Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Lumpur



Lumpur

2  "Opa, Faza mau main sama temen sekelas Faza ya. Faza usahain sore udah di rumah." ujarku pada opa di teras belakang.    

  "Mafaza ga pergi sama Astro?"    

  "Astro ada pertemuan sama tim robotiknya buat nyiapin lomba tahunan. Jadi Faza main sama temen sekelas Faza aja hari ini."    

  "Hati-hati ya. Kabari Astro, mungkin nanti sore Astro bisa menjemput Mafaza."    

  "Iya Opa. Opa jangan sampai telat makan ya."    

  Opa menganggukkan kepala saat aku menyalami dan mencium tangannya, lalu aku berpamitan pada oma di dapur. Aku mengetik pesan untuk Astro saat aku berjalan ke teras depan.    

  Aku : Aku mau main sama anak-anak dekor. Ada Tasya ikut juga    

  Aku sengaja tidak memintanya menjemputku sesuai permintaan opa. Kurasa aku tak akan sanggup melihatnya sementara aromanya masih menempel di hidungku dan berputar di kepalaku.    

  Aku menyimpan handphone di saku, baru saja akan duduk di kursi teras depan saat mobil Zen memasuki halaman. Aku menghampirinya dan melihat melalui kaca jendela bahwa hanya ada Zen di sana.    

  "Kamu jemput aku duluan emang rumah kita deket ya?" aku bertanya sambil duduk di kursi tengah lalu menutup pintu.    

  "Rumahku ga jauh dari Astro kok. Ada di area kampung, ga masuk perumahan elit kayak dia. Kamu ga duduk di depan aja?"    

  "Ga usah. Nanti ada Reno kan?" aku bertanya untuk memastikan.    

  "Iya sih."    

  "Boleh nyalain radio channel P, Zen?" aku bertanya karena mengingat stasiun radio kesukaan Astro.    

  Zen menyalakan radio setelah aku memintanya dan kami segera meninggalkan halaman untuk menjemput yang lainnya. Aku baru menyadari bahwa rumah teman-temanku ternyata tak sejauh yang kupikirkan. Yang paling jauh, mungkin hanya berjarak tiga kali lebih jauh dari rumah Astro.    

  Reno duduk menemani Zen di depan. Aku, Tasya, Siska dan Fani duduk berdempetan di tengah. Kami menyanyikan banyak lagu bersama selama perjalanan, membahas apa saja yang bisa kami bahas hingga sampai ke tujuan kami. Kami sampai di lokasi pukul 11.03 dan sudah ada banyak sekali orang di sini.    

  Zen memarkir mobil sebelum kami membeli tiket. Sementara Reno mengumpulkan uang dan mengantri untuk mewakili kami.    

  Aku menghirup udara dengan beberapa kali tarikan napas. Udara yang sejuk dan bersih dengan banyak sekali pohon di sekitar kami, terasa menyegarkan sekali untukku.    

  "Kebayang ga sih kalian kalau Triceratops (dinosaurus yang memiliki tiga tanduk) punya gigi tajam? Mungkin berantem sama T-rex buat berebut makanan terus, ya?" ujar Fani.    

  Selama perjalanan, kami memang banyak membicarakan hal-hal yang tak masuk akal. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan suasana ini.    

  Reno kembali dengan enam tiket untuk kami. Kami bersama mengantri menuju pintu masuk untuk diberi stempel. Alih-alih meminta stempel di tangan, Reno dan Zen meminta petugas memberi mereka stempel di leher.    

  Saat kami semua di dalam, ada banyak plang kecil penunjuk jalan dengan banyak nama dinosaurus. Kami memilih T-rex terlebih dulu.    

  Di sana, semua replika dinosaurus dibuat menyerupai aslinya. Dengan mesin yang berada di dalam tubuh mereka, membuat dinosaurus yang ada bisa bergerak seperti hidup. Kami dapat memegang dan berfoto dengan mereka sebanyak yang kami inginkan.    

  "Ada wahananya loh di dalem. Mau ke sana?" Siska bertanya setelah kami puas mengambil ratusan foto bersama.    

  "Yuk ke sana, kita liat ada wahana apa aja." Tasya menimpali.    

  "Ga mau makan dulu? Laper nih." ujar Reno.    

  Aku melirik jam di lenganku, 14.12. Waktu makan siang kami sudah terlewat jauh sekali. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya kami memutuskan ke salah satu stand makanan, beristirahat sebentar dan pergi ke area wahana setelahnya.    

