Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

ExtraPart [36]



ExtraPart [36]

3Astro terdiam dengan tatapan sendu sebelum akhirnya bicara, "Bercandaan kamu ga lucu."     

"Aku ga bercanda."     

Hening di antara kami. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Ekspresinya berubah-ubah dan wajahnya mulai memerah. Namun aku cukup yakin dia sedang menahan amarah. Entah sedikit atau banyak, tapi membuatku waspada.     

"Aku minta maaf ga ngasih tau lebih cepet. Aku ga mau ditinggalin sendirian waktu lagi hamil. Aku juga mau kuliah. Aku yakin kok bisa kuliah walau hamil."     

Alisnya mengernyit mengganggu dengan arti tatapan yang tak mampu kutebak. Jarinya yang sesaat lalu masih mengetik di atas keyboard sudah berpindah ke atas meja. Dia menatapku lekat dan sangat intens hingga membuatku menundukkan wajah.     

"Aku baru tau waktu kita ke motelnya Bunda sebelum ke Surabaya. Bunda ngajak ke rumah sakit setelah aku coba testpack di motel. Aku rutin minum vitamin khusus ibu hamil sama penambah darah kok waktu kamu ga merhatiin."     

Astro mengangkat daguku hingga aku terpaksa menatapnya, "Kamu serius?"     

Aku mengangguk tanpa mengatakan apapun. Aku tak berani mengatakan yang lebih dari ini. Dia bisa saja menganggapku ceroboh karena memaksakan diri ikut ke negara ini dengan perjalanan menggunakan pesawat yang memakan waktu tiga belas jam.     

"Trus yang kamu bilang lagi 'dapet' itu bohong?"     

"Aku ga bohong. Emang ada darah waktu itu. Aku pikir emang lagi 'dapet', tapi darahnya cuma keluar sekali. Malem sebelum kita ke nikahan Denada darahnya ga keluar lagi. Tadinya aku mau ke dokter kalau emang ga keluar lagi beberapa hari setelahnya, tapi kamu bilang Ibu curiga kalau aku hamil gara-gara aku makan jenang ketan. Jadi ...."     

"Jadi?"     

"Aku minta Bunda beliin testpack waktu nengokin aku ke kamar. Garisnya dua walau yang satunya ga terlalu keliatan. Bunda bilang aku hamil dan langsung ngajak ke rumah sakit. Aku ... ga siap punya anak." ujarku dengan mata mulai panas. "Aku sempet mikir mau gugurin ...."     

"Kamu mau gugurin anak kita?"     

Aku terdiam sambil terus menatap matanya yang penuh amarah, walau mengangguk pada akhirnya.     

"Seriously?"     

"Kamu ngarep aku gimana? Perjanjiannya kan baru punya anak setelah kuliah kita selesai, atau kalau aku siap. Kuliah kita belum selesai dan aku belum siap punya anak." ujarku pasrah dengan air mata mengalir. Wajah dan mataku terasa panas. Aku bahkan tak mampu menangkap ekspresi wajah Astro dengan jelas karena mataku buram oleh air mata. "Kita juga lagi ga akur. Aku lagi marah karena kamu maksa punya anak, tapi aku malah hamil. Aku ...."     

Astro mengelus perutku, "Anak kita masih ada kan?"     

Aku mengangguk sambil menyeka air mata dengan lengan. Aku memang sempat berpikir untuk menggugurkan kandungan, tapi ... yang benar saja? Aku tak mungkin membunuh calon anakku.     

Astro mengamit tanganku yang sedang sibuk mengelap air mata dan menatapku lekat. Wajahnya dekat sekali hingga aku mampu melihat ekspresinya yang bahagia bercampur salah tingkah. Entah meguap ke mana amarahnya sesaat lalu. "Bilang sekali lagi. Aku ga mau salah ngira. Kamu bener hamil?"     

Aku mengangguk dengan air mata masih mengalir, "Waktu ke dokter sama Bunda udah lima minggu tiga hari kalau diitung dari hari pertama 'dapet' bulan lalu. Hari ini harusnya enam minggu empat hari."     

Astro mengecup bibirku, "Bener hamil?"     

Aku mengangguk tanpa mengatakan apapun. Aku bisa melihat ekspresi bahagianya karena dia tersenyum lebar sekali. Tepat di depan wajahku.     

"Enam minggu empat hari?"     

Aku menggumam mengiyakan sambil mengangguk.     

