Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Pasangan



Pasangan

1  "Aku udah denger kelas kamu jadi kelas percontohan kebijakan jaga kunci." ujar Astro tiba-tiba.    

  Kami sedang dalam perjalanan ke resort hari ini. Sudah hening cukup lama karena aku sedang sibuk dengan laptopku dan mengotak-atik berbagai foto yang akan kupakai untuk website baru buatan Astro.    

  "Cepet banget nyebarnya." ujarku asal saja.    

  Seperti yang sudah Zen jelaskan padaku, kebijakan itu adalah saran darinya, yang entah bagaimana bisa meyakinkan bu Gres dan pak Sugeng. Zen berkata dia tak ingin ada kejadian bullying terjadi lagi.    

  "Aku tau itu saran Zen." ujar Astro yang membuatku menghentikan pekerjaanku dan menoleh padanya. "Semua kebijakan yang diambil di sekolah biasanya dilaporin dulu ke staf yayasan. Aku tau dari ibu. Ibu ngerasa khawatir kalau mungkin ada apa-apa kejadian."    

  "Ibu tau ada kejadian itu?"    

  "Aku ga bilang, tapi ibu emang curiga."    

  Aku menghela napasku sesaat. Aku sama sekali tak memikirkan kemungkinan kejadian-kejadian itu akan sampai ke ibunya.    

  "Ga usah khawatir." ujar Astro sambil menatapku sesaat sebelum mengalihkan pandangannya pada rute perjalanan kembali. "Aku seneng sebenernya Zen bisa mikir cepet. Tapi envy (iri) juga kenapa bukan aku yang dapet ide itu."    

  "Kenapa kamu envy?"    

  "Karena ga bisa mikir cepet buat kamu." ujarnya. Jawabannya justru mengingatkanku pada ucapan Zen. Zen berkata bahwa kami terlihat seperti pasangan.    

  Aku memang berkali-kali mendengar kalimat yang serupa dari teman-temanku yang lain, tapi kalimat Zen yang membuatku benar-benar berpikir, mungkin aku memang harus mulai menjaga jarak dengan laki-laki yang duduk di sebelahku ini. Entah bagaimana caranya.    

  "Aku bisa jaga diriku sendiri kok." ujarku.    

  "Aku tau, tapi aku udah bilang kan kalau aku mau kasih kamu lebih banyak kebaikan?"    

  Tiba-tiba aku mulai berpikir sepertinya akan sulit sekali menjaga jarak darinya. Bagaimanapun kami hampir setiap hari sarapan bersama, ke kantin bersama dan pulang bersama. Pengecualian untuk beberapa waktu ke belakang karena dia memiliki pertemuan khusus untuk mengikuti lomba robotik tahunan.    

  Bagaimana mungkin aku bisa menjaga jarak darinya? We do really looks like a couple (Kami memang benar-benar terlihat seperti pasangan).    

  "Aku ga liat cincinku seminggu ini. Kamu jual?" Astro bertanya.    

  Aku mengeluarkan kalung buatanku yang kusembunyikan di dalam pakaian. Lalu memperlihatkan padanya bahwa aku benar-benar menepati perkataanku untuk menjaga cincin pemberiannya dengan baik.    

  "Bagus kan?" ujarku dengan senyum lebar sambil memamerkan kalung buatanku dengan cincin pemberiannya di sana lalu mengembalikannya lagi ke balik pakaianku. "Aku pikir lebih aman kalau dibikin kalung begini. Ga akan takut hilang."    

  Ada senyum lebar di bibirnya. Sepertinya dia setuju dengan ideku dan aku lega dia menyukainya.    

  Kami sampai di resort sesaat setelahnya. Aku melirik jam di lenganku, pukul 08.03. Tadi pagi dia menjemputku saat matahari baru saja terbit dan meminta izin pada opa untuk membawaku ke resort.    

  Opa terkejut saat mengetahui Astro sudah memberitahuku bahwa resort yang dia tunjukkan beberapa minggu lalu adalah miliknya. Opa berpikir saat itu dia hanya ingin mengajakku berjalan-jalan. Namun opa tetap memberikan izin saat dia menjelaskan dia membutuhkan bantuanku untuk mendesain ulang resort. Dia berkata dia ingin mendapatkan suasana resort yang baru.    

  "Kita sarapan dulu." ujarnya.     

  Dia memberi isyarat padaku agar keluar dari mobil. Aku mematikan laptopku, membereskan barang-barangku dan berniat membawa ranselku bersamaku.    

  "Ga usah bawa semuanya, Nona. Bawa hape aja. Di sini aman kok."    

  "Okay." ujarku sambil membawa handphoneku dan meninggalkan yang lainnya di mobil, lalu mengikutinya berjalan ke restoran.    

  Suasana makan malam beberapa waktu lalu masih teringat jelas di kepalaku. Walaupun saat ini matahari sudah tinggi, sepertinya aku akan mencegahnya mengajakku duduk di balkon itu lagi.    

  "Kita makan di sini aja ya, ga usah ke atas." ujarku sambil menunjuk beberapa deret meja sesaat setelah kami masuk ke area restoran. Restoran itu sudah ramai dengan pengunjung yang sedang sarapan.    

  "Kenapa ga mau di atas?"    

  "Pengen liat suasana yang lain."    

  "Tapi aku suka di atas. Lebih private." ujarnya sambil menatapku tatapan memelas.    

  Uugh sepertinya aku harus mengikuti keinginannya kali ini. Tatapan di matanya membuatku sulit menolaknya.    

  "Mm ... okay."    

