ExtraPart [32]
ExtraPart [32]
Mataku menangkap keberadaan jam dinding di dekat kabinet dapur, pukul 07.11. Rupanya kali ini Astro membiarkan jam tetap berada di kamar ini. Padahal aku sudah berniat akan mengamit handphone untuk melihat jam sebelum ini.
Astro menoleh padaku saat aku duduk sambil mengusap mata, "Udah bangun?"
Aku menggumam sambil beranjak turun dari tempat tidur. Langkahku panjang dan cepat menuju meja makan. Aku mengamit satu tusuk sate dan hampir saja menggigitnya, tapi Astro mengamit tusuk sate dari tanganku.
"Cuci tangan dulu, Nyonya." ujarnya sambil meletakkan tusuk sate yang baru saja kugenggam ke piring kosong. "Satenya ada banyak. Kamu bisa makan sampai puas."
Aku menatapnya sebal walau beranjak ke wastafel untuk mencuci wajah dan tangan, lalu mengeringkannya dengan tisu sebelum kembali ke meja makan. Aku baru menyadari, selain sate bulayak, ada juga seafood yang dimasak dengan bumbu khas area ini.
Astro menyodorkan piring berisi seporsi sate bulayak padaku, "Abisin itu dulu. Nanti ambil lagi kalau kurang."
Aku menggumam sambil menggigit sate yang terasa sedikit berbeda dengan yang kumakan bertahun lalu, "Bukan bikinan istrinya Pak Basri ya?"
Astro terdiam sesaat sebelum bicara, "Itu bikinan chef resto. Kalau kamu mau bikinan istrinya pak Basri kita harus ke rumahnya."
Aah, betul juga. Aku sedang berada di pulau kecil yang terpisah dari area pembudidayaan mutiara. Tak mungkin istri Pak Basri memberikan sate bulayak pada kami saat ini.
"Kamu mau ke rumahnya?" Astro bertanya dengan tatapan menyelidik yang jelas sekali.
Aku hampir saja menjawab "iya", tapi segera menyadari kealpaanku. Astro bisa saja curiga aku sedang mengandung hanya karena menginginkan sate bulayak buatan istri Pak Basri. Sepertinya aku harus berhati-hati dalam bersikap jika tak ingin Astro curiga aku sedang mengidam atau semacamnya.
"Ga ada waktu kalau ke rumahnya Pak Basri. Kita sebentar lagi harus berangkat ke Jerman. Kan kamu yang bilang aku ga boleh kecapekan." ujarku sambil menatapnya agar dia percaya kalimatku.
"Kamu emang ga boleh kecapekan." ujarnya sambil mengamit sate dan menggigitnya.
Aku menahan diri agar tidak menghela napas lega. Alih-alih mengatakan sesuatu, sepertinya memang lebih baik jika aku diam saja. Aku bisa saja tak sengaja memberi tahu Astro tentang kehamilanku jika terlalu terbawa suasana. Aku harus menahan diri sebelum sampai di Jerman untuk mengakui kehamilan ini.
Segala skenario yang mungkin terjadi sudah kupikirkan dengan matang. Jika Astro mengetahui tentang kehamilanku sekarang, maka dia bisa saja membatalkan kepergian kami ke Jerman atau dia akan nekat pergi seorang diri tanpaku. Walau kemungkinan kedua itu sangat tipis, tapi hal itu mungkin saja terjadi.
Bukan aku ingin menghalanginya melanjutkan pendidikan, tapi aku juga ingin melanjutkan pendidikanku. Jika melihat dari ketahanan tubuhku saat ini, aku merasa cukup yakin bisa menyelesaikan pendidikan dalam keadaan hamil. Atau jika Astro sangat memaksa agar aku beristirahat saja, setidaknya aku tetap pergi bersama dengannya.
Aku ingin dia melihat pertumbuhan janin buah cinta kami jika tinggal bersama. Aku tak ingin ditinggalkan di negara ini dan membuatku meratapi nasib kenapa dia tega membuatku melewati kehamilan tanpa dirinya. Aku tak ingin berpikiran berlebihan seperti Ibu saat mengandung dirinya karena sering ditinggalkan seorang diri oleh Ayah. Aku tak ingin mentalku terganggu.
