Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Bahu



Bahu

0  Mobil Zen memasuki halaman rumah opa saat hari sudah gelap. Aku melirik jam di lenganku, pukul 18.32.    

  Dari dalam mobil aku melihat ada tiga orang di teras depan. Opa dan ayah Astro sedang duduk di kursi, sedangkan Astro berdiri menyandarkan punggungnya di kusen pintu. Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa memiliki firasat buruk melihat pemandangan itu, sepertinya mereka menungguku pulang sejak tadi.    

  "Kamu ikut turun ya, Zen. Aku kenalin ke opaku. Mm ... yang duduk di sebelah opa itu ayahnya Astro."    

  Zen hanya mengangguk. Aku tahu tatapan matanya tertuju ke Astro, dengan sedikit kekesalan yang tak bisa disembunyikan.    

  Kami turun dari mobil sesaat kemudian, lalu berjalan menghampiri teras. Opa, Astro dan ayahnya menatap kami berdua yang datang mendekat. Ada tatapan yang tak bisa kumengerti, walau sikap mereka terlihat baik-baik saja.    

  "Maaf ya Opa, Faza pulangnya kemaleman. Tadi nganter temen-temen yang lain dulu." ujarku sambil menyalami dan mencium tangan opa, lalu melalukan hal yang sama pada ayah Astro.    

  Sejak bertahun lalu, ayah dan ibu Astro memintaku memanggil mereka ayah dan ibu. Mereka berkata mereka sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Walau begitu aku tetap merasa sungkan dan selalu menjaga sikap di sekitar mereka.    

  "Kenalin, ini Zen. Temen sekelas Faza." aku berusaha menjelaskan.    

  Zen menyalami opa dan ayah Astro bergantian, lalu memperkenalkan dirinya sendiri.    

  "Makasih ya udah nganter." ujarku. Entah kenapa, tapi aku berharap Zen segera pergi karena aku merasakan Astro menatapku tajam sejak tadi. Aku benar-benar merasakan firasat buruk.    

  "Sama-sama. Maaf ya nganternya telat. Kamu jadi sampai rumahnya malem. Saya pamit ya Opa, Om." ujar Zen sambil menyalami opa dan ayah Astro untuk meminta diri.    

  Zen sempat menatap Astro sesaat sebelum berbalik dan pergi. Aku menunggunya menyalakan mobilnya dan menghilang dari halaman.    

  "Faza masuk ya, Opa, Ayah. Mau mandi dulu." ujarku. Aku berjalan masuk setelah aku melihat opa dan ayah Astro memberi senyum singkat dan mengangguk padaku. Aku mengabaikan Astro dan berjalan masuk dalam diam.    

  Astro mengikutiku di belakang dan memanggilku dengan suara yang tertahan. Aku tahu dia menahan diri untuk tak bersikap tidak sopan di sekitar opa dan ayahnya.    

  "Faza, tunggu." Astro memanggilku untuk yang entah keberapa kalinya.    

  Entah kenapa tenggorokanku terasa tercekat dan ingin sekali meminum segelas air. Alih-alih masuk ke kamarku, aku justru berjalan ke dapur. Aku mengambil gelas, membuka kulkas, menuang air dingin kedalamnya, dan meneguknya dengan cepat.    

  "Kamu ngehindarin aku?" Astro bertanya sambil menaruh tangannya di ujung pintu kulkas.    

  "Ga kok." ujarku sambil mendorong pintu kulkas agar tangannya menjauh dariku, lalu berbalik tanpa menatapnya.    

  "Kenapa kamu ga angkat telponku?"    

  "Kamu nelpon?" aku bertanya sambil berlalu ke teras belakang karena aku merasa opa akan mendengar pembicaraan kami andai kami tetap berada di dapur.    

  "Kamu bahkan ga cek hape kamu."    

  Astro benar. Setelah aku menemukan cincin pemberian darinya, aku lupa untuk mengecek handphoneku lagi. Saat aku menemui teman-temanku di mobil, aku sudah terlalu sibuk dengan mereka.    

  "Ada apa nelpon?" aku bertanya sambi menutup pintu dapur saat Astro sudah mengikutiku ke teras belakang.    

  "Opa minta aku jemput kamu, tapi kamu ga ada kabar."    

  Tepat setelah Astro mengatakannya, kami sudah duduk di kursi panjang bersebelahan seperti biasa. Aku menyandarkan punggungku pada punggung kursi untuk menghindari tatapannya dan mengedarkan pandangan ke deretan pohon di ujung sana.    

