Keluarga
Keluarga
Aku menatapnya dalam diam. Kurasa aku tak akan mampu mengatakan apapun sekarang.
"Ray, sepupuku tadi yang ketemu kamu, kebetulan baru pulang dari Irlandia waktu itu. Dia pengen buka restoran, jadi ayah nyaranin kita kerja sama. Ray kerja buatku di restoran ini sambil aku belajar gimana cara ngelolanya." Astro melanjutkan penjelasannya.
"Tiga tahun lalu itu kita masih SMP kan?" aku bertanya. Aku sama sekali tak mengerti bagaimana seorang kakek bisa memberikan sebuah lahan yang besar pada cucunya yang masih SMP untuk dikelola.
"Iya, pas aku umur lima belas tahun."
"Apa alasan kakek kamu ngasih lahan seluas ini buat dikelola di umur kamu yang baru lima belas tahun?" aku bertanya karena penasaran sekali.
"Di keluargaku, kalau kamu udah berumur lima belas tahun, kamu udah dianggap dewasa. Lagian, aku adalah cucu kesayangan kakekku yang dipercaya buat jagain cucu kesayangan sahabatnya."
Aku berpikir lama sekali sebelum bicara, "Sebentar ... maksudnya gimana?"
"Kakek Arya itu sahabat baiknya opa Dewanto."
Seketika pemahaman di kepalaku muncul, "Maksud kamu kita bisa ketemu limat tahun lalu itu karena kakek kita punya hubungan sahabat gitu?"
"Kind of (Semacem itu)."
"Kenapa aku ga pernah tau tentang kakek Arya?"
"Karena kakekku lagi ada di masa istirahat. Ga banyak yang bisa ketemu, badannya ga sekuat dulu."
Angin semilir berhembus membuat suara gesekan daun di antara pepohonan yang khas. Juga menerbangkan helaian rambut kami di sela perjalanannya menuju entah ke mana.
Kurasa penjelasan Astro menjelaskan banyak hal. Ingatanku kembali ke masa lima tahun yang lalu. Saat aku bertanya-tanya tentang siapa laki-laki yang sekarang duduk di hadapanku ini? Kenapa dia terlihat dekat dengan opa dan oma? Juga bagaimana opa akan setuju saja dengan pendapatnya.
"Ayahku nganggep opa kamu kayak orang tua sendiri. Sebaik ayahku ngerawat kakek, sebaik itu juga ayahku berusaha ngerawat opa kamu." ujarnya dengan tenang.
Lalu aku teringat bertahun lalu, saat opa sakit dan harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, yang datang menjemputku adalah Astro dan ibunya. Oma bahkan sempat keluar ruang rawat untuk bicara berdua saja dengan ibunya, entah membicarakan apa.
"Kenapa aku baru tau sekarang?" aku bertanya.
"Karena hubungan kakek kita bukan hubungan yang bisa dijelasin sembarangan. Hal-hal di keluargaku juga bukan hal yang biasa diterima banyak orang." ujarnya sambil mengamit sebuah roti dan mengolesinya dengan sedikit butter lalu menggigitnya. Aroma butternya menguar harum di sekitar kami.
"Itu berarti aku juga harus jaga hal-hal ini tetap jadi rahasia?"
Astro hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih mengunyah rotinya yang terlihat enak sekali.
"Kalau kamu bilang dulu ini cuma restoran kecil, gimana caranya sekarang bisa jadi kayak gini?"
"Thanks to Ray. Masakannya jadi daya tarik orang-orang. Dia juga ganteng sih, banyak sosialita perempuan yang mampir karena ngincer dia."
Kurasa aku bisa memahami hal itu. Ray memang tipe chef yang akan digandrungi perempuan. Senyum isengnya pada Astro tadi adalah senyum iseng yang akan membuat perempuan meleleh melihatnya.
"Kakekku bilang prospek tempat ini bagus, jadi ngasih tambahan modal buat bikin resort itu." ujarnya sambil menunjuk ke arah resort cantik yang dibangun menggunakan material kayu. Resort itu terlihat seperti sekumpulan rumah-rumah kecil dengan lingkungan yang nyaman sekali.
Aku memberanikan diri untuk bertanya, "Kalau kamu jadi pemilik tempat ini, bukannya itu berarti kamu termasuk orang kaya?"
"Tergantung definisi kaya menurut kamu."
