Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Jarak



Jarak

2  "Enak?" aku bertanya untuk menggoda Astro saat melihatnya kepedasan, tapi tetap melanjutkan makan.    

  Saat dia menukar makanannya denganku beberapa waktu lalu, aku tak begitu memperhatikan ekspresi makannya karena aku sedang merasa kesal. Sekarang aku tahu bahwa ternyata dia memang menyukainya.    

  Astro menatapku dan tersenyum lebar sekali. Namun segera lenyap sesaat setelahnya. "Tapi ga boleh sering-sering."    

  Aku menurunkan kaleng dari kepalaku dan mulai memakan kwetiau pedas milikku. Enak sekali.    

  "Kenapa kamu pesen es semangka? Kamu ga pernah pesen itu sebelumnya." aku bertanya setelah menelan suapan pertamaku.    

  "Liat kamu minum itu kayaknya enak."    

  "Kita lagi tukeran selera atau gimana sih?" aku bertanya lagi saat mengingat aroma samponya yang ingin kumiliki juga.    

  Astro menaikkan bahunya sesaat, "Aku ga keberatan tukeran selera sama kamu. Selera kamu bagus."    

  Kalimatnya membuatku berpikir. Entah kenapa atau apakah aku hanya berpikir berlebihan, tapi sejak aku mengelus kepalanya di teras belakang, dia memang menjadi lebih terbuka dengan kalimat-kalimatnya. Sering terasa seperti dia sedang mengungkapkan ... astaga, bagaimana mungkin aku berpikir seperti itu?    

  Sepertinya aku benar-benar perlu menjernihkan pikiranku. Aku mengambil kaleng yang kupakai untuk meredakan sakit bekas terbentur dagunya, lalu kuletakkan kembali di dahiku. Aku sangat berharap bisa menghilangkan pikiran-pikiran aneh dari kepalaku saat ini.    

  "Perasaan di situ tadi ga kena." ujarnya dengan alis mengernyit mengganggu.    

  "Panas." ujarku mencoba memberi alasan, lalu melanjutkan aktivitas makanku.    

  "Iya sih. Weekend ini kamu mau ke toko?"    

  "Aku ada janji ngedate malem minggu ini." aku menjawabnya asal saja.    

  Tiba-tiba dia menghentikan suapannya dan menatapku tajam, "Sama siapa?"    

  Aku mengangkat bahuku dan tak menjawab pertanyaannya.    

  "Faza." dia memanggilku dengan begitu serius, embuatku menoleh padanya. Entah kenapa tatapan matanya terlihat menderita.    

  "Aku kan mau nginep di rumah Denada bareng Mayang." ujarku sambil menurunkan kaleng dingin dari dahiku karena ingin melihat ekspresinya dengan lebih jelas.    

  Astro menyentil dahiku dengan kencang, "Jangan bercanda begitu. Aku ga suka."    

  Aku mengelus dahiku yang disentil olehnya. Sebetulnya rasanya tak terlalu sakit, tapi entah kenapa hal itu terasa mengganggu. Aku tahu ada kegusaran dalam tatapan matanya walau dia tak mengatakan apapun lagi.    

  Kami menghabiskan makanan kami tepat saat bel berbunyi. Kami naik ke lantai tiga bersama, tapi terasa seperti ada jarak yang baru terbuka.    

  Astro mendiamkanku, sementara aku tak berusaha untuk membuat kekesalannya menghilang. Kami bahkan berpisah di persimpangan koridor begitu saja tanpa mengatakan apapun.    

  ***    

  Beberapa hari setelahnya Astro tetap menjemputku ke sekolah, tapi kami hanya akan diam saja sampai saatnya kami menyelesaikan sarapan kami. Kami menunggu bel berbunyi dengan menghabiskan waktu berkutat dengan diri kami sendiri sebelum beranjak ke kelas kami masing-masing.    

  Astro terlihat seperti menghindari bertatap mata denganku dan berhenti mengajakku bicara. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana jadi aku hanya diam saja. Kami bahkan berhenti saling mengirim pesan yang membuat kami tak saling bertemu saat jam istirahat tiba.    