  Aku mengecek handphoneku setelah menyelesaikan makan siangku. Ada beberapa pesan dari grup Lavender dan Astro. Aku membuka pesan Astro lebih dulu.    

  Astro : Kamu di mana?    

  Astro : Udah makan siang?    

  Astro : Mau dijemput ga, Nona?    

  Ada sesuatu yang mengganjal di dadaku saat menyadari pesan terakhirnya adalah satu jam yang lalu.    

  Aku : Aku udah makan. Ga usah jemput, nanti aku pulang dianter Zen    

  Aku meletakkan handphone ke saku. Kurasa aku akan membiarkan diriku sendiri bermain sepuasnya hari ini.    

  "Udah sore nih, yakin mau ke wahana?" Fani bertanya.    

  "Iya dong. Sayang tau udah sampai sini masa ga nikmatin wahana. Kalau ga bisa main semuanya ga pa-pa, satu atau dua juga cukup kok. Belum sore banget." Siska menjawab.    

  "Ya udah, yuk jalan. Udah selesai semua kan makannya?" Zen bertanya.    

  Kami mengangguk dan mengangkut barang bawaan kami masing-masing sambil berjalan beriringan ke area wahana permainan. Di sini ada sekitar beberapa belas wahana permainan yang bisa kami coba, tapi karena hari sudah sore, maka kami memutuskan menaiki beberapa wahana saja.    

  Kami memulai dengan wahana yang memacu adrenalin lebih dulu, roller coaster dan halilintar menjadi pilihan awal kami. Teriakan menggema dari area itu membuat bulu halusku meremang.    

  Lalu kami masuk ke arena yang disebut Adventure Dino. Kami dibawa masuk ke sebuah lorong dengan sebuah kapal. Ada banyak miniatur dinosaurus yang bisa bergerak di sepanjang perjalanan kami menaiki kapal. Kami keluar dari arena itu melalui swbuah lorong dengan banyak cabang pohon. Tubuh kami tersapu oleh daun-daunan yang sepertinya sengaja dipasang, mungkin untuk memberi efek seperti baru keluar dari hutan.    

  "Kapan-kapan ke sini lagi yuk, cobain wahana lain. Sayang kita sampai sini kesiangan jadi ga bisa cobain semuanya." ujar Tasya.    

  "Makanya kalau diminta alamat tuh cepet, jadi ga kesiangan." ujar Zen.    

  "Kan sekarang kamu udah tau rumah kita, tinggal jemput aja." ujar Siska.    

  "Eeh, Za, awas!" Zen berteriak untuk memperingatiku. Saat aku menyadari, sebagian tubuhku sudah terkena lumpur. Zen menarikku menjauh dari sana, teman-temanku yang lain mengikuti kami. "Ada yang sakit?"    

  Aku menatap tubuhku dari bahu sampai kaki, "Ga kok, cuma kotor aja."    

  "Ih kok bisa-bisanya sih ga ada yang jagain di sana. Kalau nyelakain orang kan bahaya." ujar Siska sambil menatap tempat yang baru saja kami tinggalkan.    

  Ada sebuah dinosaurus yang menggerakkan kakinya naik turun dengan kubangan lumpur tepat di bawahnya. Aku baru menyadari hal itu. Aku beruntung hanya terkena lumpur dan tak terkena kakinya yang memiliki cakar tajam.    

  "Ada toko souvenir ga di sini? Biasanya jual baju." Zen bertanya.    

  "Kayaknya tadi aku liat ada deh deket pintu keluar." ujar Reno.    

  "Kamu tunggu di sini aja biar aku yang jalan. Kalian temenin Faza." ujar Zen.    

  Aku menahan lengan Zen sebelum dia pergi, "Ga usah Zen. Aku bawa baju ganti kok. Aku cuma butuh ke toilet."    

  "Kamu bawa baju?" Zen bertanya.    

  Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan plang dengan tulisan toilet tak jauh dari tempat kami berdiri, "Kalian tunggu di sini sebentar ya."    

  "Aku temenin, Za." ujar Tasya.    

  Aku hanya mengangguk dan kami berjalan cepat ke sebuah lorong kecil. Kupikir toiletnya hanya akan muat menampung satu orang saja, ternyata di dalam sini cukup luas. Akan mampu menampung tiga orang kurasa.    

