Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Pensiun



Pensiun

0  Opa duduk di kursi bacanya yang biasa dan memintaku duduk di kursi manapun yang aku inginkan. Aku memilih kursi di sebelah kanan opa.    

  "Mafaza punya pertanyaan?" ipa mengawali pembicaraan malam itu dengan bertanya padaku.     

  Aku ingin tahu tentang kakek Arya, apakah ini saatnya aku bertanya?    

  "Gimana hasil check up Opa kemarin? Maaf Faza ga bisa nemenin Opa sama Oma ke sana." kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Kurasa aku akan bertanya tentang kakek Arya nanti saja.    

  "Kondisi Opa baik, tapi dokter bilang Opa harus lebih banyak beristirahat. Itu sebabnya Opa ingin bicara sama Mafaza."    

  Aku menunggu apapun kalimat opa selanjutnya dalam diam.    

  "Seperti yang Mafaza tahu, Opa sudah tua. Opa masih bisa beraktivitas, tapi ga bisa seaktif dulu. Sudah waktunya Opa pensiun."    

  Aku menunggu opa melanjutkan kalimatnya, tapi hening cukup lama. Hingga aku memberanikan diri untuk bertanya. "Opa mau Faza yang tanggung jawab ngurusin bisnis toko kain?"    

  Opa mengangguk perlahan, "Mafaza cerdas, pasti bisa. Satu setengah tahun ini Mafaza sudah belajar banyak di toko yang di Anjungan, bukan? Mafaza pasti sudah memiliki bayangan bagaimana caranya mengurus semua cabang toko kita sekarang."    

  Jantungku berdetak kencang sekali. Apakah ini sudah saatnya?    

  "Faza mau belajar caranya dari Opa."    

  Opa mengangguk perlahan, "Mafaza sudah tahu Astro memiliki resort dan restoran bukan?"    

  Sepertinya opa ingin memastikan pengetahuanku sebelum melanjutkan pembicaraan kami. Aku hanya menganggukkan kepalaku.    

  "Opa pikir Astro baru akan memberi tahu Mafaza nanti setelah kalian lulus, tapi karena Mafaza sudah tahu, maka Mafaza bisa belajar banyak dari Astro. Astro pasti akan membantu kalau Mafaza meminta bantuannya."    

  Aku mengangguk dan berpikir cukup lama sebelum memberanikan diri bertanya, "Mm ... Opa ... Astro pernah bilang soal hubungan Opa sama kakek Arya, tapi ga mau cerita lebih lanjut. Faza boleh tau ceritanya dari Opa?"    

  Opa berpikir sesaat sebelum menjawab, "Arya adalah sahabat Opa sejak Opa kecil di masa awal kemerdekaan negara kita dulu. Seperti yang Mafaza tahu, Astro adalah cucunya Arya. Opa sudah mengenal Astro sejak Astro masih bayi. Astro adalah laki-laki yang baik. Opa percaya Mafaza akan aman berada di dekat Astro."    

  Sepertinya hanya itu informasi yang bisa kudapatkan. Alih-alih membahas tentang kakek Arya, opa lebih memilih membahas tentang Astro.    

  "Mafaza akan tahu lebih banyak jika sudah waktunya untuk Mafaza mengetahuinya." opa menambahkan, sepertinya memahami jawaban opa yang sebelum ini kurang memuaskanku. "Mafaza punya pertanyaan yang lain?"    

  "Opa udah ketemu pak Simon bulan ini? Kayaknya Faza belum liat." ujarku yang tiba-tiba mengingat manager yang bekerja untuk perusahaan ayahku.    

  "Simon datang rabu kemarin untuk memberi laporan. Laporannya ada di meja itu. Ada yang lain?"    

  Aku menggelengkan kepalaku.    

  Opa mengangguk perlahan, "Kalau begitu Mafaza bisa istirahat sekarang."    

  Aku mengangguk dan menghampiri meja sudut yang dimaksud opa, "Berkasnya boleh Faza bawa?"    

  Opa mengangguk, lalu aku pamit dan kembali ke kamarku. Aku menaruh berkas dari pak Simon di meja, mengecek handphone dan menemukan pesan dari Astro.    

  Astro : Aku udah di rumah. Thank you hari ini udah bantu inspeksi resort buat desain baru    

  Aku : Desain yang aku kasih tadi udah jelas?    

  Astro : Jelas kok. Kamu harus istirahat sekarang, besok pagi aku jemput    

  Aku : Okay    

  Aku berbohong padanya. Mana mungkin aku bisa beristirahat sekarang setelah percakapanku dengan opa? Aku ingin mempelajari berkas dari pak Simon lebih dulu.    

  Aku bisa menebak, setelah aku mampu bertanggung jawab penuh dengan semua cabang toko kain opa, aku akan diberi tanggung jawab mengelola perusahaan peninggalan ayahku. Aku merasa senang, juga gugup di saat yang sama. Walau begitu, kurasa sekarang aku akan mandi dulu.    

  Aku melihat paper bag pemberian Astro tergantung di sebelah pintu kamar mandiku. Aku membuka botolnya dan menghirup aroma green tea segar dari sana. Aku belum sempat mencobanya, sepertinya aku akan memakainya sekarang karena sampo dan kondisioner milikku sudah habis.    

  Setelah ini, aku hanya berharap aku tak lagi membayangkan aroma Astro karena aku sendiri sudah memakainya. Kurasa itu akan jadi aromaku mulai sekarang.    

