Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Sketsa



Sketsa

0  "Lagi dong, Za." ujar Fani yang memecah lamunanku.    

  "Apanya?" aku bertanya.    

  "Aku ga tau kalau kamu bisa nyanyi." ujar Tasya menatapku tak percaya.    

  "Mau nyanyi lagu apa? Aku cariin di youtube nih." ujar Fani.    

  Saat itu aku baru menyadari, kurasa aku baru saja ikut menyanyikan lagu yang kusukai. Aku enggan berkomentar, maka aku hanya memberi mereka senyum sebagai jawaban.    

  "Kamu udah pilih klub ekskul?" Zen bertanya dengan senyum terkembang di bibirnya.     

  Aku menggelengkan kepalaku sesaat.     

  "Mau ikut klub musik? Bu Lastri pasti seneng kalau kamu join."    

  "Mm ... ga ikut klub ga pa-pa kan?"    

  Aku enggan membayangkan adanya kegiatan tambahan yang akan membuat jadwalku mengurusi craft dan toko kain opa bentrok. Aku sudah merelakan hari sabtu dan minggu ini, juga sabtu depan dengan melepas tanggung jawab datang ke toko.    

  "Aku ga ikut klub apa-apa sih." ujar Toro, yang segera mendapat tatapan tajam dari Zen.    

  "Kalau gitu aku ga bakal ikut klub apapun." ujarku.    

  Zen terlihat kecewa dengan keputusanku, tapi tak mengatakan apapun lagi. Setelah itu Fani memaksaku menyanyikan satu lagu. Aku menyanggupinya dengan syarat kami menyanyi bersama, lalu kami kembali fokus dengan pekerjaan kami masing-masing.    

  Jam setengah lima, kami memutuskan mengakhiri semua kegiatan kami. Kami akan melanjutkan lagi pekerjaan yang belum selesai besok pagi. Saat aku mengecek handphoneku, sudah ada pesan dari Astro sejak satu setengah jam lalu.    

  Astro: Aku tunggu di mobil    

  Tim kami keluar dari kelas bersama. Tasya mengunci pintu kelas kami untuk berjaga-jaga. Dia sudah mendapatkan ijin dari bu Gres untuk memegang kunci kelas selama seminggu ke depan.    

  "Mau aku anter pulang?" Zen bertanya padaku sesaat setelah kami keluar kelas.    

  "Ga usah Zen. Astro nunggu di mobil."    

  Zen mengangguk dan bertanya setelah hening cukup lama, "Kamu yakin kamu ga pacaran sama Astro?"    

  "Aku sama Astro emang ga pacaran kok. Kita deket karena udah lama main bareng."    

  Zen tak mengatakan apapun lagi setelahnya. Kami berjalan dalam diam hingga ke parkiran walaupun teman-teman kami sedang berbincang tentang apa yang akan mereka lakukan besok.    

  Aku menemukan Astro sedang tertidur di dalam mobil dengan jendela sedikit terbuka saat sampai di parkiran. Aku berjalan memutar dan mencoba membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Bagaimana jika terjadi sesuatu?    

  Kurasa aku memutuskan akan menunggunya sebentar. Aku merasa kasihan pada Astro yang lama menungguku.     

  Aku menyandarkan punggungku pada pintu dan menaruh sisi kepalaku di bantal kecil yang menempel di punggung kursi. Aku memperhatikan Astro yang sedang menyilangkan kedua tangannya di dada. Dia benar-benar terlelap, dengan napas yang panjang dan dalam.     

  Jika aku memikirkan hubungan kami dari sisi yang berbeda, sepertinya aku dapat memahami pandangan orang lain yang mengira kami memiliki hubungan yang lebih dari sahabat. Sepanjang yang kuingat, aku memang selalu bersamanya di banyak waktu yang terlewat.    

  Aku mengeluarkan buku sketsa dan alat tulis, lalu memindahkan sosok Astro ke salah satu halamannya. Dengan banyak garis yang kuat dan dalam, sesuai dengan kepribadiannya yang lebih sering menyebalkan dan mengintimidasi. Namun dia pandai membawa diri, dia akan menjadi sosok yang lembut dan perhatian saat dibutuhkan.    

  Astro membuka mata saat aku menempelkan hasil sketsaku di dashboard dekat dengan kemudi. Mungkin dia terbangun karena merasa ada yang mengganggu. Matanya menatapku lama dengan senyum menggodanya yang biasa sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya dan menemukan sketsaku di dashboard.    

  "Aku cocok jadi model sketsa ya?" ujarnya yang memuji dirinya sendiri. "Kamu boleh pakai aku jadi model kamu kalau mau."    

  Aku hanya menggelengkan kepalaku sesaat. Aku malas membalas kalimatnya yang mulai terasa menyebalkan.     

  "Kelas kamu selesai dekor jam berapa?" aku bertanya.     

  "Jam dua kayaknya. Ga banyak yang dikerjain."    

  "Lain kali ga perlu nunggu aku."    

  "Ga bisa begitu. Opa ngasih aku kepercayaan buat jagain kamu. Aku harus pegang janjiku."    

  Aku hanya menatapnya lama sekali karena tak mampu memikirkan kalimat sanggahan apapun, tapi kurasa aku memang harus mengakui Astro tampan sekali.    

