Ban
Ban
Aku membaca pesan dari Astro di perjalanan keluar kelas bersama Tasya dan Donna, lalu berbelok ke koridor yang biasa dilewati Astro menuju kelasnya. Aku mengecek plang kelas sebagai penunjuk jalanku dan menemukan kelasnya ternyata berada di ujung koridor.
Pintu kelasnya tertutup. Namun aku bisa melihat ada tujuh orang sedang berdiskusi termasuk Astro dan Angel dari luar jendela.
Astro memberiku isyarat untuk menunggu di ujung lorong. Aku hanya mengangguk untuk menanggapinya. Kurasa aku akan berdiam diri sambil membuat sebuah sketsa.
Kelasku terlihat jelas dari sini walaupun berjarak cukup jauh. Akan terlihat sosok orang melakukan aktivitas apapun di sana. Kurasa selama ini Astro mungkin saja memperhatikan gerak-gerikku dengan leluasa dari sini.
Aah mungkin sebetulnya aku juga bisa memperhatikan gerak-geriknya dari kelasku jika aku menginginkannya....
Sekitar lima belas menit kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka. Beberapa orang keluar lebih dulu, meninggalkan Astro dan Angel di belakang.
"Nanti aku bawa kue spesial buatanku." ujar Angel pada Astro.
"Liat nanti ya." ujar Astro singkat dan tanpa ekspresi.
Astro menghampiriku yang sedang duduk di lantai dan meninggalkan Angel yang mematung di depan pintu. Angel menatapku dengan alis mengernyit, sepertinya dia tak menyukai keberadaanku.
"Yuk pulang." ujar Astro sambil mengamit tas khusus yang kupakai untuk menaruh pakaian ganti dari lantai.
Aku mengangguk sambil membereskan barangku dengan cepat. Aku akan berpura-pura tak mengenali Angel karena kami memang belum memperkenalkan diri satu sama lain. Namun Angel pergi sebelum aku sempat berdiri, dia berjalan cepat sekali.
"Angel sekelas sama kamu?"
"Iya, kenapa?"
"Aku baru tau."
Astro menatapku dan memberiku senyum menggodanya yang biasanya, tapi tak mengatakan apapun. Kami bergegas turun untuk berganti pakaian dan berjalan menuju parkiran sepeda untuk pulang. Aku baru saja sampai di sebelah sepedaku saat menyadari ban sepedaku kempes.
"Tadi pagi baik-baik aja." aku menggumam saat berjongkok sambil memperhatikan ban sepedaku yang terlihat layu.
Tiba-tiba Astro berjalan menjauh, menuju pos satpam dan kembali dengan sebuah pompa. Dia membantuku memompa ban sepedaku dan beranjak pergi untuk mengembalikan pompa.
Untunglah sepertinya hanya ada orang iseng yang mengempeskan dengan menghilangkan udaranya, bukan merobek bannya. Andai ban sepedaku sobek aku akan terpaksa pulang naik taksi online.
"Besok aku jemput pakai motor aja." ujar Astro sesaat setelah sampai di sisiku.
"Ga mau."
"Kenapa? Tasya bilang kamu mau naik motor Zen."
"Motor kamu jok penumpangnya ketinggian."
"Kalau joknya ga tinggi, kamu mau?"
"Mungkin, tapi aku lebih suka bawa sepeda." ujarku sambil mulai mengayuh sepedaku.
Astro mengikuti di sisiku, "Kalau kamu bawa sepeda aku ga bisa anter kamu pulang dua bulan ke depan. Aku ada persiapan ikut lomba robotik pulang sekolah. Kalau bawa motor aku bisa anter kamu pulang dulu, trus balik lagi ke sekolah."
"Aku bisa pulang sendiri kok."
Astro tak menanggapi kalimatku walau aku tahu ada tatapan tak rela di matanya. Sepertinya dia sedang berpikir keras bagaimana akan memutuskan masalah itu dengan baik.
"Aku bukan anak kecil, kamu tau?" aku menatapnya lekat sebelum kembali fokus pada jalanan yang akan kami susuri.
***
Beberapa hari berlalu sebaik seperti biasa. Astro menjemput setiap pagi menggunakan sepeda, kami akan sarapan masakan buatannya karena dia berhutang membuatkan sarapan selama sebulan untukku dan kami akan melakukan aktivitas sekolah kami seperti biasa. Yang membedakan hanyalah aku akan pulang sendiri karena dia harus berkumpul dengan tim lomba robotiknya untuk mewakili sekolah kami.