  "Kamu lagi ngelamun ya tadi?" Tasya bertanya sambil membantuku melepas ranselku. Dia mengeluarkan tisu basah dari tasnya, membantuku mengelap lumpur yang menempel di ranselku sebelum membukanya dan membantuku mengeluarkan pakaianku.    

  Aku tak tahu harus menjawab bagaimana karena sepertinya aku memang sempat tidak fokus dan sama sekali tak menyadari keadaan di sekitarku.    

  Aku melihat pantulan diriku di cermin sambil melepas cincin buatan Astro dan meletakkannya di salah satu sudut wastefel, tubuhku kotor sekali. Sebagian kiri tubuhku terkena lumpur dari atas ke bawah. Bahkan sebagian rambutku juga kotor, kurasa aku akan membersihkannya lebih dulu, maka aku mengguyurnya dengan air yang mengalir dari wastafel dan mengeringkannya dengan tisu.    

  Tasya mendorongku masuk ke kubikal toilet, "Rambut kamu udah bersih, ganti baju dulu di dalem. Nanti kukasih baju gantiu yang bersih dari atas pintu."    

  Aku menurutinya. Aku melepas pakaianku dan memasukkannya ke dalam plastik yang kubawa sebelum membersihkan tubuhku dengan air. Sulit sekali rasanya harus membasuh tubuh perlahan hingga bersih sebelum memakai pakaian yang baru, terlebih aku memang tidak membawa handuk.    

  Ada tiga orang lain di dalam toilet saat aku keluar dari kubikal hingga tempat itu terasa sesak. Untungnya Tasya sudah membereskan barang-barang kami dan segera mengajakku keluar menemui yang lain.    

  "Sorry ya, lama." ujarku.    

  "Ga pa-pa, Za. Untung kamu bawa baju ganti." ujar Fani.    

  Aku memang terbiasa membawa pakaian ganti saat akan bepergian cukup jauh. Kebiasaanku sejak kecil atas saran dari bunda.    

  "Yang penting kamu ga kenapa-napa, Za." ujar Zen sambil menatapku khawatir.    

  "Lanjut yuk. Masih ada waktu naik satu lagi kayaknya. Mau naik apa?" Reno bertanya.    

  Setelah melihat-lihat sebentar akhirnya kami memutuskan mengakhiri hari dengan menaiki bianglala. Kubikal bianglala di sana cukup besar untuk menampung kami berenam. Dengan langit senja yang indah, kami mengambil banyak foto saat berada di puncaknya.    

  Kurasa kami semua benar-benar menikmati hari itu. Kami berjalan beriringan menuju pintu keluar dengan senyum di wajah kami.    

  "Lain kali main bareng lagi ya." ujar Siska sesaat sebelum kami mengantri akan keluar. Ada banyak orang yang akan pulang juga seperti kami.    

  "Iya dong. Nanti kita bikin jadwal deh, gimana?" ujar Fani yang segera disetujui yang lainnya.    

  Aku mengambil handphoneku dan baru saja akan membuka pesan dari Astro saat aku menyadari cincinku tak berada di jari manis kiriku. Aku segera berbalik saat mengingat toilet tempat aku berganti pakaian tadi.    

  "Mau kemana, Za?" Zen bertanya saat melihatku menjauh.    

  "Ke toilet dulu sebentar. Kalian duluan aja, tunggu aku di mobil." ujarku sambil berlari secepat mungkin menuju toilet tempatku berganti pakaian tadi. Aku berharap tak ada yang mengambil cincinku.    

  Aku melewati beberapa patung dinosaurus dan tiga wahana sebelum sampai di toilet. Aku membayangkan wajah Astro yang mungkin akan sangat marah andai aku menghilangkan benda pemberian darinya.    

  Saat aku membuka pintu toilet, tak ada siapapun di sini. Kurasa semua pengunjung sudah mengantri keluar untuk pulang. Aku mengecek sudut wastafel tempat aku meninggalkan cincinku, untunglah masih ada di sana. Aku memakainya dan mengatur napasku kembali sebelum berjalan keluar untuk menyusul teman-temanku.    

  Kurasa besok aku akan membuat rantai kalung khusus. Menaruh cincin di kalung terasa lebih aman bagiku. Aku tak perlu melepasnya dan tak perlu khawatir suatu hari akan hilang.    

  Aah aku beruntung sekali hari ini....    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.