  ***    

  Keesokan harinya, aku meminta pak Said mengantarku ke sekolah. Aku membawa kain selebar 4 x 2 meter yang akan kugunakan untuk menutup lukisan agar tak ada yang melihat hasil lukisan itu sampai hari sabtu tiba.    

  Aku menemukan Tasya, Reno, dan Zen saat aku memasuki kelas. Fani, Siska dan Toro sudah menyelesaikan semua pekerjaan mereka kemarin hingga mereka terbebas dari tugas. Sebetulnya Tasya juga sudah menyelesaikan bagiannya, tapi dia berbaik hati menemaniku dan berniat akan membantu apapun jika dibutuhkan.    

  Lukisan kami hanya perlu dipoles dengan berbagai detail dan diberi penekanan warna agar lebih hidup. Bekerja bersama Zen terasa menyenangkan, membuat lukisan itu selesai dengan sempurna tepat jam satu siang.     

  "Kita tunggu kering dulu, nanti ditutup aja. Biar jadi surprise buat hari sabtu." ujarku sambil menatap lukisan buatan kami yang masih basah. Aku merasa puas saat melihat ekspresi tercengang di wajah Tasya dan Reno.    

  "Kayaknya kita bisa jadi tim yang hebat." ujar Zen yang tersenyum lebar padaku.    

  "Thank you, Zen."    

  "Makasih juga atas kesempatannya."    

  "Okay, gimana kalau kita rayain?" Reno memberi usul.    

  "Mau nonton? Ada film superhero baru rilis hari ini." ujar Tasya.    

  "Aku ikut aja sih. Tapi Faza pasti ditungguin Astro kan?" ujar Zen.    

  "Ga kok, aku dianter supir hari ini. Aku juga belum bilang mau dijemput jam berapa." ujarku.    

  "Jadi kamu bisa ikut?" Zen bertanya untuk memastikan. Aku hanya mengangguk dan entah kenapa sepertinya Zen senang sekali.    

  Kami segera membereskan kelas dan membersihkannya, lalu menutup lukisan kami setelah catnya kering. Tasya mengunci kelas dan kami bersama-sama turun ke parkiran motor.    

  Tasya tak begitu percaya diri saat ditawari menumpang di motor trek milik Zen. Maka Tasya menumpang motor Reno yang matic.     

  Aku tak keberatan menumpang di motor yang manapun. Aku sudah cukup merasa bersyukur karena jok penumpang motor Zen tidak terlalu tinggi.    

  Kami sampai di sebuah pusat perbelanjaan setengah jam setelahnya. Kami memutuskan untuk makan siang di restoran yang menyajikan makanan korea pilihan Tasya.    

  "Sebentar ... foto makanannya dulu." ujar Reno sesaat setelah makanan kami datang.     

  "Faza foto bareng yuk." ujar Tasya yang langsung memakai fitur selfie dan menarikku ke sisinya. Aku hanya memberi senyumku yang paling biasa saat Tasya mengambil foto kamikarena aku merasa canggung.    

  "Mm ... tolong jangan di upload di sosmed manapun ya." ujarku.    

  "Kenapa?" Tasya bertanya.    

  "Ga pa-pa, aku ... ga begitu suka."    

  Tasya menatapku ragu-ragu, "Oke deh. Ini aku simpen di hapeku aja."    

  Aku hanya mengangguk untuk menanggapi. Walau Zen dan Reno terlihat bingung saat melihat sikapku, kurasa aku hanya akan mengabaikannya saja.    

  Setelah menghabiskan makanan kami, kami menuju bioskop. Kami memilih film superhero lokal yang baru saja rilis. Kami membeli dua box popcorn, satu untuk Reno dan Zen, satunya untukku dan Tasya. Juga satu minuman untuk diri kami masing-masing.    

  Kami memilih tempat duduk di deret tengah. Reno di ujung, Zen di sebelahnya, lalu aku dan Tasya. Kami sangat menikmati film itu karena ternyata bagus sekali, tak kalah dari tokoh superhero luar negeri. Plot ceritanya juga matang dan tak mudah ditebak. Zen dan Reno bahkan sempat mendapatkan teguran dari pengunjung yang lain karena mereka berisik saat mngomentari adegan film.    

  Hari sudah sangat sore saat kami keluar dari bioskop. Aku melirik ke jam di lenganku, pukul 17.22.    

  "Kita ke sana yuk." ujar Reno sambil menunjuk ke sebuah arena permainan yang besar.    

  "Kalian masih mau lanjut main?" aku bertanya.    

  "Mumpung masih di sini, Za. Lagian belum malem kok." ujar Reno dengan santai.    

  "Mm ... aku pulang duluan deh kalau gitu." ujarku.    

  "Mau aku anter?" Zen menawarkan diri, yang entah kenapa mengingatkanku pada Astro.    

  "Ga usah, Zen. Aku naik taksi online aja. Makasih ya udah ngajak main."    

  "Gratis loh nebeng sama Zen." Reno berkomentar.    

  Aku menggeleng, "Aku ga mau ngerepotin."    

  "Beneran mau pulang, Za?" Tasya bertanya.    

  "Iya, kalau kemaleman nanti aku pasti dicariin. Aku duluan ya, have fun." ujarku sambil melambaikan tangan pada mereka dan berlalu, walau aku tahu situasi ini aneh sekali. Aku terlihat sedang seperti meninggalkan mereka begitu saja, bukan?    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.