Tujuh orang yang kulihat di kelasnya beberapa hari lalu adalah tim lombanya, yang berarti Angel juga salah satu dari mereka. Aku baru mengetahui belakangan bahwa tim itu terbentuk dari tiga kelas sains yang ada.
"Belakangan ini kamu ga pulang bareng Astro, Za. Mau bareng aku ga? Aku bawa sepeda juga." ujar Siska saat jam istirahat kedua kami tiba.
Saat itu aku sedang memutuskan untuk tinggal di kelas dan berbincang bersama teman-temanku. Ada sekotak kue lapis pandan di tengah kami, pemberian dari Zen.
"Emang rumah kita searah ya?" aku bertanya.
"Ga sih, tapi dari sini ke tugu kita bisa bareng. Soalnya dari tugu aku harus lurus, kamu belok kan?"
"Boleh kalau gitu. Pulang bareng lebih enak dari pada sendirian."
"Kenapa ga pulang bareng Astro?" Reno bertanya.
"Kamu ga tau kalau sekolah kita ikut lomba robotik tahunan?" Tasya bertanya.
"Ooh, dia pasti ikut." ujar Reno sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kamu bisa aku anter jemput pakai motorku kalau mau." ujar Zen sambil menatapku.
"Ga perlu, Zen. Aku suka bawa sepeda." ujarku, tapi Zen tak mengatakan apapun untuk membalasnya.
"Kalian udah dapet konfirmasi soal klub lukis yang kak Sendy pernah sebut itu?" Siska bertanya padaku dan Zen.
"Aku belum sih, kamu?" ujar Zen.
"Belum juga." ujarku.
"Oh iya, bukannya kita punya hak buat nentuin destinasi study tour semester ini, ya? Kan kita menang." ujar Donna.
"Aku belum dapet kabar dari bu Gres buat milih tempatnya sih. Nanti kalau udah ada pemberitahuan aku kabarin." ujar Tasya.
"Punya bayangan ga kalian mau pilih ke mana?" Zen bertanya.
"Bisa ke Bali ga ya?" Donna memberikan ide.
"Kejauhan tau." Reno menimpali
"Anak beasiswa kayak aku harus bayar berapa ke Bali? Yang deket aja deh. Study tour kan aku harus bayar sendiri. Pengen sih, tapi kalau gratis. Aku ga nolak kok." ujar Siska sambil tersenyum tipis.
"Yang masih di area Pulau Jawa, ya?" Reno menggumam dan terlihat berpikir.
"Banyak kok, kan tinggal pilih. Mau ke gunung? Ada banyak gunung di sini. Mau ke museum juga banyak, sentra batik lukis juga ada. Tinggal pilih aja." Zen menimpali.
Dan kami menghabiskan jam istirahat kami dengan membahas berbagai kemungkinan,membuatku mengingat perjalanan-perjalananku dengan keluargaku sebelum kecelakaan jembatan yang menewaskan mereka.
Aku masih mengingat jelas senyum bunda, keisenganku bersama Fara dan betapa polosnya Danar sebagai adik laki-laki kami yang imut. Ayah akan selalu membawa kami ke berbagai destinasi yang baru, sebagai salah satu metode tambahan untuk materi belajar homeschooling kami.
Andai Fara masih ada, mungkin dia akan menjadi adik kelasku saat ini. Usia kami tak terpaut jauh, itu sebabnya kami memiliki banyak kecocokan sifat. Sepertinya aku merindukan mereka. Kurasa aku harus mencari waktu untuk mengunjungi makam mereka nanti.
Aktivitas belajar kami kembali sesaat setelah bel berbunyi, dengan banyaknya pekerjaan rumah yang kami dapatkan. Namun ini justru terasa menyenangkan untukku. Mungkin karena hal ini baru bagiku.
Mulai hari ini Siska selalu jadi teman perjalanan pulangku. Rasanya menyenangkan kembali memiliki teman bersepeda. Walau kami akan berpisah arah nantinya, kami menikmati waktu kami bersama membicarakan macam-macam hal yang terjadi di sekolah dan Siska sudah menjadi semacam pembawa kabar berita untukku.
=======
Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Btw, kalian bisa panggil aku -nou-