Aku memang belum siap dengan segala hal tentang memiliki bayi atau menjadi orang tua. Setidaknya, aku ingin meminimalisir segala hal yang bisa membuatku kehilangan kendali diri. Akan fatal akibatnya jika aku membiarkan emosi yang tak stabil selama hamil dan membiarkan diri berkabung dalam keputusasaan pikiran yang berlebihan.
Aku tahu bagaimana jiwaku akan sangat terguncang jika membiarkan pikiran negatif berlebihan di saat seperti ini. Akan lebih baik jika aku tetap berada di sampingnya. Aku akan menerima risiko tak diperbolehkan bekerja jika memang Astro memaksa.
Lagi pula, memangnya pilihan apa lagi yang kumiliki? Calon bayi di dalam rahimku ini adalah anak yang sangat diharapkan kehadirannya oleh Astro dan Oma, bukan? Aku harus berusaha agar tetap berpikir sesuai nalar dan norma walau sebetulnya aku bisa saja menganggap Tuhan bersikap tak adil padaku karena memberikan calon bayi di saat aku belum siap seperti saat ini.
Aku menghela napas setelah perutku terasa sangat kenyang. Dua porsi sate bulayak, satu mangkuk kecil kerang bambu, dan seporsi sayuran sudah berpindah ke perutku. Kuharap ini cukup untuk membuat janinku bahagia sebelum waktunya tiba makan siang.
"Aku kerja sampai jam dua di kantor. Kamu bisa cari aku di sana kalau kangen." ujar Astro dengan senyum menggodanya yang biasa. Senyumnya membuatku menyadari sepertinya janin di dalam rahimku ini mengikuti selera ayahnya yang sangat suka melihatku makan banyak. Mungkin selera wanita mereka nanti tak akan jauh berbeda.
Aku tersenyum manis, "Semangat ya. Aku cuma mau tidur sampai siang. Aku baru mau jalan-jalan sore nanti. Kalau kamu kangen aku ada di sini."
Astro menopang dagu dengan wajah mulai merona merah, "Apa aku ga usah kerja aja ya? Biar bisa elus-elus perut kamu seharian."
"Ngapain kamu ngelus-elus perutku seharian?"
Astro menaikkan bahu, "Perut kamu sexy."
Aku menatapnya tak percaya, "Seriously? Perutku gendut gini kamu bilang sexy?"
"Emang sexy kok." ujarnya dengan senyum tipis dan tatapan sayu. "Kan aku udah bilang dari dulu, aku ga keberatan kamu gemuk."
Aku terdiam. Entah apa yang berada di dalam otak briliannya itu. Dia memang sudah mengatakan tentang hal itu sejak bertahun lalu. Bahkan sebelum kami resmi menikah. Namun jika dia menyukai wanita dengan tubuh gemuk, bukankah seharusnya aku tak ada di dalam daftar wanita yang akan menjadi istrinya?
"Mau mandi bareng?"
Aku mengerjapkan mata untuk memastikan diri aku memang sedang melihat dan mendengar Astro mengatakannya. Kuharap aku sedang bermimpi, tapi dia tetap tersenyum tipis sambil menatapku.
"Aku ga keberatan liat darah 'dapet' kamu. Kalau kamu hamil nanti kan yang ngurusin aku. Kalau kamu ga kuat berdiri setelah lahiran nanti aku yang akan bersihin badan kamu, termasuk darah nifas kamu."
Aku hampir saja tertawa, "Seriously?"
Astro mengangguk mantap, "Yuk."
Jika saja aku tak sadar pria di hadapanku ini sangat pandai dengan kalimat persuasifnya, mungkin aku akan mengiyakan permintaannya. Namun aku bukanlah wanita polos yang tak tahu bagaimana caranya merayuku, maka aku tersenyum manis sambil mengelus wajahnya, "Aku belum lahirin bayi, Honey. Masa nifasku masih lama."
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senjarat -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSIF di website & aplikasi WEBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan TAMAT tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVEL secara gratis, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN karena seharusnya chapter itu BERKOIN dan nou SANGAT TIDAK IKHLAS kalian baca di sana.
SILAKAN KEMBALI ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi, dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta untuk kalian, readers!
-nouveliezte-