Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Cacing fosfor



Cacing fosfor

0  Tasya bertemu denganku saat dia baru saja menginjakkan kaki di lantai tiga, "Kamu sarapan bareng Astro lagi?"    

  Aku hanya mengangguk. Tasya membalasku dengan sebuah senyuman dan gelengan kepala.    

  Kami masuk ke kelas kami yang pintunya sudah terbuka, tapi tak ada siapapun. Sepertinya kami yang pertama hari itu.    

  Dari kejauhan aku melihat sebuah kotak berwarna coklat yang berada di atas mejaku. Aku berjalan mendekatinya dan menaruh kedua tasku di sandaran kursi, lalu mengambil kotak itu.    

  "Itu apa, Za?" Tasya bertanya saat sampai di sisiku. Sepertinya dia penasaran saat melihatnya.    

  "Ga tau, udah ada di sini tadi." ujarku sambil mengamati kotak itu.    

  Aku mengguncang kotak itu untuk mendapatkan suara dari dalam. Terdengar suara seperti pasir berat yang bergerak. Entah bagaimana, aku merasa harus mencurigainya.    

  Aku membuka ranselku, lalu mengeluarkan sebuah pensil dan melubangi salah satu sisinya. Saat aku baru saja akan menuangnya, terlihat ada dua ekor cacing fosfor akan melarikan diri dari dalam. Tasya memekik panik saat melihatnya.    

  Aku menelungkupkan bagian yang kulubangi agar tak ada cacing yang benar-benar keluar. Cacing fosfor adalah salah satu makanan burung. Aku tahu hal itu, karena dulu ayah memberi makan salah satu burung kami dengan jenis cacing ini.    

  "Pegang sebentar." ujarku pada Tasya.    

  "Iih!!" ujar Tasya sambil menahan kotak itu dengan tatapan geli. "Siapa sih yang bercanda pake ulet begini?"    

  Aku mengabaikan ucapannya, lalu segera mengambil lakban dan gunting yang selalu ada di meja perkakas guru. Aku menutup lubang dengan lakban lebih dulu sebelum menambal semua permukaannya, lalu membuangnya ke tempat sampah di depan kelas kami dan kembali ke mejaku.    

  Tasya menatapku dengan tatapan ngeri sambil mengamit lenganku, "Ayo ke ruang guru, kita lapor bu Gres."    

  Aku menahan tangannya dan menggeleng "Ga usah. Diem-diem aja, jangan bilang siapa-siapa. Ke Astro juga jangan."    

  "Tapi ada orang iseng gitu mau ngapain coba ngasih ulet di meja kamu? Kebayang ga sih kalau kamu langsung buka itu uletnya nyebar ke mana-mana?"    

  Aku bisa membayangkan tepat seperti yang Tasya katakan, api andai kejadian ini tersebar, akan ada banyak orang yang panik dan menerka-nerka. Aku tak ingin menimbulkan keributan yang tak perlu.    

  "Ini cuma kerjaan orang yang minta perhatian, Tasya. Kita anggap aja kejadian ini ga ada. Kalau orang lain tau mungkin malah jadi bikin panik, okay?"    

  Sepertinya Tasya mengerti maksud ucapanku, dia mengangguk walaupun ragu-ragu. Satu-persatu teman kami datang sesaat setelahnya. Beberapa kali Tasya mencuri pandang ke arahku, aku langsung memberi isyarat dengan menaruh ujung jari di bibirku untuk memintanya menjaga rahasia kami.    

  ***    

  "Kita ke atas yuk, Za." aku mendengar suara Zen di sebelahku saat aku baru saja mengeluarkan handphoneku dari ransel. Sekarang adalah jam istirahat kedua kami.    

  "Ke atas mau ngapain?"    

  "Ke kelas kak Sendy. Kamu belum baca chatnya?"    

  "Mm ... belum kayaknya." ujarku sambil memegang handphoneku dengan canggung. "Dia bilang apa?"    

  "Katanya mau diskusi sama kita soal klub lukis. Yuk ke atas."    

  "Kamu duluan aja, Zen, nanti aku nyusul. Kelasnya di sebelah mana?"    

