ExtraPart [12]
ExtraPart [12]
Kyle yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatapku sendu dan menggeleng pelan. Sepertinya dia cukup tahu diri untuk tak memberiku tekanan tambahan di situasi ini.
Aku memang meneleponnya dan memintanya menjemputku di perbatasan kota secara rahasia karena merasa tak mampu melanjutkan perjalanan seorang diri. Aku takut untuk bertemu Astro atau keluarganya, juga Oma. Aku meminta Kyle menemaniku ke rumah peninggalan Opa dan di sini lah kami saat ini.
"Nona ...."
"Jangan panggil aku 'Nona'. Kamu sebentar lagi nikah." ujarku dengan gusar.
"Baik." ujar Kyle dengan tatapan lembut. "Kamu harus istirahat."
Aku menatapnya dalam diam. Dia adalah adik dari Ayahku, walau bukan anak yang dilahirkan dari pernikahan legal. Aku mengerti jika dia merasa harus menemaniku dengan status sebagai seorang yang terikat dengan darah dan aku sangat menghargainya.
"Astro nyari kamu ke mana-mana. Aku ga bisa sembunyiin kamu terlalu lama."
Aku mengangguk sambil memejamkan mata. Astro memang tidak meneleponku hingga saat ini. Namun jika Kyle berkata Astro mencariku, maka mungkin hal itu benar. Aku merasa sedikit lega walau perutku masih terasa tak nyaman.
Air mata mengalir tanpa mampu kutahan. Namun aku berusaha menahan isak hingga dadaku terasa sesak karena menangis dalam diam. Aku tak berniat untuk mengatakan apapun dan sepertinya Kyle mengerti.
Entah berapa lama aku menangis hingga memimpikan seorang anak yang tak kukenali. Walau tak yakin anak itu laki-laki atau perempuan, anehnya aku merasa dekat dengannya. Aku membuka mata tepat saat samar-samar mendengarnya memanggilku "Bunda".
Aku tersentak saat mendapati Astro sedang berbaring di sebelahku dan menggenggam tanganku. Aku melepas genggaman tangannya dan terduduk saat bertatapan mata dengannya. Tubuhku bahkan merangsek mundur untuk menjauhinya.
Astro menatapku sendu sambil duduk di hadapanku. Dia berusaha mengamit tanganku kembali, tapi aku menepisnya dan kembali menjauhkan diri hingga tubuhku terpojok.
Aku merasa harus kabur darinya, tapi tubuhku tak mampu bergerak lagi. Air mataku justru meleleh tanpa mampu kutahan dan baru menyadari mungkin Kyle yang memberi tahu tentang keberadaanku pada Astro. Aku lah memang menyanggupi ucapan Kyle yang berkata tak akan mampu menyembunyikanku terlalu lama. Aku hanya tak menyangka akan secepat ini.
Cahaya matahari yang memenuhi ruangan membuatku menyadari malam sudah berlalu. Hangat cahayanya yang mengenai tubuhku sangat kontras dengan suasana hatiku yang tiba-tiba berubah sangat buruk. Aku tak mengira akan seburuk ini rasanya saat bertemu kembali dengan suamiku.
"Maaf." kata itu meluncur dari bibirnya dan terdengar seperti angin lalu di telingaku.
Aku menatapnya dalam diam, dengan kewaspadaan penuh karena merasa terancam. Ya, aku tahu aku sedang merasa terancam.
"Aku minta maaf karena egois. Aku pikir kamu mungkin mau kalau dipaksa."
Aku mendengkus keras sambil mengedarkan tatapan ke sekeliling kamar yang dipenuhi cahaya matahari. Entah apa yang harus kukatakan pada pria yang berada di hadapanku ini.
Astro berusaha menyentuh tanganku, tapi aku menepisnya kembali. Entah apakah dia merasa aku menolaknya, tapi tatapannya berubah jauh lebih lembut dan menderita di saat yang sama, "I'm really sorry, Honey. Aku terima kalau kamu ga mau maafin, tapi tolong ikut aku pulang."