  Kami memasuki area dapur yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan. Ada belasan chef dan beberapa asisten sedang hilir mudik dengan cepat. Astro menghampiri Ray yang sepertinya sedang membuat dessert di salah satu sudut dekat deretan oven yang menguarkan aroma manis.    

  "Pagi, Ray." Astro menyapanya.    

  "Loh kok kamu udah sampai? Kirain datengnya agak siang." ujar Ray sambil menepuk bahu Astro dengan akrab. "Ooh ... Hai, Faza."    

  "Pagi, Kak." ujarku untuk membalas sapaan Ray padaku. Aku tak yakin harus memanggilnya apa karena dia terlihat jauh lebih tua.    

  "Panggil Ray aja, ga usah pakai 'Kak'. I am not that old (Aku ga setua itu kok)." ujar Ray untuk meralat panggilanku padanya dengan senyum iseng terkembang di bibirnya.    

  "Kamu jangan pasang senyum begitu bisa kan, Ray?" ujar Astro dengan alis mengernyit mengganggu.    

  "Dia khawatir kamu naksir aku." ujar Ray sambil tertawa.    

  "Menu sarapan pagi ini apa?" Astro bertanya, aepertinya sengaja menyela tawa Ray yang semakin membuatnya terlihat tampan.    

  "Pasta, baked potato, sweet bread. Erm ... nanti aku minta pramusaji nganter menu dessertnya."    

  "Okay, aku tunggu di atas." ujar Astro sambil memberiku isyarat untuk mengikutinya.    

  Sinar matahari bersinar hangat di balkon, dengan udara yang terasa segar. Tak mengherankan sepagi ini sudah banyak pengunjung yang datang. Terutama hari ini adalah hari minggu.    

  Kami duduk di meja yang sama dengan beberapa waktu lalu saat kami ke sini. Tepat di sebelah teralis berukir rumit. Tak ada orang lain selain kami berdua, yang justru membuatku mengingat lagi suasana makan malam kami saat itu. Kurasa perutku mulai terasa menggeliat tak nyaman.    

  Pramusaji datang dengan membawa satu buket lavender yang segera diletakkan di tengah kami. Lalu meletakkan sekeranjang roti manis, seteko kecil susu dan seteko air dengan empat gelas di sisinya.    

  Aku menatap lavender itu, aku senang karena itu adalah bunga kesukaanku. Namun terasa canggung karena aku tahu Astro yang meminta mereka menyiapkannya. Seingatku aku hanya akan membantunya memberikan beberapa saran untuk mengubah suasana resort. Aku tahu ini bukan kencan seperti saat terakhir kali kami ke sini.    

  "Thank you." ujarku sambil menatapnya yang sedang menatapku kembali.    

  Astro tak mengatakan apapun, hanya tersenyum lebar karena aku menghargai pemberiannya. Dia menuang susu ke gelas kami, menyodorkan satu padaku dan meneguk sendiri bagiannya. Kelihatannya dia lapar sekali karena langsung mengambil sebuah roti dan mengunyahnya.    

  "Gimana cara kamu ngelola resort ini kalau aku boleh tau?" aku bertanya untuk mengabaikan rasa tak nyaman di perutku. Aku tak memiliki selera walau hanya meminum susu.    

  "Banyak caranya, tapi setiap ke sini aku bikin diriku sendiri keliatan kayak pengunjung."    

  "Maksud kamu gimana?"    

  "Aku udah bilang ke kamu kan kalau yang tau aku owner resort ini cuma keluargaku dan opa. Erm ... dan kamu."    

  "Maksud kamu karyawan di sini ga ada yang tau kalau kamu bos mereka?" aku bertanya dan mencoba menebak.    

  Astro menggumam mengiyakan, "Mereka taunya aku sepupu Ray. Akan lebih gampang ngasih nilai buat kinerja mereka pas mereka tau kalau aku bukan bos mereka."    

  "Trus gimana caranya aku bisa ngasih masukan desain buat resort kamu kalau kita cuma pengunjung?"    

  "Anggep aja kamu lagi main di resort ini. Kamu bisa kasih aku saran apapun dari apa aja yang kamu liat yang menurut kamu lebih bagus kalau diganti."    

  "Maksud kamu kita bakal check in kayak pengunjung lain?"    

  "Pinter." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.    

  "Kamu ga mikir kita keliatan lagi ... mm ... kamu tau...?"    

  "Aku tau. Kita kan emang selalu keliatan kayak couple." ujarnya yang masih menatapku dengan senyum menggodanya yang biasa.    

  "Kamu ga peduli sama pikiran orang lain kalau mereka liat anak SMA seumuran kita check in berdua?"    

  Sepertinya dia mengerti kegusaran dalam diriku, tatapannya berubah serius dan menatap mataku lekat. Seperti tak rela membiarkan satu ekspresi pun lepas darinya.    

  Aku tahu kami bisa menjaga diri kami masing-masing. Kami bahkan selalu menghindari melakukan kontak fisik apapun. Kami biasanya akan saling menghormati batasan masing-masing selama ini.    

  Kejadian malam saat aku membelai kepalanya adalah pengecualian. Sepertinya kami sedang tak dapat berpikir dengan baik malam itu. Itu adalah kontak fisik kami yang pertama setelah bertahun lamanya sejak kami berkenalan. Setidaknya itu sejauh yang bisa kuingat.    

  Namum membiarkan orang lain menilai apa yang menurut mereka benar adalah hal yang berbeda. Orang lain akan berpikir kami akan melakukan tindakan asusila jika datang ke resort dan check in berdua.    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.