  "Kan aku udah bilang kamu ga usah jemput. Ada Zen yang nganter."    

  "Opa minta aku yang jemput kamu."    

  "Aku baik-baik aja kok dianter Zen."    

  "Jadi kamu lebih milih Zen?"    

  "Milih apa?" aku bertanya karena tak bisa menebak apa maksud ucapannya.    

  "Kenapa ga natap mataku dari tadi?" alih-alih menjawabku Astro justru memberiku pertanyaan.    

  "Ga ada apa-apa kok." ujarku asal saja. Mana mungkin aku mengatakan padanya jika menatapnya akan membuatku mengingat aroma green tea yang sepanjang hari ini menggangguku?    

  Di sudut mataku, Astro menarik kakinya naik dan bersila menghadap ke arahku. Dia menatapku tanpa mengatakan apapun.    

  Kurasa aku akan mengabaikannya. Aku mengeluarkan handphoneku, ada 8 panggilan tak terjawab dan 31 pesan tak terbaca, semuanya darinya. Tiba-tiba saja aku memahami aku baru saja membuat kesalahan. Seharusnya aku lebih menunjukkan permintaan maaf pada opa dan ayah Astro saat aku sampai. Kurasa aku juga baru saja membuat pandangan mereka pada Zen menjadi buruk.    

  "Aku ada bikin salah ke kamu?" Astro bertanya.    

  "Ga ada." aku menjawabnya dengan jujur.    

  "Trus kamu kenapa? Kamu ga biasanya begini."    

  Aku tak menemukan kalimat apapun untuk membalas pertanyaan Astro. Aku pun tahu aku tak biasanya bersikap begini. Aku sendiri bertanya-tanya kenapa.    

  Aku mendengarnya menghela napas. Dia menggeser tubuhnya maju ke arahku, lalu menaruh dahinya di bahuku.    

  "Diem dulu sebentar."    

  Aku menahan napas karena dia terlalu dekat. Aroma green tea yang menguar dari rambutnya menari dengan bebas di hidungku, membuat sesuatu di dadaku terasa asing.    

  "Kamu kenapa?" aku bertanya pada Astro saat rasanya sudah lama sekali dia bersandar padaku.    

  "Aku ga ngerti."    

  Entah bagaimana tanganku terasa bergerak sendiri, lalu menyentuh rambutnya yang terasa lembut di sela jariku. Aku membelai rambutnya selama beberapa lama. Aroma green tea menguar lebih kuat dan aku menikmati aromanya untuk diriku sendiri.    

  Aah kurasa aku baru saja melewati batasan kami....    

  "Kalau Zen minta kamu jadi pacarnya, kamu mau terima?"    

  "Aku ga punya waktu buat itu. Kamu kan tau aku harus bantu opa ngurusin toko, aku juga punya bisnisku sendiri." ujarku sambil terus membelai rambutnya. Entah kenapa tanganku rasanya tak ingin lepas darinya. Aku bahkan mulai berpikir mungkin akan menyenangkan jika aku memiliki seekor kucing yang bisa kubelai setiap hari.    

  Saat Astro mengangkat kepalanya dari bahuku, aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Entah bagaimana, tapi dia terlihat jauh lebih baik.    

  "Kamu pakai sampo apa? Aku suka." aku bertanya.    

  Aah akhirnya aku jujur pada diriku sendiri....    

  Kupikir mungkin jika aku memakai aroma yang sama, aku bisa menghilangkan halusinasiku padanya. Namun dia tidak menjawab pertanyaanku, walau ada senyum yang lebar sekali mengembang di bibirnya.    

  "Ini pertama kalinya aku biarin perempuan pegang kepalaku. Aku suka, tapi ga boleh. Kalau kamu mau pegang kepalaku lagi kamu harus nunggu."    

  Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya. Apakah dia ingin aku meminta maaf sudah memegang rambutnya sembarangan? Bukankah dia baru saja berkata dia menyukainya?    

  "Aku mau piara kucing aja buat aku belai-belai. Kamu terlalu nyebelin jadi manusia." ujarku dengan kesal karena entah kenapa dia seperti sedang sengaja membuatku kesal.    

  Anehnya, dia justru tertawa. Tawa yang membuatnya terlihat semakin tampan di mataku. Entah bagaimana, tapi ada sesuatu di dalam dadaku terasa aneh sekali. Aku bahkan tak bisa menjelaskannya pada diriku sendiri.    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.