ExtraPart [27]
ExtraPart [27]
Jariku masih bergetar saat ini. Aku berusaha menyadari keberadaan janin di dalam rahimku walau tak yakin dengan keberadaannya.
Jika aku memang benar hamil, tak mengherankan kenapa aku cepat lelah dan makan jauh lebih banyak dari biasanya. Aku bahkan tak mampu menjelaskan dengan tepat kenapa aku merasa lebih mudah tersulut emosi secara tiba-tiba dan merasa tubuhku bereaksi berbeda.
Aku mencoba mengingat saat perutku terasa nyeri di banyak kesempatan. Jika aku hamil, maka mungkin itu adalah sinyal agar aku berhenti beraktivitas. Dan jika aku hamil, maka bercak darah saat itu adalah karena aku kelelahan.
Aah, aku bahkan baru menyadari aku sering berkata sedang lelah. Padahal biasanya bisa menahan kalimat itu agar tak keluar dari bibirku selelah apapun yang tubuhku rasakan.
Aku tak berani menyentuh perut walau terus menatapinya dalam diam. Aku beberapa kali bermimpi tentang anak sejak kabur dari Astro. Apakah itu sebuah pertanda?
Aku menggeleng gusar. Berusaha menepis apapun tentang kemungkinan memikirkan tentang anak, tapi sosok anak di mimpiku yang memanggilku "Bunda" kembali terngiang di telingaku.
Sudah belasan buku tentang kehamilan yang kubaca dan aku sedang mencocokkan semua informasi yang berada di kepalaku. Tak ada alasan untukku menolak menggunakan alat uji kehamilan saat ini, tapi aku tak mungkin tiba-tiba membelinya saat berkata sedang menstruasi.
Ketukan di pintu membuyarkan pikiranku. Daun pintu terayun terbuka sesaat setelahnya, dengan Astro yang membuka pintu. Namun yang memasuki kamar adalah Bunda. Bunda menutup pintu sebelum duduk di tepi tempat tidur dan mengelus kepalaku, "Ga bisa tidur?"
Aku mengangguk sambil mengamit tangannya untuk kugenggam, "Kenapa Bunda ke sini?"
"Bunda ga boleh ke sini?"
"Bunda kan banyak kerjaan."
"Kerjaan bisa diselesaiin nanti. Faza kan ke sini jarang-jarang."
Aku memejamkan mata sambil mencium tangannya. Entah kenapa aku menangis.
"Bunda ga maksa kalau Faza ga mau cerita, tapi Faza harus tau kalau Faza bisa cerita apa aja." ujar Bunda sambil menggeser duduk lebih dekat padaku dan mengusap air mata di sudut mataku menggunakan tangannya yang lain.
Aku mengangguk tanpa mengatakan apapun. Aku tak yakin bagaimana harus mengatakan semua yang sedang kupikirkan. Dugaan kehamilan ini membuatku dilema.
"Nanti Bunda nyusul tiga bulan lagi, tapi mungkin cuma sebentar. Ga lebih dari setengah tahun." ujar Bunda sambil mengelus kepalaku.
Aku tahu yang dimaksudkannya adalah menyusulku ke Jerman. Namun bagaimana jika aku benar sedang hamil? Kehamilan trimester pertama sangat berisiko untuk penerbangan jarak jauh.
"Bunda seneng banget waktu hamil Faza kan." kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Kalimat itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan. Aku tahu bagaimana Bunda sangat bahagia saat mengandungku karena sudah membacanya di diary.
"Faza juga harusnya seneng kalau hamil. Astro ga sepenuhnya salah kok kalau pengen punya anak."
Aku membuka mata untuk menatap Bunda yang masih mengelus kepalaku, "Tapi Faza belum siap."
"Astro kan bilang mau nunggu Faza siap. Berarti udah ga ada masalah kan?"
Aku menatapnya dalam diam. Haruskah aku mengakui bahwa dugaan kehamilan ini mungkin benar?
"Tapi nanti Bunda mau dipanggil 'Nenek' kalau Faza punya anak." ujar Bunda dengan senyum lembut.
"Faza harus ngaku kalau Bunda sebenernya neneknya yang asli?"
Bunda tertawa, "Dia percaya ga ya nanti?"
Aah ....