Astro mengecup bibirku dengan mata berbinar. Entah bagaimana caranya tubuhku sudah berada di pangkuannya. Dia memelukku erat dengan kecupan yang mendarat di seluruh wajahku yang basah oleh air mata, "Aku resmi jadi calon Ayah kan?"     

Aku mengangguk dengan lengan menyeka wajah yang masih terasa panas walau air mataku tak lagi mengalir. Entah karena suhu wajahku atau napasnya yang berada tepat di hadapanku.     

"Sekitar tiga puluh empat minggu tiga hari anak kita lahir. Itu tahun depan. Kamu yakin mau kuliah lagi hamil gini?"     

"Aku yakin. Aku pasti bisa." ujarku penuh harap.     

Astro terdiam lama sebelum bicara, "Tapi kalau ada sesuatu aku terpaksa minta kamu berhenti kuliah. Kamu harus tau, aku akan lebih milih kesehatan kamu dan kehidupan anak kita dibanding kuliah kamu. Ga peduli walau kamu lagi proses disertasi dan ga akan luluh walau kamu mohon-mohon."     

Aku mengangguk karena memang memperkirakannya dan sudah menyiapkan diri jika hal itu memang harus terjadi. Mungkin aku akan merasa sedikit kesal jika hal itu benar-benar terjadi, tapi aku memang tak memiliki pilihan lain.     

"Janji, Honey?"     

"Aku janji."     

Astro mengamit wajahku dengan kedua tangannya, "Deal, ya?"     

Aku mengangguk, tapi dia menggeleng.     

"Kita harus bikin perjanjian di atas kertas. Aku ga percaya kamu ngomong begini." ujarnya gusar.     

Aku menatapnya tak percaya, "Seriously?"     

"Aku serius. Nanti aku urus surat perjanjiannya. Aku harus ngabarin Ibu."     

Aku masih menatapnya tak percaya saat dia mendudukkanku kembali ke kursiku sebelum ini. Dia langsung mengamit handphone dan menelepon Ibu dengan wajah berseri. Hanya hitungan detik setelahnya, wajahnya tiba-tiba memerah dengan mata berbinar.     

"Ibu bener. Faza hamil. Besok Astro ajak ke rumah sakit."     

"Apa?! Yang bener? Bukannya waktu itu katanya lagi 'dapet'?" terdengar jelas suara Ibu karena Astro mengaktifkan mode speaker.     

Astro menoleh padaku, "Kayaknya yang waktu itu flek karena kecapekan."     

Aku terpaksa mengangguk karena dia benar. Tiba-tiba saja aku gelisah. Bagaimana pula dengan prosedur melahirkan anak bagi warga negara lain di negara ini? Aku belum memikirkannya sebelum ini. Aku bodoh sekali.     

"Ya ampun! Trus Faza gimana? Kalian di pesawat lebih dari dua belas jam loh! Kenapa ga ke rumah sakit sekarang? Coba periksa dulu." terdengar pekikan panik di ujung sana.     

"Nanti Astro kabarin lagi." ujar Astro yang langsung mematikan telepon dan mengamit tanganku. "Kita ke rumah sakit sekarang."     

"Tapi ...."     

"Ga ada tapi-tapi, Honey." ujarnya dengan tatapan mengancam. "Aku harus tau keadaan calon bayi kita. Aku ga mau ambil risiko."     

Aku tak mampu mengatakan apapun walau kalimatku hampir saja keluar. Langkahku justru mengikutinya ke kamar. Dia menelepon Jian untuk mencarikan kami rumah sakit sebelum kami berganti pakaian. Tanganku kembali digenggam olehnya seolah tak mengizinkanku menjauh walau hanya berjarak dua meter.     

"Bawa syal. Kita ga tau nanti dingin atau ga. Ini udah tengah malem." ujarnya sambil memakaikan jaket di tubuhku.     

Aku menatapnya tak percaya, "Kamu belum istirahat. Kita bisa ke rumah sakit besok. Aku ...."     

Astro menutup bibirku dengan jari, "Nurut aja. Ini demi kamu dan bayi kita."     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senjarat -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSIF di website & aplikasi WEBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan TAMAT tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVEL secara gratis, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN karena seharusnya chapter itu BERKOIN dan nou SANGAT TIDAK IKHLAS kalian baca di sana.     

SILAKAN KEMBALI ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi, dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.     

Banyak cinta untuk kalian, readers!     

-nouveliezte-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.