Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Strawberry



Strawberry

0  "Manis banget!" ujar Mayang yang baru saja menggigit strawberry yang dipetik sendiri olehnya.    

  "Aku bisa bikin pie atau cake buah pakai ini." ujarku saat melihat keranjang di tanganku yang hampir penuh.    

  "Makanya sering ke sini dong. Kalau lagi panen kan kalian bisa bawa pulang terserah kalian." ujar Denada.    

  Kami sedang berada di lantai paling atas rumah Denada, yang diubah menjadi sebuah rumah kaca dengan belasan deret pohon strawberry hidroponik yang sedang matang. Nanny Tris yang memiliki ide memanfaatkan lahan di lantai ini karena sering mengikuti perkembangan pertanian hidroponik dari internet.    

  Perutku sudah terasa kenyang karena sarapan lima lembar pancake dan salad. Mka aku hanya memakan dua buah strawberry saja. Strawberry yang sudah kupetik ini akan kubawa pulang untuk oma dan opa.    

  "Udah metiknya? Kita turun yuk." ujar Denada.    

  Aku dan Mayang mengikutinya karena sudah merasa puas bermain di area hidroponik itu sejak pagi. Kami memindahkan strawberry petikan kami di tempat baru yang terbuat dari rotan dengan penutup di atasnya, lalu kami membawanya ke kamar Denada agar tak lupa untuk membawanya pulang sore nanti.    

  "Nanti bareng aku aja, May. Aku di jemput pak Said. Kita bisa anter kamu dulu ke rumah." ujarku pada Mayang yang sedang membereskan barang-barangnya.    

  "Thank you." ujar Mayang.    

  "Kita mau ngapain lagi? Aku kenyang. Mager ih udah di kasur begini." ujar Denada yang sedang merebahkan tubuhnya pada salah satu bantal di tempat tidurnya.    

  Tak lama, terdengar suara pintu diketuk. Aku dan Mayang saling bertatapan, sepertinya aku lah yang akan membukanya.     

  Aku beranjak untuk membuka pintu dan terkejut saat menemukan ibu Astro berada di sana, "Ibu?"    

  Aku menyalami dan mencium tangannya seperti yang biasa kulakukan. Denada dan Mayang melakukan yang sama saat menyadari siapa yang datang.    

  Ibu Astro tersenyum padaku, "Ibu ada urusan sama mama Denada, tapi ada Astro di bawah kalau Faza mau ketemu."    

  Aku menoleh ke arah kedua sahabatku dan meminta pendapat dalam diam.    

  "Ga pa-pa, Za. Nanti Mayang biar aku yang anter sekalian aku keluar. Kamu ke Astro aja." ujar Denada.    

  Sepertinya dia benar-benar akan menjodohkanku dengan Astro. Mengingat percakapan rahasia kami tadi pagi yang tak diketahui Mayang.    

  Aku menatap Mayang untul meminta keputusannya. Mayang hanya mengangguk menyetujui.    

  "Ibu tinggal ya. Ibu ada kerjaan sama mama Denada. Faza langsung ke Astro aja." ujar ibu Astro yang segera berlalu.    

  Aku membereskan barang-barangku dan memakai ranselku, menenteng strawberry yang baru saja kupetik, lalu berpamitan pada Denada dan Mayang. Walau sebetulnya aku ragu-ragu apakah aku akan benar-benar menemui Astro saat ini.    

  "Sorry ya aku duluan. Nanti kita bikin jadwal nginep lagi." ujarku sambil memeluk Denada dan Mayang.    

  "Udah, sana."ujar Denada sambil mendorongku perlahan keluar kamar untuk melepasku pergi.    

  "Hati-hati ya, Za." ujar Mayang dengan senyum terkembang di bibirnya.    

  Aku berjalan meninggalkan kedua sahabatku dengan berat hati. Entah kapan kami akan saling menginap lagi.    

  Menuruni tangga rumah Denada tak pernah terasa seberat ini sebelumnya. Namun membayangkan Astro di bawah sana semakin membuatku merasa tertekan. Aku harus mengatakan kalimat apa jika nanti kami bertemu?    

  Aku sampai di ruang tamu, tapi tak ada siapapun di sana. Bagaimana jika Astro ternyata sudah pulang karena masih marah padaku?    

  Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ada mobil Astro di sana, dengan Astro berada di balik kemudi. Tangannya terlipat di kemudinya, menyembunyikan wajahnya. Apaah dia sakit? Dia tak biasanya bersikap begitu.    

  Aku berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu tengah perlahan untuk menaruh barang-barangku. Aku sempat berniat akan duduk di sana andai saja aku tak melihat Astro mengangkat kepalanya dan menatapku dalam diam.    

  Aku menutup pintu tengah dan berpindah ke depan, duduk di sebelahnya dalam diam. Kenapa jantungku berdetak kencang sekali? Aku ingin sekali menoleh, tapi sepertinya aku tak memiliki cukup keberanian untuk itu. Dadaku bahkan terasa sesak sekarang.    

  Aku mengalihkan tatapanku pada jendela di sebelahku dan menatapi pantulan sosok Astro dari sana. Kenapa matanya sayu sekali? Benarkahdia sakit? Lalu kenapa dengan tangannya yang terluka seperti itu? Iku ingin sekali bertanya, tapi kenapa aku justru menghindarinya seperti ini?    

  Astro menatapku dalam diam, cukup lama hingga akhirnya menyalakan mobilnya. Hening lama sekali di antara kami karena tak ada satu pun yang bicara. Aku pun tak tahu akan dibawa ke mana. Ini bukan arah jalan pulang. Aku ingin bertanya, tapi tenggorokanku tercekat dan tak ada suara yang mampu keluar.    