"Bunda ga mau ngaku ke Oma? Ke Ibu juga? Kalian kan sahabatan lama. Ibu masih pakai kalung yang Bunda bikin dulu, kalau Bunda mau tau."
"Bunda ga mungkin bongkar identitas. Bunda masih sering kepoin kegiatan Nia kok dari sosmednya, tapi kan ga mungkin tiba-tiba bilang 'Hai, Nia. Aku Ana. Kita ke Bonaire yuk'." ujar Bunda dengan senyum tertahan. Mungkin menurutnya kalimat itu lucu, walau aku justru merasa sedih.
Aku menggeser kepala ke pangkuan Bunda dan memeluk kakinya, "Kalau Faza hamil, Bunda mau sering nemuin Faza nanti?"
"Iya dong. Cucu Bunda kan harus sering liat Bunda. Walau ga tau kalau Bunda nenek aslinya, Bunda bisa kok berperan jadi nenek beneran. Bawain banyak cemilan, ngasih uang jajan, ngajak jalan-jalan. Nanti ...."
"Bisa bantu beli testpack?"
Hening di antara kami selama beberapa lama. Hingga Bunda mengamit wajahku dan menatapku lekat, "Faza mau Bunda beli testpack?"
Aku mengangguk ragu.
"Katanya lagi mens?"
Aku terdiam sebelum bicara, "Faza pikir lagi 'dapet', tapi sebenernya keluar darahnya cuma sekali. Itu cuma bercak, jadi mungkin ...."
"Faza serius?" Bunda bertanya dengan ekspresi khawatir dan terkejut di saat yang sama.
"Faza juga ga yakin. Kalau bisa, Faza mau hamil nanti aja kalau udah selesai kuliah."
Bunda terdiam lama sebelum bangkit hingga membuatku mengangkat kepala dari pangkuannya. Bunda hampir saja menyentuh gagang pintu saat aku memaksa tubuhku duduk.
"Jangan bilang Astro."
Bunda mengangguk singkat sebelum membuka pintu dan keluar. Hanya dua menit setelahnya Bunda kembali masuk dan mengunci pintu, "Bulan lalu ada tastpack utuh yang ketinggalan di kamar. Disimpen sama staf karena mungkin yang punya mau ngambil, tapi ditelepon ga diangkat jadi Faza pakai aja."
Sebuah alat uji kehamilan yang masih tersegel berpindah ke tanganku. Aku menatapinya dalam diam karena tiba-tiba ragu akan memakainya atau tidak. Namun belum sempat aku memutuskan, Bunda mengamit tanganku hingga aku bangkit dan mengarahkanku menuju kamar mandi.
Aku belum sempat mengatakan apapun saat pintu kamar mandi tertutup. Tiba-tiba aku merasa gugup.
"Faza harus coba biar kita bisa tanganin lebih cepet. Bercak darah waktu hamil bahaya buat janin. Kalau bener hamil, kita harus ke dokter." terdengar suara Bunda dari luar sana. Pelan, tapi jelas di telingaku.
Aku merapatkan tubuh pada dinding. Jika benar aku hamil ....
Aku menghela napas dan menatapi pantulan diriku sendiri di cermin. Aku memantapkan hati untuk mengambil sampel urin dan menunggu hasilnya terlihat di alat uji kehamilan di genggamanku sambil mengucapkan mantra milik Astro di dalam hati.
Aku membuka kedua tangan.
Ada hal-hal yang tidak bisa aku dapatkan. Bukan karena aku tidak bisa mendapatkannya, tapi hal itu memang bukan seharusnya menjadi milikku dan aku harus mengendalikan diri dengan sabar.
Aku mengatupkan kedua tangan kembali.
Ada hal-hal yang memang akan menjadi milikku, walau aku tidak melakukan apapun. Bukan karena aku hebat, tapi karena aku diberi kepercayaan untuk menjaga hal-hal itu jauh lebih baik dibanding orang lain. Itu disebut tanggung jawab.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSIF di website & aplikasi WEBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan TAMAT tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVEL secara gratis, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN karena seharusnya chapter itu BERKOIN dan nou SANGAT TIDAK IKHLAS kalian baca di sana.
SILAKAN KEMBALI ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi, dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta untuk kalian, readers!
-nouveliezte-