Aku mengabaikannya. Entah bagaimana aku mendapatkan tenagaku kembali. Langkahku terasa ringan hingga mampu berjalan dengan langkah panjang dan cepat keluar rumah, tepat menuju makam Opa berada, dengan kaki tanpa alas hingga membuatku mampu merasakan sensasi tanah sepanjang jalan. Aku tak melihat keberadaan orang lain selain kami berdua. Bahkan sepertinya Kyle sengaja menyingkir untuk memberi kami waktu.
Astro terus memanggilku sepanjang jalan walau aku mengabaikannya. Entah apakah dugaanku benar, tapi dia mungkin saja menyerah untuk menyentuhku setelah kutolak berkali-kali.
Langkah kakiku terhenti di samping makam milik Opa. Tepat di tengah antara makam Opa dan nenek buyutku. Aku duduk di tanah dan mengelus makam keduanya dengan kedua tanganku masing-masing satu. Makam itu terasa dingin di antara jariku.
Aku meletakkan kepala di lutut dan menatapi makam Opa. Lavender yang kutanam bertahun lalu masih ada dan menguarkan aroma harum dan menenangkan yang sangat kusukai hingga aku memejamkan mata. Namun aku bisa merasakan pergerakan Astro yang duduk tepat di hadapanku.
Astro terdiam dalam entah berapa lama waktu yang terlewat. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri dan tak berminat mengajaknya bicara. Namun seperti ini mungkin lebih baik. Setidaknya aku tak perlu berdebat dengannya saat kami sedang berada di sekitar Opa.
Aku tahu ini konyol sekali. Setelah sekian kali kehilangan aku masih saja menganggap penghuni makam akan mampu mendengar apapun yang kuucapkan di sekitar mereka.
Aku membuka mata dan memberanikan diri untuk menatap Astro sambil memeluk lutut, "Kemarin aku ketemu Bunda. Ketemu Zen juga."
Pupil matanya bergetar. Jelas sekali dia terkejut dan cemburu di saat yang sama. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu walau berusaha keras untuk menahannya.
"Zen mau nganter aku pulang, tapi aku tolak."
Astro mengalihkan tatapan dariku dengan rahang mengeras. Entah apa yang sedang berada di dalam pikirannya.
"Aku sempet mau lepas cincin nikah kita."
Astro kembali menatapku dengan tatapan tak percaya dan rasa bersalah yang sangat jelas. Dia hampir mengatakan sesuatu, tapi aku bicara lebih dulu.
Aku memperlihatkan padanya cincin pernikahan kami yang masih tertaut di jari manis kananku, "Tapi masih di sini."
"Aku ...."
Aku menggeleng gusar, "Aku minta maaf karena ga bisa jadi istri yang kamu mau. Aku emang banyak ngerepotin dan aku ngerti kalau kamu ga bisa sabar lagi ngadepin aku."
"Aku ngomong gitu karena lagi emosi dan ...."
"Dan kamu bener." ujarku sambil menatapnya lekat, dengan air mata yang entah bagaimana meleleh begitu saja dan aku merasa siap untuk pasrah saja kali ini. "I'm yours, Astro. Aku akan terima keputusan kamu karena aku cuma punya itu. Opa yang percayain aku ke kamu, tapi sekarang Opa udah ga ada. Aku cuma punya kamu kan?"
Astro terlihat terguncang dengan pupil mata bergetar dan tubuh yang terlihat lebih tegang. Aku akan menunggunya mengatakan sesuatu. Menunggunya bukanlah hal baru untukku dan aku akan menuruti apapun keputusannya kali ini. Tepat di samping makam Opa dan nenek buyutku. Biar mereka yang manjadi saksi di tengah limpahan hangatnya cahaya matahari yang menyelimuti area makam tua ini.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSIF di website & aplikasi WEBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan TAMAT tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVEL secara gratis, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN karena seharusnya chapter itu BERKOIN dan nou SANGAT TIDAK IKHLAS kalian baca di sana.
SILAKAN KEMBALI ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi, dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta untuk kalian, readers!
-nouveliezte-