  "XII bahasa II, pas di atas kelas kita. Bener ga mau bareng?" Zen bertanya untuk memastikan.     

  Aku hanya menganggukkan kepalaku.     

  "Oke deh, nanti ke sana ya."    

  Aku mengecek handphoneku setelah Zen beranjak pergi, lalu melihat pesan dari Astro yang datang beberapa menit yang lalu.    

  Astro : Mau ke kantin bareng?    

  Aku : Sorry, aku ga ikut ke kantin. Aku mau ke atas dulu. Kak Sendy minta diskusi soal klub lukis    

  Aku memakai jaketku dan menaruh handphoneku di salah satu sakunya setelah membalas pesan Astro. Lalu berjalan menyusuri lorong, tapi aku justru menemukan Astro sedang menyandarkan diri di dinding persimpangan koridor saat aku akan menaiki tangga.    

  "Bukannya tadi kamu mau ke kantin?" aku bertanya.    

  "Aku mau nemenin kamu ke atas." ujarnya sambil mulai mengambil langkah menaiki tangga.    

  "Kamu ga perlu nemenin. Ada Zen kok, tapi dia udah jalan duluan" ujarku sambil mengikuti langkahnya.     

  Astro tak berkomentar apapun, tapi kurasa aku sempat melihat rahangnya mengeras sesaat.    

  Kami berjalan menyusuri lorong yang penuh dengan kakak kelas di setiap sisinya. Ada sekitar empat murid perempuan menyapa Astro dan Astro hanya membalasnya dengan senyum sambil lalu.    

  Aku baru pertama kali naik ke lantai ini, suasananya terasa berbeda. Entah kenapa terasa lebih bebas. Padahal jika aku memikirkannya dengan lebih baik, seharusnya suasana di sini lebih serius karena kakak-kakak kelas ini akan menghadapi ujian kelulusan tak lama lagi. Yang mengingatkanku pada ekspresi Mayang di toko beberapa waktu lalu.    

  Kami sampai di depan kelas paling ujung di lorong itu. Dengan plang kecil di kusen atas sebelah kiri: XII Bahasa II. Astro masuk lebih dulu lalu menyapa salah satu murid terdekat kami dengan senyumnya.    

  Seketika tatapan seisi kelas itu terpaku pada kami. Beberapa murid perempuan langsung tersenyum dan berbisik satu sama lain. Beberapa murid laki-laki menyapa Astro dan menggodanya karena datang ke kelas itu bersamaku.    

  "Hei, Astro! Tumben ke sini bawa cewek."    

  Astro hanya menanggapi mereka dengan senyum dan tapi tak mengatakan apapun.    

  Aku melihat kak Sendy dengan beberapa orang lain, juga Zen sedang berkerumun di dekat meja guru. Zen terlihat terkejut melihat ada Astro bersamaku.    

  Aku menghampiri mereka, "Maaf ya, Kak, tadi ada urusan sebentar."    

  "Ga pa-pa, sini duduk. Pakai dianter Astro segala." ujar kak Sendy sambil menunjuk sebuah kursi yang dekat dengannya.     

  Aku menghampiri kursi itu dan duduk di sana. Sedangkan Astro berdiri menyandarkan punggung pada dinding di sebelahku.    

  "Apa kabar Astroboy setelah keluar dari klub basket?" seorang murid laki-laki di sebelahku menyalaminya dengan gaya yang tak biasa.    

  "Baik kok. Nanti kapan-kapan kita sparring ya." ujar Astro.    

  "Eeh kita bukan mau bahas basket di sini. Jangan rusuh ya kalian." ujar kak Sendy pada murid di sebelahku.    

  "Mumpung Faza udah dateng, kita mau minta pendapat. Kita dikasih syarat sama pak Sugeng buat ngumpulin minimal lima belas orang jadi anggota klub. Kemarin kita ada rekrut empat belas orang dari semua kelas, tapi belum ada lagi yang mau. Faza punya kenalan yang bisa diajakin masuk klub?"    

  "Aku aja." ujar Astro tiba-tiba dan seketika semua orang menatapnya.    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.