang terasa panas. Aku baru menyadari sensasi tanah di sekitarku terasa dingin menyejukkan.
Astro duduk bersila di depanku. Entah berapa lama dia menungguku menyelesaikan tangisanku dan baru sekarang aku merasa malu. Aku terlihat seperti apa sesaat lalu?
"Ingus kamu tuh." ujar Astro sambil menunjuk ke hidungku.
Aah ini memalukan.....
Aku mengelap apapun yang ada di wajahku asal saja saat Astro menyodorkan botol air minumnya padaku. Senyum di bibirnya terlihat menyebalkan sekali.
"Maaf." ujarku dengan tercekat.
Astro menggelengkan kepalanya sesaat. Senyumnya masih mengembang saat dia bangkit dan mulai melangkahkan kaki.
Aku memaksa diriku bangkit, lalu menuang air ke tanganku dan membasuh wajahku. Aku meminum beberapa teguk dan menarik napas panjang. Terasa segar sekali.
Mataku masih terasa bengkak. Wajahku juga masih terasa panas, tapi angin semilir yang menerpa wajahku terasa lembut dan memberikan rasa nyaman.
Aku menyodorkan botol milik Astro saat dia melanjutkan langkah. Kami hanya berjalan beberapa puluh meter saja saat akhirnya kami menemukan sebuah rumah pohon yang sudah tua, tapi masih terlihat kokoh. Astro memanjat tangga menuju ke atas saat aku masih terpaku menatapi tingginya rumah pohon di atas kepalaku.
Terdengar burung berkicau di antara suara gesekan angin yang melewati pepohonan. Wajahku perlahan mengering dan terasa dingin.
"Kamu ga naik?" Astro berteriak dari salah satu lubang jendela di atas sana. Aku tidak menjawabnya, tapi mulai menaiki anak tangga satu per satu.
Tinggi rumah pohon itu sekitar tujuh meter kurasa. Angin yang berhembus di atas sini terasa lebih kencang, menerbangkan helaian rambutku dengan lembut. Terasa nyaman sekali.
Aku mengedarkan pandanganku di dalam rumah pohon itu. Kudapati lebar rumah pohon itu tidak terlalu kecil, tapi juga tidak besar. Sekitar 3 x 2,5 meter. Mungkin aku bisa mengajak Denada dan Mayang ke sini lain kali. Kurasa rumah pohon ini akan mampu menampung kami bertiga.
Aku menemukan banyak kertas tertempel di satu bagian dinding. Saat kuteliti lebih dekat, aku menemukan inisial DR di setiap lembarannya, dengan gaya tulisan disambung yang familiar. Itu milik bunda.
DR adalah inisial yang bunda letakkan di mana pun di setiap hasil karyanya. Aku menemukan inisial itu di mana-mana di rumah kami yang sekarang kutinggalkan dan kosong.
Entah apa yang terjadi, tapi hatiku terasa hangat. Aku sedang menimbang akan membawa pulang semua sketsa itu atau aku biarkan saja seperti ini saat Astro berdiri tepat di sebelahku.
"Itu udah ada di sini dari pertama aku ke sini. Aku ga mau ganggu barang punya orang lain, jadi aku biarin. Lagian sketsanya bagus." ujarnya.
"Kalau bundaku masih ada, aku bisa kenalin ke kamu." ujarku sambil mengelus inisial nama bunda di salah satu lembaran yang tertempel. "Brownies bikinan bunda enak banget."
"Sketsa ini bunda kamu yang bikin?"
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Kurasa aku memutuskan akan membiarkan semuanya di sana. Lagi pula aku memiliki cukup banyak barang peninggalan bunda di rumah.
"Tadinya kupikir DR itu dokter." ujar Astro yang terlihat bingung.
"Itu inisial nama bundaku, Danastri Rawika. Kalau kamu main ke rumahku di Bogor kamu bisa liat inisial itu di mana-mana."
"Kamu bikin inisial juga kalau lagi bikin sketsa?"
Aku menggeleng, tapi tersenyum. Kurasa aku menemukan fakta bahwa bunda memang sedikit narsis. Aku tak begitu percaya diri untuk menaruh tanda memiliki semacam menaruh inisial seperti itu.
Haruskah aku mulai membubuhi hasil karyaku dengan inisial seperti bunda? MM : Mafaza Marzia?
Astro mengajakku memakan bekal yang kami bawa dari rumah saat matahari mulai terasa terik. Aku yang semula tak merasakan apapun tiba-tiba menjadi lapar. Dua kotak berisi sushi, telur dadar gulung, sosis dan lumpia basah segera berpindah ke perut kami.
Setelah istirahat selama beberapa lama, aku mengeluarkan buku sketsaku. Aku berencana menggambar rumah pohon itu untuk kubawa pulang. Sedangkan Astro memilih untuk tidur sebentar di atas balai kayu kecil.
Kami pulang saat bayangan pohon mulai memanjang. Aku masih merasa buruk saat harus kembali melewati jembatan, karena aku harus mengulang ketakutan yang sama sekali lagi.
Astro masih memintaku berpegangan pada ranselnya dan dia yang menuntunku melanjutkan langkah kakiku. Kelegaan luar biasa sekali lagi kurasakan saat kami sampai di ujungnya.
Aku sempat berpikir akan melewati jembatan itu lebih sering untuk menghilangkan ketakutanku saat kami menyusuri sawah, tapi kurasa aku akan membutuhkan Astro untuk menemaniku. Aku merasa aku tak cukup memiliki keberanian jika harus ke sana seorang diri.
Namun kurasa aku harus bersabar sebentar. Karena Astro sudah berkata hari ini adalah hari terakhir dia menyempatkan diri untuk bermain bersamaku sebelum waktu liburan sekolahnya tiba.
Aku akan memintanya menemaniku lagi saat dia memiliki waktu lebih banyak untukku. Kuharap dia tak akan menolak.
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING