ExtraPart [49]
ExtraPart [49]
Di titik ini aku sadar kenapa Bunda sangat lihai pergi dari siapapun yang mengincarnya. Menghindar dari Opa saat kabur tiga tahun sebelum menikah dengan Ayah bukanlah perkara mudah. Belum lagi menghindar dari orang-orang suruhan keluarga Pranoto.
"Tante ga kerja?" aku bertanya sambil berjalan mondar-mandir dengan langkah perlahan di ruang tamu untuk menggerakkan tubuh.
"Sekarang sampai tiga minggu lagi ga ada kerjaan jadi Tante bisa sering ke sini. Faza mau jalan-jalan ke luar?" Bunda bertanya sambil memotong buah.
Aku menggeleng sambil menatap Denada dan Mayang bergantian, "Jalan-jalan sama mereka aja kalau mau. Mereka ga ada kerjaan tuh."
Mayang menatap Denada, "Mau ke luar? Kita bisa main ice skating."
Denada menatapku ragu, "Kamu ga pa-pa ditinggal?"
"Ga pa-pa. Kan ada Oma sama Ibu. Kalian jalan-jalan aja dari pada suntuk nemenin aku di sini."
Denada mengamit buah dan pisau dari tangan Bunda, lalu meletakkannya di mangkuk. Kemudian menariknya bangkit, "Yuk, Tante. Kita jalan-jalan di luar."
"Bener nih, ga pa-pa?" Bunda bertanya.
Aku mengangguk, "Anggap aja lagi gantiin Faza nemenin mereka berdua seneng-seneng di sini. Faza kan ga bisa bebas jalan-jalan."
"Kalau ada apa-apa telpon ya."
Aku mengangguk, "Kalau nanti Tante mau langsung pulang ke apartemen juga ga pa-pa kok. Ga perlu ke sini dulu."
"Yakin?"
Aku mengangguk sambil mengamit tangan Bunda untuk kucium. Aku memeluknya sedikit lebih lama karena di sini hanya ada Denada dan Mayang, "Nanti kasih tau Faza kalau nemu tempat seru ya."
Bunda mengangguk sambil mengelus wajahku, "Kalau ada apa-ap ...."
"Nanti Faza telpon."
Bunda menghela napas, "Okay."
Aku mendorong tubuh Bunda menuju pintu sambil menatap Denada, "Minta Ibu sama Oma ke sini ya."
"Kamu mau nitip sesuatu? Nanti aku bawain kalau pulang." Denada bertanya sambil memakai mantel di dekat pintu.
"Minta Kyle ke sini." ujarku sambil tersenyum untuk menggodanya.
Denada menatapku sebal, "Kyle sibuk."
"Posesif."
"Bawel!"
"Udah." ujar Mayang sambil mengamit lengan Denada. "Telponin aja. Om Jaya kan lagi ada urusan. Astro juga ga di sini. Kalau ada apa-apa biar Kyle yang nolongin."
Denada menatap Mayang sebal, "Minta Axe aja kalau gitu."
Mayang menggeleng, "Axelle ga ngerti area ini. Lagian Kyle kan bodyguar ...."
"Nanti aku minta Kyle resign jadi bodyguard." ujar Denada sambil mengamit handphone dari saku. Jelas sekali dia sangat cemburu.
Aku menggeleng pelan, "Aku udah minta dia berhenti jadi bodyguard-ku, tapi dia ga mau."
Denada menatapku bingung walau terdiam.
"Kamu bisa tanya Kyle kenapa dia ngotot mau ngawasin aku seumur hidup karena itu kemauan dia. Kalau bukan karena aku maksa dia buka hati buat nikah, mungkin dia masih jomblo sampai sekarang."
Denada terlihat terguncang. Jarinya yang menggenggam handphone bahkan bergerak gelisah.
Aku menghela napas sambil duduk di sofa karena gerakan janin di rahimku terasa kuat, "Aku bukan bermaksud bilang kalau bukan karena aku kalian ga mungkin nikah, tapi dulu Kyle emang ga niat nikah karena katanya berisiko buat bangun hubungan kekeluargaan. Dia yang bikin keputusan, jadi kamu harus tanya tentang itu ke dia."