  ***    

  Lima belas menit terakhir sebelum bel istirahat kedua kami berbunyi, digunakan untuk memilih destinasi study tour akhir semester ini. Dari sekian banyak saran, kelas kami memilih Kebun Buah Mangunan untuk dikunjungi.     

  Handphoneku bergetar tepat saat bel bebunyi. Aku mengambilnya dari saku dan menemukan sebuah pesan dari Astro.    

  Astro : Aku ga bisa ke kantin, pak Sugeng mau liat progres robot. Kamu jangan lupa makan siang    

  Aku : Iya    

  Sebetulnya aku tak memiliki selera untuk makan apapun siang ini. Setelah destinasi study tour berhasil dipilih, aku tiba-tiba merasa rindu sekali dengan keluargaku. Hingga membenamkan diri dengan satu halaman buku sketsa dan sederet list musik untuk menemaniku duduk di meja.    

  Aku membuat sketsa ayah, bunda, diriku sendiri, Fara dan Danar versi kami enam tahun lalu. Aku yang selalu memakai celana dan kaos, dengan rambut dikepang asal dan memakai topi. Fara yang masih menuruti bunda memakai gaun terusan sepanjang betis. Danar yang selalu memegang buku cerita bergambar singa favoritnya (aku dan Fara pernah beberapa kali menyembunyikan buku itu dan membuat Danar menangis kencang sekali).    

  "Itu sketsa keluarga masa depan kamu? Mau punya anak tiga?" aku mendengar suara Zen di sebelahku, ada senyum mengembang di bibirnya saat aku menoleh.    

  Aku melepas earphone di telingaku, "Mereka ayah, bundaku. Ini Fara, yang ini Danar, dua-duanya adikku." aku menjelaskan pada Zen dengan menunjuk masing-masing sosok sketsa yang kubuat.    

  "Aku ga tau kamu punya dua adik." ujarnya dengan ekspresi terkejut dan bingung di saat yang sama.    

  "Sekarang udah ga ada."    

  Dia menatapku cukup lama sebelum menyadari maksud kalimatku, "Ooh, sorry ... Aku ... ga tau."    

  Aku menggelengkan kepalaku perlahan, "Ga pa-pa, Zen."    

  Lalu hening di antara kami hingga aku melanjutkan menggores sketsaku dalam diam.    

  "Mereka kenapa kalau aku boleh tau?" Zen bertanya dengan suara pelan setelah rasanya kami berdiam diri lama sekali.    

  Aku menoleh padanya dan berpikir sesaat, "Lima tahun lalu kita lagi liburan. Jembatan gantung yang kita lewatin tiba-tiba ambruk. Kita semua kebawa arus sungai yang deres banget. Aku kebetulan bisa selamat, tapi ... mereka semua meninggal."    

  "Itu sebabnya kamu sekarang tinggal sama opa kamu?"    

  Aku menggumam mengiyakan. Dia terlihat sangat bersimpati. Tatapan yang terlihat jujur untukku. Aku menghargainya karena ikut bersedih untuk keluargaku.    

  "Pasti berat ya?" entah dia sedang bertanya atau memastikan pendapatnya.    

  "Udah lewat kok. Astro banyak bantu aku ngilangin trauma."    

  "Jadi kamu ketemu Astro sejak kamu pindah ikut opa kamu?"    

  Aku hanya mengangguk dan tak mengatakan apapun, tapi sepertinya dia mendapatkan jawabannya sendiri. Pupil matanya yang berwarna hitam terlihat lebih lebar.    

  "Sorry, Za, kayaknya kemarin aku sempet ngomong ga sopan sama kamu." ujarnya ragu-ragu.    

  "Ga kok, aku malah jadi tau gimana pandangan orang lain ke aku. Makasih udah ngingetin."    

  "Berarti Astro jadi semacem pengganti keluarga? Aku inget pas nganter kamu ada ayahnya Astro. Aku sempet mikir yang aneh-aneh."    

  "Kamu mikir apa?"    

  "Ga penting, Za. Aku ngerti kok sekarang." ujarnya sambil tersenyum lebar.    

  "Kamu ada keturunan Jepang ya, Zen?" tiba-tiba saja aku bertanya secara random karena teringat namanya di mading tertulis: Hayakawa Zen.    

  "Nenekku orang sana. Nenek mau aku dinamain pakai nama ayahnya. Mukaku ga ada jepang-jepangnya sih, jadi biasanya orang lain ga tau kalau bukan karena tau nama lengkapku."    

  "Kamu pernah ke sana?"    

  "Cuma sekali, tapi aku udah lupa sih."    

  "Nenekku dari ayah ada di Jepang, tapi aku ga tau lagi gimana kabarnya. Terakhir nenek ke sini ga lama pas tau ayah meninggal. Sekarang mungkin nenek ngerasa bisa ngelepas aku karena ada opa sama oma."    

  "Mungkin kita bisa ke Jepang bareng nanti. Kita bisa cari nenek kamu di sana."    

  "Mm ... aku ga yakin, mungkin nenekku juga udah lupa sama aku. Udah lama banget. Nenek kamu sekarang masih di Jepang?"    

  "Nenekku ada di Jogja, tapi kerabat nenek ada di Jepang. Jadi kalau nanti aku lagi ga punya uang di sana ada yang bisa dimintain tolong buat nampung aku." ujarnya sambil tertawa.    

  Entah kenapa pembicaraan ini terjadi begitu saja. Kami membicarakan macam-macam hal yang berhubungan dengan Jepang dan baru menghentikan percakapan kami saat bel berbunyi.    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.