Kami berhenti berbincang saat mendengar langkah seseorang menaiki tangga, seorang pramusaji berjalan menghampiri kami sesaat setelahnya. Dia menyajikan dua porsi steak dengan potongan daging tebal dan aroma yang harum, membuat perutku tiba-tiba merasa lapar. Dia pergi sesaat setelah menaruh sebuah vas bunga di tengah meja dengan lavender di dalamnya.
"Kamu suka lavender kan?" Astro bertanya.
Aku menganggukkan kepalaku. Bagaimana dia bisa tahu?
"Bisa kita makan sekarang? Aku laper banget." ujarnya singkat sambil menggenggam pisau dan garpu di kedua tangannya, sepertinya dia menungguku.
Aku mengangguk sambil mengambil pisau dan garpu. Kurasa aku akan menggodanya sebentar, "Selamat makan, Tuan Astro."
Astro tersenyum lebar sekali, "Apa sih?"
"Jadi kita bener-bener lagi dinner ya?" aku bertanya sambil menatap lavender di hadapanku setelah menelan potongan daging pertama.
"Aku bisa minta orang nanem banyak lavender di rumah kamu kalau kamu mau."
"Aku bisa nanem sendiri kalau aku mau."
"Bukannya baru sore ini aku bilang ke kamu kalau aku akan ngasih lebih banyak kebaikan?"
"Kebaikan kamu yang mana lagi yang bisa kamu lebihin?"
Lalu hening karena sepertinya Astro tak menemukan kalimat yang tepat untuk mendebatku kembali. Hingga kami sibuk mengunyah makanan kami masing-masing.
Informasi baru ini membuatku banyak berpikir tantang opa. Opa sama sekali tak pernah menceritakan apapun tentang kakek Arya. Aku pun ragu apakah aku akan berani bertanya lebih banyak pada opa setelah ini. Mungkin aku akan bertanya pada Astro saja.
Aku meletakkan pisau dan garpuku setelah makananku habis dan menatap Astro yang sudah menghabiskan makanannya terlebih dulu, "Berarti kamu sering ke sini ya?"
"Kita bisa sering ke sini kalau kamu mau." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
Aah bukan itu maksud pertanyaanku padanya....
"Aku bisa nemenin kalau kamu ajak." ujarku sambil mengambil segelas jus jeruk dan meneguknya untuk mengalihkan pikiranku. Aku tak akan memintanya mengajakku ke sini lebih dulu. Tempat ini benar-benar membuatku merasa sedang berkencan dengannya.
"Kencan hari ini sukses kan?" Astro bertanya dengan senyum menggodanya yang biasa, membuatku tersedak mendengar kata kencan keluar dari mulutnya.
Astro menyodorkan tisu di atas meja padaku untuk membersihkan sisa jus di wajahku. Senyum menggodanya menyebalkan seperti biasa.
Pramusaji datang membersihkan piring steak kami sesaat setelahnya, lalu menaruh sebuah mangkuk berisi beberapa skup es krim strawberry dengan topping buah di atasnya. Dia membagikan sendok padaku dan Astro masing-masing satu sebelum berlalu.
Astro mengambil sendoknya dan mulai memakan es krim yang menghadap ke sisinya, "Ray pasti mikir kamu ga bisa ngabisin es krim sebanyak ini, makanya ngasih sendok dua."
Aku lega dia tak mengatakan apapun tentang kencan lagi. Kurasa aku akan menganggap dia tak pernah menyebutnya.
"Aku punya pertanyaan. Tadi kamu bilang ini cuma satu hal, berarti ada yang lain yang aku ga tau tentang kamu, kan?" aku bertanya sambil menyendok es krim kami.
Astro mengangguk, "Kamu pasti tau kalau udah waktunya kamu tau."
"Kamu ga takut aku bakal manfaatin kamu setelah aku tau semua ini?"
"Kamu bukan orang yang kayak gitu, Faza." ujar Astro dengan tatapan yang mantap di matanya.
"Biasanya sikap orang berubah seiring waktu, kan?" ujarku yang sedang berusaha memberikan Astro prediksi terburuk.
"Kamu pasti tumbuh jadi perempuan yang mandiri, kreatif, penuh passion. Kamu ga bakal sempet ngurusin hal-hal semacem memanfaatkan orang lain."
Aku terdiam sebelum bertanya, "Segitu percayanya kamu ... sama aku?"
"Aku punya kepercayaan yang lebih dibanding itu." ujar Astro untuk mengakhiri kalimatnya, tapi justru membuatku menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya sekarang?
=======
Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Btw, kalian bisa panggil aku -nou-