Denada menatapku gamang walau mengangguk pada akhirnya. Dia mengamit tangan Mayang sambil membuka pintu dan tak mengatakan apapun lagi hingga pintu tertutup.
Bunda menghampiriku sambil melipat mantel di lengan, "Denada cuma cemburu."
"Faza tau. Niatnya mau bercanda aja kok tadi, tapi malah bikin suasana ga enak." ujarku sambil menarik napas panjang.
"Jangan terlalu deket sama Kyle. Dia kan suaminya Denada."
Aku tersenyum pasrah, "Cucu Bunda maunya deket dia. Faza bisa apa?"
Bunda menggeleng sambil mengelus perutku, "Jaga jarak lebih baik, Sayang. Bunda keluar ya."
Aku menggumam mengiyakan. Bunda keluar sesaat setelahnya, meninggalkanku seorang diri di apartemen ini.
Tanganku mengelus perut perlahan sambil memejamkan mata. Janin ini aktif sekali. Menendang, berputar, merenggang, dan sepertinya hanya akan diam jika sedang tidur walau aku tak yakin kenapa intensitas tidurnya sangat singkat. Mungkin karena dia masih berada di dalam rahim dan belum bisa membedakan siang dan malam hingga dia bisa tidur dan bangun kapanpun.
Kakinya yang mungil mengikuti irama tanganku yang mengelusnya hingga membuatku tersenyum. Mungkin dia akan sangat suka bermain sama sepertiku. Jika dia lahir nanti, mungkin duniaku berubah karena harus terus mengawasinya sepanjang hari. Aku bahkan tak yakin apakah akan bisa mengambil pendidikan lanjutan ke jenjang S3 dengan adanya bayi ini.
Terdengar suara pintu terbuka hingga membuatku membuka mata. Ibu masuk dengan semangkuk besar sup yang masih mengepulkan uap, dengan Oma yang sedang memegangi gagang pintu agar pintu tetap terbuka.
"Ibu pisahin di mangkuk buat Faza ya." ujar Ibu yang langsung berlalu ke dapur.
"Sedikit aja, Bu. Faza kenyang." ujarku yang segera menarik napas panjang karena Ibu berlalu cepat sekali hingga tak lagi terlihat. Sebetulnya aku ingin menolaknya, tapi tak tega.
Oma duduk di sofa yang tadi ditinggalkan Bunda sambil mengamit pisau dan buah, "Tumben Ana ijin jalan-jalan. Oma pikir mau nempelin Faza sampai sore."
"Faza yang minta Tante nemenin Denada sama Mayang jalan-jalan. Mereka di sini terus setiap hari pasti suntuk."
"Faza mau jalan-jalan juga?" Ibu bertanya dengan semangkuk kecil sup sambil menghampiriku.
Aku menggeleng sambil terus mengelus perut, "Ga mungkin jalan-jalan sekarang. Perut Faza udah gede banget gini. Cuma jalan muter di ruangan ini aja udah capek."
"Sabar ya. Nanti abis lahiran Ibu temenin Faza mau jalan-jalan ke mana. Sekalian ajakin cucu keluar." ujar Ibu sambil meletakkan mangkuk di meja. "Tunggu, supnya masih panas."
"Makasih, Bu." ujarku sambil menatap perut dengan tapak kaki janinku mengikuti gerakan tanganku. "Nenek bikin sup ayam buat kamu."
Oma meletakkan mangkuk kecil berisi potongan buah di hadapanku, "Makan buah dulu."
Aku mengangguk walau tetap duduk menyandar pada sofa, "Denada ngomong apa tadi?"
Ibu menatap Oma ragu sebelum menatapku, "Ga ngomong apa-apa sih, tapi kayaknya lagi bad mood."
Aku tersenyum pasrah sambil memejamkan mata karena kepalaku mulai terasa pusing. Perutku terasa seperti diperas hingga membuatku mual. Mungkinkah sekarang waktunya? Namun usia kandungan ini bahkan belum menginjak tiga puluh sembilan minggu.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senjarat -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSIF di website & aplikasi WEBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan TAMAT tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVEL secara gratis, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN karena seharusnya chapter itu BERKOIN dan nou SANGAT TIDAK IKHLAS kalian baca di sana.
SILAKAN KEMBALI ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi, dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta untuk kalian, readers!
-nouveliezte-