  Aku ingat opa pernah berkata bahwa aku akan aman bersama Astro. Sepertinya aku akan percaya saja. Astro tak mungkin membuat opa kecewa, bukan? Setidaknya kuharap begitu.    

  Kami berkendara melewati hutan dengan deretan pepohonan yang tinggi menjulang. Aku ingin membuka jendela agar udara segar bisa masuk dan membantuku bernapas dengan lebih baik, tapi aku membatalkan niatku karena aku ingin membuat sebuah gerakan yang tak perlu.    

  Entah sudah berapa lama kami berkendara hingga Astro menghentikan mobilnya di depan sebuah jurang. Sepertinya tadi kami menaiki deretan bukit dan sekarang sedang berada di salah satu tebingnya.    

  Astro keluar segera setelah sampai dan menyandarkan tubuhnya di kap mobil. Dia berdiam diri di sana tanpa melakukan apapun, hanya menatap jauh ke ujung pandangannya.    

  Sebetulnya aku enggan sekali keluar. Bahkan rasanya aku ingin pulang saja, tapi ada sesuatu yang harus diselesaikan. Aku tak ingin berlama-lama memiliki jarak dengannya seperti ini.    

  Aku keluar dengan membawa salep luka yang selalu ada di ranselku dan sekotak strawberry yang kupetik di rumah Denada. Aku meletakkan strawberry di atas kap mobil dan mengamit tangan Astro untuk mengoleskan salep di jari-jari tangannya yang berwarna merah kebiruan. Aku tahu dia sedang menatapku dan menungguku bicara.    

  "Tangan kamu kenapa luka begini?" aku bertanya. Mengoleskan salep memberiku alasan untuk tak menatap matanya.    

  "Empat hari kita dieman dan yang pertama kamu tanya cuma tanganku?" Astro bertanya dengan nada tersinggung yang jelas sekali.    

  "Jawab aja kenapa sih?" ujarku sambil menekan lukanya dengan kencang karena kesal, tapi aku melihat tangannya bergetar dan membuatku tak tega, "Sakit?"    

  Tiba-tiba saja aku refleks menatapnya. Matanya sayu sekali, seperti tak tidur selama beberapa hari. Namun ada tatapan menderita yang sulit kupahami. Sebetulnya ada apa dengannya?    

  "Tangan kamu kenapa?" aku bertanya lagi dan memberanikan diri terus menatap matanya kali ini. Matanya yang menatapku tajam itu terlihat mengganggu.    

  "Cuma ngeluarin energi berlebihan pakai samsak dua jam ..."    

  "Seriously?"    

  "Karena ada perempuan ga peka yang bercandanya ga lucu." Astro melanjutkan kalimatnya yang tersela olehku.    

  Dia membuatku menelan kalimatku yang baru saja akan kulontarkan padanya. Kenapa dadaku terasa sangat berat?    

  "Kamu pikir aku sebodoh itu ya?" aku bertanya, sepertinya aku akan mengakuinya kali ini. "Aku bakal nunggu kalau emang kamu butuh waktu. Aku juga suka sama kamu, kamu tau?"    

  Pupil matanya yang berwarna coklat gelap melebar dan entah bagaimana tatapannya berubah menjadi lebih lembut. Bibirnya bergetar. Seperti akan mengatakan sesuatu, tapi dia menahannya.    

  Aah aku sudah mengatakannya dan dia tak mengatakan apapun. Situasi ini membuatku merasa canggung.    

  Aku melepas tatapan mataku dan kembali mengoleskan salep di tangannya. Dua tangannya terluka. Apa yang sebenarnya dia pikirkan saat memukul samsak hingga tangannya terluka seperti ini?    

  Aku sudah selesai mengoleskan salep di tangannya, tapi dia masih bergeming. Kurasa aku akan kembali ke mobil saja dan memilih untuk tidur. Entah kenapa, tubuhku tiba-tiba terasa lelah.    

  Baru dua langkah aku beranjak dari sana, Astro mengamit tanganku dan entah bagaimana aku sudah beada di dalam pelukannya, dengan jantungnya yang berdetak kencang di telingaku.    

  "Aku cuma akan begini sama kamu kali ini. Akan butuh waktu lama kalau kamu mau begini lagi. Kamu minta pun aku ga akan kasih." ujarnya.    

  Entah kenapa, terasa nyaman dan hangat. Detakan jantungnya di telingaku terasa semakin kencang. Napasnya yang berhembus di puncak kepalaku terasa hangat.    

  "Kenapa?" aku bertanya.    

  "Meluk kamu gini bikin aku sakit. Aku laki-laki yang sehat banget, kamu tau?" ujarnya dengan tangan kanannya membelai kepalaku dengan lembut.    

  Aku mendongkakkan kepala untuk menatap matanya, "Kamu bisa lepas kalau emang aku bikin kamu sakit."    

  Astro menaruh dahinya di dahiku, "Sebentar lagi. Ini yang terakhir. Aku mau semuanya siap sebelum waktunya. Kamu udah bilang kamu mau nunggu. Kamu harus janji."    

  Sebuah belaian terlepas dari tangannya. Aku tahu betapa kuat dia menahan diri, maka aku akan membiarkannya kali ini.    

  "Aku masih single ya."    

  Astro menatapku dengan tatapan nanar, "Aku udah janji sama opa buat jaga kamu baik-baik. Aku ga akan langgar janjiku. Aku akan nahan diri sampai waktunya tepat. Tolong jangan bercanda begitu lagi."    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.