  Mungkin aku terlalu berlebihan saat menggodanya dengan berkata aku memiliki kencan. Aku berkali-kali memikirkan hal itu, tapi bibirku selalu tak bisa mengatakan apapun saat sedang bersamanya. Ini terasa aneh sekali.    

  Tiba hari sabtu, sesuai dengan rencana. Aku dan Mayang akan menginap di rumah Denada. Aku sampai di rumah besar bercat putih dan biru lembut dengan gaya Victorian di dalam sebuah komplek villa. Aku keluar dari mobil, membuka pintu tengah, memakai ransel dan menenteng dua box brownies untuk sahabat-sahabatku.    

  "Makasih ya, Pak. Aku pulangnya besok sore. Tolong titip opa sama oma ya." ujarku pada pak Said yang mengantarku.    

  "Iya, Mbak Faza."    

  Aku berjalan menuju pintu kayu besar yang terbagi menjadi dua sisi, lalu mengetuk ornamen khusus berbentuk singa yang tertempel di pintu. Tak lama, nanny Tris muncul dan tersenyum simpul saat melihatku.    

  "Nona Denada ada di kamar. Mari." nanny mengajakku mengikutinya ke lantai dua. Tepat di mana kamar Denada berada. Nanny Tris membantuku mengetuk pintu dan Denada muncul tak lama setelahnya.    

  "Faza!" ujar Denada sambil memelukku erat dan mengajakku masuk. "Thank you, Nanny."    

  Nanny Tris hanya mengangguk dan berlalu. Denada menarikku masuk ke kamarnya dan menutup pintu.     

  Kamar ini masih sama seperti yang kuingat. Dua kali ukuran kamarku di rumah opa, dengan banyak ukiran bergaya Victorian yang sesuai dengan desain rumah ini. Hanya beberapa ornamen, furniture dan lukisan yang sudah berganti dengan yang baru, tapi ada satu sudut rak kaca yang tertempel di dinding. Berisi tiara dan bunga lavender artifisial yang kubuat lima tahun lalu. Aku senang Denada masih menyimpannya dengan baik.    

  Aku menghampiri Mayang yang sudah duduk di sofa tepat di sebelah jendela yang mengarah keluar. Kami saling berpelukan, seperti sudah lama sekali tak bertemu.    

  "Aku udah niat mau seneng-seneng dua hari ini. Aku mau lupain sebentar semua hal yang berbau ujian." ujar Mayang.    

  "Gitu dong, May.jangan dibawa stress nanti cepet keriput. Aku bawa brownies nih. Aku bikin dua sesuai janji." ujarku sambil menyodorkan paper bag berisi dua box brownies pada Denada.    

  "Iih kamu baik banget! Makasih ya." ujar Denada sambil membuka satu box brownies untuk kami nikmati sambil berbincang dan menyimpan satu box lain di kulkas kecil di sudut kamarnya.    

  "Mau susu, soda atau yoghurt?" Denada bertanya.    

  "Susu" ujar Mayang.    

  "Aku mau yoghurt." ujarku.    

  Denada kembali dengan minuman pilihan kami dan ikut duduk di sofa di samping jendela. Kami mengambil sepotong brownies untuk diri kami masing-masing dan menggigitnya.    

  "Gimana persiapan ujian kalian?" aku bertanya.    

  "Bukannya baru beberapa menit lalu aku bilang aku ga mau mikirin ujian?" Mayang menegurku.    

  "Oh sorry, aku refleks aja nanyanya." ujarku sambil tertawa.    

  Denada menggelengkan kepalanya sambil menatapku, "Kamu bakal tau gimana rasanya ujian sekolah tahun depan."    

  Aku tak mengatakan apapun dan hanya tersenyum menyadari kebenaran di kalimatnya. Mungkin tahun depan aku sedang merasa tertekan memikirkan ujian dan bisnis toko kain opa yang diwariskan padaku.    

  "Gimana sekolah kamu? Lebih seru dibanding homeschooling? " Mayang bertanya padaku.    

  Aku berpikir dalam diam. Aku ragu-ragu bagaimana harus menceritakan kejadian yang baru-baru ini terjadi tanpa membuat mereka khawatir. Haruskah aku menceritakan semuanya?    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.